tirto.id - Erwin, bayi berusia dua bulan, berganti nama menjadi Tristan Dowse pada tahun 2001. Tahun itu, dia diadopsi oleh pasangan asal Irlandia Josep Dowse dan Lala Dowse. Punya orang tua bule tak menjamin hidup Tristan bahagia.
Seiring kehamilan Lala, Tristan diterlantarkan. Joseph berusaha membatalkan status kewarganegaraan Irlandia milik Tristan. Di usianya yang kedua, ia diserahkan begitu saja oleh orang tua angkatnya ke Panti Asuhan Immanuel di Bogor.
Tindakan penelantaran itu mendapat hukuman dari Mahkamah Agung Irlandia. Joseph dan Lala harus memberikan uang sebesar 20.000 euro yang saat itu nilainya setara Rp222 juta. Mereka juga harus membayarkan tunjangan bulanan bagi Tristan sebesar 350 euro setiap bulannya. Mereka harus terus membiayai kehidupan Tristan sampai usianya 18 tahun.
Kini, Tristan hidup bersama ibu kandungnya yang miskin di Tegal. Dia dibesarkan oleh ibunya di bawah perwalian Mahkamah Agung Irlandia. Sampai saat ini, Tristan masih menyandang warga negara Irlandia.
Kisah Tristan adalah salah satu contoh adopsi internasional yang gagal. Adopsinya memang berhasil dan diakui, tetapi hak-hak atas anak yang diadopsi tak terpenuhi. Adopsi Tristan berlatar belakang praktik jual beli oleh sindikat perdagangan bayi di Ciputat, Tangerang. Meski begitu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian melegalkan adopsi tersebut.
Penelantaran anak hasil adopsi tak hanya dialami Tristan. Tahun 2013, Reuters pernah menerbitkan laporan investigasi. Ada sekitar 180 iklan online tentang pencarian “rumah baru” bagi anak-anak yang sudah diadopsi. Iklan itu dipasang oleh para orang tua yang sebelumnya mengadopsi anak.
Laporan itu memaparkan bahwa pengalihan wali atas anak sering diiringi oleh kekerasan fisik dan seksual. Seperti yang terjadi pada anak adopsi Justin Harris, salah satu anggota parlemen di Arkansas. Ia menitipkan dua anak perempuan yang diadopsinya ke rumah temannya. Salah satu dari mereka kemudian diperkosa.
Berbagai persoalan terkait adopsi internasional ini kemudian membuat pemerintah di berbagai negara memperketat aturan adopsi oleh warga asing.
Di Indonesia, misalnya. Dahulu, aturan yang dipakai untuk mengatur adopsi oleh warga negara asing adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2/1979, yang disempurnakan lewat SEMA No. 6/1983. Saat isu adopsi internasional kembali mencuat pascatsunami di Aceh, MA menerbitkan SEMA No. 3/2005. Ini untuk mengantisipasi penetapan palsu dari pengadilan.
Salah satu hal baru yang diatur dalam SEMA terbaru itu adalah pengadilan negeri wajib melaporkan salinan penetapan pengangkatan anas ke MA. Sebelumnya, laporan hanya disampaikan pada Departemen Hukum dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Dalam SEMA yang baru itu juga termaktub tiga hal yang harus diperhatikan hakim sebelum memutus penetapan adopsi anak. Pertama, adopsi hanya dilakukan demi kepentingan terbaik anak. Kedua, calon orang tua harus seagama dengan calon anak angkat. Ketiga, kalau adopsi berhasil, orang tua wajib memberitahukan kepada anak tentang asal usul dan orang tua kandungnya.
Pengetatan aturan tak hanya dilakukan Indonesia, tetapi juga negara-negara lain seperti Cina. Cina adalah salah satu dari lima negara yang anaknya banyak diadopsi oleh warga Amerika. Seiring semakin bertumbuhnya perekonomian Cina, adopsi oleh warga negara asing diperketat. Itu juga sebagai penegasan bahwa Cina bukan lagi negara dunia ke tiga dan bisa mengurus sendiri permasalahan jumlah penduduk di negaranya.
Council for Criminal Law and Youth Protection Belanda juga angkat bicara soal adopsi internasional ini. Menurut lembaga itu, adopsi internasional saat ini lebih kepada menjual anak untuk diadopsi. Oleh sebab itu, lembaga tersebut merekomendasikan agar adopsi dari Cina, Amerika Serikat, dan Eropa dihentikan sesegera mungkin.
Berdasarkan hukum adopsi internasional, Convention on Protection of Children and Co-operation in Respect of Intercountry Adoption, anak-anak dapat diadopsi dari luar negeri jika tidak ada lagi kemungkinan untuk menempatkan anak-anak itu dengan keluarganya di negara asal mereka.
Penempatan adopsi diutamakan dilakukan dalam negeri agar mereka dapat berkembang sesuai dengan budaya, bahasa dan pendidikan asalnya. Adopsi anak dari luar negeri tidak diijinkan jika alasannya adalah kemiskinan.
Semakin ketatnya aturan adopsi internasional di Belanda ini membuat angka adopsi menurun drastis. Tahun 2005, tercatat ada 1.185 anak yang diadopsi ke negara lain. Sementara tahun lalu, hanya ada 304 anak yang diadopsi.
Penurunan Angka Adopsi Internasional
Statista baru-baru ini menerbitkan data penurunan angka adopsi internasional di beberapa negara di dunia. Dalam satu dekade, antara 2004 dan 2014, terjadi penurunan drastis, hingga 100 persen.
Di Irlandia, negara asal mantan orang tua angkat Tristan, penurunan jumlah adopsi internasional selama sepuluh tahun mencapai 91 persen. Ini merupakan penurunan tertinggi dibandingkan negara-negara lain.
Amerika Serikat, yang pada 2004 ada adopsi hampir 24.000 anak, mengalami penurunan hingga 72 persen. Penurunan ini tak hanya terjadi di satu dua negara, tetapi seluruh negara-negara maju yang pada tahun 2004 angka adopsi internasionalnya tinggi.
Spanyol turun 85 persen, Inggris 80 persen, Prancis 74 persen, Jerman 70 persen, Australia 69 persen, Swiss 60 persen, Kanada 54 persen. Hanya Italia yang penurunan angka adopsi internasionalnya di bawah 50 persen, yakni 35 persen.
Semakin ketatnya aturan menjadi penyebab turunnya angka adopsi ini. Penurunan ini bisa jadi menyedihkan tetapi bisa jadi juga melegakan. Semakin ketat aturan, maka semakin sedikit anak-anak yang kemudian ditelantarkan atau mendapat kekerasan. Sayangnya, ini mempersempit pula ruang bagi anak-anak untuk mendapatkan rumah yang lebih baik.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti