tirto.id - Pada pertengahan Maret lalu, baru sepenggal All England digelar, tim nasional Indonesia harus rela tersingkir. Sebagaimana diwartakan BBC, otoritas kesehatan Inggris (NHS) menemukan salah seorang penumpang pesawat tujuan Inggris dari Turki positif terkena Covid-19 dalam pesawat yang kebetulan juga dinaiki timnas bulutangkis Indonesia menuju lokasi turnamen. Karena temuan tersebut, NHS melarang timnas Indonesia berlaga. Walhasil, juara dunia ganda putra saat ini, Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan, berikut dengan peraih medali perunggu Olimpiade ganda putri, Greysia Poli dan Apriyani Rahayu gagal berlaga.
Awalnya Federasi Bulutangkis Internasional (BWF) mengusahakan agar timnas Indonesia "mendapatkan pengecualian" dari pemerintah Inggris agar tetap berlaga. Namun, karena termasuk negara yang terparah dihantam Covid-19 (dengan tingkat kematian 126 ribu jiwa), Inggris menyatakan keputusannya melarang timnas Indonesia berlaga "tidak dapat dinegosiasikan" karena ini merupakan masalah kesehatan serius.
Menurut Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins, pemerintah Inggris menyatakan keputusan memblokir timnas Indonesia berlaga dalam All England semata-mata diambil untuk "melindungi kesehatan sesama pengunjung, dan masyarakat yang lebih luas di Inggris". Dengan tegas, ia menyebut bahwa tidak ada diskriminasi apapun soal keputusan tersebut karena "semua orang yang berkunjung ke Inggris harus mengikuti aturan yang berlaku".
Indonesia, sebagai surga bulutangkis, berang dengan tindakan pemerintah Inggris. Dikutip dari laman resmi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia, Menpora Zainudin Amali mendesak BWF menghentikan gelaran All England 202. Ia menilai keputusan pemerintah Inggris memblokir timnas Indonesia diskriminatif dan tidak adil. Di sisi lain, protes pada BWF dan pemerintah Inggris pun tak hanya dilakukan pemerintah tapi juga masyarakat umum, khususnya melalui internet.
"Bacot", kata salah seorang netizen Indonesia dalam salah satu unggahan Instagram milik BWF tentang permintaan maafnya atas dilarangnya timnas Indonesia berlaga. "TERSERAH LU ANJIM LAH !!" netizen Indonesia lain bersuara di unggahan yang sama, dibarengi dengan komentar yang tak kalah pedas lainnya, misalnya: "Semoga Nyenyak Tidur Kelen Yaa", "Ben simpati gt pake bahasa Indonesia? ora simpati blassssss", "Hilih, kinthill", "cot", "Min kamu pret bgt sumpah", "Sudah terlanjur kecewa..mau ngebacot sebakul ora ngefek", dan "OALAAAA PANTEKKKKK".
Jika Anda melihat semua unggahan di akun instagram BWF, cercaan warga maya Indonesia tak kunjung usai. Beberapa bertindak sebagai penonton belaka, bukan perundung, dengan ciri-ciri komentar: "masih sepi, mantau dulu".
Kejadian ini hanya berjarak beberapa minggu dari rilis laporan Microsoft yang berjudul "Civility, Safety, and Interaction Online (2021). Dalam laporan riset yang mewawancarai 16.000 orang di seluruh dunia, termasuk 503 orang dari Indonesia itu, Microsoft menyatakan keadaban warga maya Indonesia tergolong buruk. Berdasarkan Digital Civility Index (DCI), Indonesia berada di ranking ke 29 dari 32 negara. Digital Civility Index (DCI) adalah indeks yang dibuat Microsoft untuk mengukur perilaku masyarakat di media sosial.
Secara lebih rinci, pengguna media sosial berusia dewasa asal Indonesia memperoleh skor 83 persen (semakin mendekati 100 persen, semakin ambyar), naik 16 persen, dalam hal keadaban bermedia sosial. Sementara itu, pengguna media sosial berusia remaja asal Indonesia memperoleh skor 68 persen. Bandingkan, misalnya, dengan Singapura dan Belanda yang warga mayanya memperoleh skor 59 persen dan 51 persen.
Skor tersebut didapat atas cara pengguna media sosial melihat perilaku diri sendiri dan teman-temannya di media sosial, seperti kontak yang tidak diinginkan (chat dari orang asing), kontak seksual yang tidak diinginkan (ajakan mesum melalui media sosial), dan kerusakan reputasi dan pelecehan (menyebar fitnah). Secara umum, responden asal Indonesia mengaku acap kali memperoleh hoaks dan penipuan di media sosial, dengan persentase kemungkinan sebesar 47 persen, atau meningkat 13 persen dibandingkan riset yang sama setahun sebelumnya. Lalu, pengguna media sosial Indonesia juga sering menjumpai ujaran kebencian (27 persen, meningkat 5 persen), dan diskriminasi (13 persen, turun 2 persen).
Merujuk riset Microsoft tersebut, 5 dari 10 netizen di Indonesia pernah terlibat dalam perundungan di media sosial. Ironisnya, soal alasan mengapa netizen melakukan aksi perundungan, jawaban paling utama yang diterima Microsoft adalah "saya (hanya) membela diri".
Hanya 33 persen warga maya Indonesia yang berperilaku terhormat di media sosial.
Bukti paling akurat riset tersebut langsung muncul ketika laporan dirilis. Akun media sosial Microsoft "dihajar" warganet Indonesia yang tak terima dianggap berperilaku buruk di media sosial. Dalam kolom komentar Instagram Microsoft, apapun unggahannya, netizen Indonesia ramai-ramain menulis sumpah serapah, misalnya "Bacot beban komputer", "Helooo bangsad", dan "Microsempak".
Microsoft sempat menonaktifkan fitur komentar di akun Instagramnya. Tagar #BoikotMicrosoft sempat memuncaki trending topic di Twitter.
Riset Microsoft yang menyebut bahwa pengguna media sosial di Indonesia kurang sopan sesungguhnya tak mengherankan. Sebagaimana ditulis Mark Zuckerberg dalam opininya di The Washington Post pada Maret 2019 sila, di media sosial apapun, terutama di platform buatan Zuck, konten-konten negatif (dan juga positif) wajar muncul karena media sosial dihuni miliaran orang. Miliaran orang tersebut memiliki perilakunya sendiri-sendiri, termasuk perilaku yang negatif. Di sisi lain, dalam riset yang dilakukan Muhammad Okky Ibrohim berjudul "A Dataset and Preliminaries Study for Abusive Language Detection in Indonesian Social Media" (dipaparkan dalam 3rd International Conference on Computer Science and Computational Intelligence 2018), kata-kata kotor yang diunggah netizen Indonesia bukan tidak jarang muncul.
Sebagaimana keadaan di dunia nyata, dunia maya Indonesia juga dipenuhi ekspresi negatif, entah dalam bentuk kata (seperti "anjing" dan "ngentot"), frasa ("dasar bodoh", "hidung belang"), dan klausa ("goblog, lu, gitu aja ga bisa"), yang semuanya disampaikan dalam bahasa informal. Karena informalitas bahasa negatif inilah menurut Okky, konten negatif sulit dibendung. Tak ketinggalan, bahasa informal juga membuat sukar mendeteksi apakah unggahan netizen Indonesia benar-benar negatif atau tidak. Saya sebagai orang Bandung, misalnya, tahu bahwa terkadang "anjing" bukanlah nama hewan dan "goblog" tak senantiasa merujuk pada minimnya intelektualitas seseorang.
Hendro Margono, dalam risetnya berjudul "Mining Indonesian Cyber Bullying Patterns in Social Networks" (dipaparkan dalam Proceedings of the Thirty-Seventh Australasian Computer Science Conference 2014), menyebut bahwa "bangsat" dan "anjing" merupakan kata yang populer di Jakarta sebagai konten negatif, beserta dengan "babi", dan "monyet".
Robert Zaretsky, dalam tulisannya di The Atlantic, menyebut bahwa keriuhan dunia maya dengan konten negatif, wabilkhusus menyasar satu tema (misalnya pelarangan Indonesia tampil di All England), muncul karena para netizen ini masuk dalam situasi "crowd" alias kerumunan.
Mengutip The Psychology of Crowd (1895) karya Gustave Le Bon, Zaretsky menyebut kasarnya perkataan netizen di dunia maya dimungkinkan karena mereka yang mengunggah konten-konten negatif itu "dibentuk oleh ide-ide sederhana, yang umumnya merupakan 'ide nakal' seperti teori konspirasi dan ketakutan-ketakutan, untuk menjadi satu kerumunan utuh." Tatkala seorang netizen bergabung dalam kerumunan ini, "nalar dan analisis berpikirnya menipis". Bukan karena seorang netizen tersebut tak memiliki kemampuan, tetapi karena adanya dorongan untuk ikut-ikutan. Tutur Zaretsky, ada semacam "mikroba" yang mampu memancing orang bergabung dalam kerumunan dan mikroba tersebut membuat orang yang bergabung bagai orang mati berjalan atau binatang buas.
"Ketika seorang diri, dia (warganet atau individu) mungkin seorang individu yang dberbudaya. Dalam kerumunan, dia adalah orang barbar--yaitu makhluk yang bertindak berdasarkan naluri," tulis Zaretsky.
Individu bergabung ke dalam satu kerumunan karena ada "agen" yang menggiringnya, yakni seorang pemimpin atau sosok karismatik atau sosok berpengaruh.
Tentu, konten negatif yang diunggah netizen Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut Xuan Zhao dalam risetnya berjudul "The Many Faces of Facebook: Experiencing Social Media as Performance, Exhibition, and Personal Archive" (dipaparkan dalam The Sigchi Conference on Human Factors in Computing Systems 2013), dunia maya sesungguhnya tak terpisahkan dari dunia nyata. Segala unggahan dio media sosial merupakan cerminan diri yang bertahun-tahun terakumulasi akhirnya akan menjadi semacam "museum pribadi". Jika apa yang kita unggah di media sosial merupakan hal yang baik-baik, media sosial akan menguntungkan. Namun, jika unggahan sebaliknya rajin diunggah, mengutip salah satu responden Zhao, "unggahan tersebut sangat memalukan bagi saya [...] saya ingin sekali menghapusnya".
Editor: Windu Jusuf