tirto.id - Memasuki dekade 1990-an kehidupan politik di Semenanjung Balkan memasuki babak baru. Konflik politik internal Republik Sosialis Federal Yugoslavia membawa konsekuensi serius: disintegrasi. Wilayah Slovenia dan Kroasia memisahkan diri dan menjadi negara berdaulat pada tahun 1991.
Kemerdekaan keduanya menjadi inspirasi bagi pemimpin Bosnia-Herzegovina, Alija Izetbegovic, untuk melakukan hal yang sama. Maka terjadilah referendum pada 19 Februari sampai 1 Maret 1992. Hasilnya, hampir 100 persen pemilih ingin Bosnia-Herzegovina merdeka. Dua hari kemudian, Izetbegovic langsung mengumumkan kemerdekaan. Pengakuan internasional pun muncul beberapa hari setelahnya.
Namun, kemerdekaan Bosnia-Herzegovina tidak semudah yang dibayangkan. Negara yang memiliki keragaman etnik dan agama itu sudah terlanjur bergejolak. Tiga etnik terbesar—Bosniak (etnik Bosnia yang mayoritas beragama Islam), Serb (etnik Serbia), dan Kroat (etnik Kroasia), memiliki pandangan yang berbeda terkait masa depannya. Akan tetapi, sentimen tinggi terhadap momentum ini datang dari etnik Serbia yang didukung oleh Serbia lain di Yugoslavia.
Bagi orang-orang Serbia, kemerdekaan Bosnia-Herzegovina tidak sah. Pasalnya, banyak dari mereka yang berkeinginan untuk mewujudkan mimpi lamanya, yakni “Serbia Raya” atau negara satu etnik di keseluruhan daerah Balkan. Di bawah pimpinan Radovan Karadzic, mereka mengancam pertumpahan darah. Atas dasar inilah mereka juga tidak mengikuti referendum dan malah melakukan serangan ke ibukota Bosnia-Herzegovina, Sarajevo, dan beberapa wilayah lain yang dihuni orang-orang Bosniak pada 2 April 1992. Dari sinilah perang yang disebut sebagai konflik berdarah terbesar di Eropa pasca Perang Dunia D II pun dimulai.
Militer Serbia yang dipimpin Jenderal Ratco Mladić membuat atmosfer perdamaian meredup: desa-desa dimusnahkan dan kota-kota dibakar. Pembersihan etnik Bosniak ini berlangsung selama lebih dari satu tahun. Sementara posisi etnik Kroat dalam konflik ini menjadi korban sekaligus pelaku. Puncaknya terjadi pada Juli 1995 ketika penduduk Srebrenica yang penuh dengan pengungsi Bosniak: pria, wanita, dewasa, anak-anak, semuanya dihabisi oleh militer Serbia.
Kegagalan Usaha Uni Eropa
Konflik Balkan segera menjadi perhatian banyak orang, tertama negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Meski demikian, peristiwa ini tampaknya tidak menjadi perhatian utama bagi negara pemenang Perang Dingin, Amerika Serikat. Pada awalnya Paman Sam memilih tidak terlibat jauh dalam pusaran konflik. Sikap ini berbeda dibanding beberapa tahun sebelumnya yang cenderung ikut campur dalam suatu masalah di manapun lokasinya.
Jawaban atas perubahan sikap ini menurut Geraroid O. Tuathail dalam “A Strategic Sign: The Geopolitical Significance Of ‘Bosnia’ In US Foreign Policy” (1999) adalah karena Perang Dingin telah berakhir. Selesainya ketegangan politik tersebut membuat AS istirahat sejenak dalam kontestasi politik global. Setelah itu, AS berupaya mengurusi kembali kepentingan domestiknya serta berupaya mengonsolidasikan kekuatan dan perannya sebagai satu-satunya negara adikuasa yang tersisa di dunia.
Atas dasar inilah AS menyerahkan segala urusan regional lain kepada sekutunya. Dalam konflik di Yugoslavia, Paman Sam mendorong Inggris, Prancis, dan Jerman yang ketiganya tergabung dalam European Community—kelak berubah menjadi European Union (Uni Eropa) pada 1993--untuk terjun langsung mengurusi permasalahan.
Dorongan AS itu disikapi secara serius oleh ketiganya karena berkaitan dengan pertaruhan harga diri negara dan organisasi. Selain itu, para pemimpin Uni Eropa lainnya juga memandang konflik Balkan sebagai cara untuk menunjukkan kemampuannya dalam menangani krisis keamanan di Eropa pasca-Perang Dingin yang lepas dari campur tangan AS. Seandainya menelan kegagalan, maka akan berdampak buruk pada citra lembaga itu dalam pengembangan identitas keamanan sekaligus menodai tujuan perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran yang selama ini diusung oleh Uni Eropa.
Beranjak dari sini, kekuatan Uni Eropa bekerja membuat faksi-faksi etnik yang bertikai duduk bersama dan mencari solusi perdamaian. Dalam kurun waktu 1992-1994, berbagai resolusi perdamaian pun muncul, tetapi sayangnya tidak membuahkan hasil apapun. Mediasi yang diadakan pun gagal.
Rumitnya konflik dan tingginya ego masing-masing pemimpin menjadi salah satu penyebab utama kemandekan diplomasi. Pada saat yang bersamaan, situasi semakin panas. Pasukan penjaga perdamaian PBB gagal memadamkan bara pertempuran. Puluhan bahkan ratusan ribu korban terus berjatuhan. Pada kondisi sulit seperti inilah Uni Eropa meminta Washington untuk segera turun tangan.
Paman Sam Turun Tangan
Kegagalan Uni Eropa dan semakin meluasnya konflik akhirnya membuat Presiden AS Bill Clinton (menjabat, 1993-2001) bergerak dan langsung mendominasi proses perdamaian. Bagi administrasi Clinton, permasalahan Bosnia ibarat kanker yang lambat laun menggerogoti politik global. Konflik Bosnia yang diselimuti kebencian etnik pada dasarnya harus cepat dihentikan karena dapat menjadi inspirasi di wilayah lain untuk melakukan konflik serupa.
“Bosnia terletak di jantung Eropa, bersebelahan dengan banyak negara demokrasi baru yang masih sangat rapuh dan beberapa sekutu terdekat kita. Amerika telah memahami bahwa kebebasan dan stabilitas Eropa sangat penting untuk keamanan nasional kita sendiri. […] dan itulah alasan kita membantu negara-negara Eropa untuk mengakhiri mimpi buruk mereka yang terburuk sejak Perang Dunia II,” tutur Clinton saat konferensi persnya yang menjawab perubahan sikap AS.
Pada tahap awal, administrasi Clinton berupaya menjegal kemerdekaan Republik Srpska yang didirikan oleh etnis Serb pada 1992 yang telah menguasai hampir setengah wilayah Bosnia. Washington mendorong sekutu militernya dalam NATO dan Uni Eropa untuk menerapkan tindakan anti-Serbia. Penggunaan kekuatan militer NATO untuk pertama kalinya dilakukan pada Februari 1994.
Serangan bersama antara NATO, Kroasia, dan Bosnia, serta tindakan anti-Serbia seperti ancaman embargo, berhasil membalikkan keadaaan dan membuat para pemimpin Serbia, salah satunya Slobodan Milošević—yang dikenal memiliki kepribadian keras—akhirnya luluh.
Kemunduran kekuatan Serbia dijadikan pintu masuk untuk menjalin perdamaian. Melalui penasihat militer Clinton, Anthony Lake, AS memulai langkah diplomasi dengan menemui petinggi-petinggi kelompok yang terlibat konflik. Pertemuan tersebut menjadi peletak dasar bagi perdamaian di Bosnia yang kemudian disempurnakan oleh diplomat AS Richard Holbrooke.
Selama Agustus-November 1995, Holbrooke memainkan peran penting dalam mewujudkan perdamaian. Ia memahami bahwa negosiasi adalah hal yang sulit karena ketiganya menaruh kebencian satu sama lain. Meski begitu, ia terus melanjutkan pembicaraan intens sembari menerapkan taktik lainnya, yakni meyakinkan ketiga pemimpin untuk tidak muncul kepada media. Diplomat AS itu meyakini pertemuan dengan media dikhawatirkan akan membentuk persepsi baru yang meruntuhkan proses perdamaian.
Akhirnya pada 21 November 1995, Holbrooke berhasil menekan tiga pemimpin dari kelompok yang bertikai—Presiden Republik Serbia Slobodan Milošević, Presiden Kroasia Franjo Tudman, dan Presiden Bosnia dan Herzegovina Alija Izetbegović—untuk berkumpul di Dayton, Ohio, guna mencari solusi akhir dari permasalahan dan merumuskan perdamaian Balkan.
Setelah 20 hari berunding, puncaknya terjadi di Paris pada 14 Desember 1995, tepat hari ini 26 tahun lalu. Dengan pengawasan dari PBB dan negara Barat lainnya, ketiganya sepakat menandatangani draf perdamaian yang menandai akhir dari konflik berdarah di wilayah eks-Yugoslavia.
Salah satu hasil pentingnya adalah Bosnia tetap utuh sebagai satu negara berdaulat dengan dua bagian yang memiliki pemerintahan sendiri: Republik Serbia-Bosnia dan Federasi Muslim-Kroasia, keduanya terikat oleh pemerintah pusat.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi