Menuju konten utama

Perlukah Kemenkes Atur Pembayaran Obat BPJS karena RS Menunggak?

Pengusaha farmasi merasa banyak rumah sakit menunggak biaya obat. Ini diklaim bisa berdampak pada ketersediaan obat.

Perlukah Kemenkes Atur Pembayaran Obat BPJS karena RS Menunggak?
Ilustrasi pil obat. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mengusulkan sebagian anggaran BPJS Kesehatan yang digunakan rumah sakit, dialokasikan minimal sebesar 25 persen untuk pembayaran obat. Usulan ini disampaikan guna menjamin kelangsungan pasokan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketua Bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembang, mengatakan perlu ada regulasi yang mengatur alokasi anggaran untuk obat setiap kali BPJS Kesehatan membayar tagihan kepada fasilitas kesehatan. Selain itu, Roy berkata GP Farmasi mengusulkan tarif pelayanan kesehatan atau Ina CBGs perlu dikaji ulang untuk memaksimalkan program JKN.

"Memang harus ada update nilai INA CBGs yang saat ini masih rendah. Dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen," ujar Roy dalam keterangan resminya, Sabtu (19/1/2019).

Ketua Komite Perdagangan dan Industri Bahan Baku Farmasi GP Farmasi, Vincent Harijanto menjelaskan usulan itu muncul lantaran banyak rumah sakit menunggak pembayaran kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) selama kurun 2018. Namun, GP Farmasi belum bisa menyebut berapa besar nominal tunggakan lantaran masih menghitung.

"Kami belum mencatat total [tunggakan] berapa. Kalau tahun lalu, masih banyak [tunggakannya]. Setiap PBF yang kami catat, masih ratusan juta. Kami belum jumlahkan keseluruhannya," kata Vincent saat dihubungi reporter Tirto, Senin (21/1/2019).

Vincent menuturkan, sejauh ini memang sudah ada pembayaran langsung oleh BPJS Kesehatan sebesar 6 persen kepada PBF. Namun, alokasi itu dinilai masih terlalu kecil. Ia pun menyebut tunggakan pembayaran obat ini bisa bikin pasokan obat terganggu. Ini karena jika rumah sakit hanya membayar sedikit atau tidak membayar sama sekali tunggakan mereka, PBF akan kesulitan membayar obat ke produsen.

"[Nanti] Industri tidak bisa membeli bahan bakunya," kata Vincent.

Oleh karena itu, kata Vincent, perlu ada mekanisme baru yang mengatur alokasi pembayaran obat setiap ada pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada rumah sakit.

Belum Penting Regulasi Baru?

Kepala Biro Komunikasi BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Maruf mengatakan penetapan biaya obat sudah masuk dalam tarif pelayanan kesehatan atau INA CBGs. Pelayanan itu pun sudah memiliki regulasi sejak awal. Namun, Iqbal mengaku tidak tahu berapa porsi yang seharusnya dibayarkan untuk penyedia obat.

"Yang dipermasalahkan GP Farmasi itu adanya di situ. Kami, kan, bayarnya per paket langsung. Nah, kami tidak melihat berapa porsinya untuk alat kesehatan, jasa dokter berapa, dan untuk obat dokter berapa," kata Iqbal saat dihubungi reporter Tirto.

Menurut Iqbal, GP Farmasi bisa mengusulkan kenaikan tarif INA CBGs langsung kepada Kementerian Kesehatan. "Kami cuma operator. Secara aturan BPJS tidak bisa mengatur proporsional [tarif] berapa," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene mengaku belum melihat perlunya ada regulasi soal pembayaran obat ini. Menurut Engko, Kemenkes sudah memberi imbauan kepada rumah sakit untuk segera membayar obat kepada distributor.

"Kemenkes juga sudah sampaikan kepada rumah sakit, kalau sudah mendapatkan bayaran dari BPJS secara proporsional, lekas dibayarkan kepada pabrikan lah," ujar Engko di komplek DPR RI.

Ia juga enggan menindaklanjuti usulan GP Farmasi agar sebagian anggaran BPJS Kesehatan yang digunakan rumah sakit dialokasikan untuk pembayaran obat minimal 25 persen. Ia mengatakan, pembayaran obat akan dilakukan secara proporsional.

"Yang diberikan oleh BPJS juga, kan, bertahap. Jadi proporsional sajalah, pembayaran operasional lain tetapi diperhatikan juga secara proporsional untuk obat," kata dia.

Terpisah, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai aturan soal pembayaran obat yang dimasukkan dalam tarif pelayanan kesehatan atau INA CBGs memang perlu ditinjau ulang.

"Di Perpres 82/2018 juga diamanatkan untuk ditinjau berkala. Usulan agar biaya klaim dialokasikan 25 persen untuk obat menurut saya ada baiknya, agar cash flow perusahaan farmasi bisa lebih baik," ujar Timboel saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (22/1/2019).

Namun, Timboel merasa usulan itu sulit dilaksanakan. Selain karena BPJS kesehatan hanya punya kewajiban pembayaran ke rumah sakit, masalah utama yang dihadapi BPJS Kesehatan saat ini adalah defisit.

"Defisit ini tentunya mengakibatkan pembayaran ke rumah sakit menjadi terkendala. Hal ini juga berdampak kepada rekanan rumah sakit yaitu perusahaan Farmasi. Akibatnya, obat-obat yang dikirim ke rumah sakit belum terbayarkan," kata Timboel.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan