Menuju konten utama

Perbedaan dan Cara Enrique Menghadapi Kekalahan

Seperti halnya dengan posisi bermain dan keterikatan akan klub, Enrique adalah sosok yang enggan terikat dengan aturan baku. Tidak suka begitu terikat dengan masa lalu, tidak tertarik menggunakan cara-cara kebanyakan orang. Enrique suka membereskan urusannya dengan cara-caranya sendiri.

Perbedaan dan Cara Enrique Menghadapi Kekalahan
Luis Enrique Martinez, pelatihf F.C Barcelona. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Saat Josep Guardiola mengangkat Piala Liga Champions untuk kali pertamanya dalam sejarah Barcelona pada 1992, Luis Enrique tidak ikut serta. Bukan karena Enrique cedera atau sedang dihukum akumulasi kartu. Jangankan merayakan, melihat Si Kuping Besar—julukan Piala Champions—diangkat tinggi-tinggi oleh pemain-pemain Barcelona saja Enrique tak sudi.

Enrique memang—sama seperti Guardiola--mantan pemain Barcelona yang menganggap Nou Camp adalah Disneyland, tempat bermain favorit. Ia bersahabat dengan Guardiola, menjadi pelayan Ronaldo Nazario Luis Da Lima, tapi Enrique sejatinya bukanlah seorang Barcelona murni. Sebab, tidak seperti Guardiola yang besar dan lahir di tempat ini, Enrique datang dari tempat paling terkutuk di dunia: Real Madrid.

Saat itu adalah era “Dream Team” Barcelona bersama Johan Cryuff. Berturut-turut menjuarai La Liga sejak musim 1991 sampai 1994, ditambah dengan satu gelar Liga Champions. Di masa-masa kedigdayaan Barcelona inilah Enrique masih menapaki karier terburuknya sebagai pemain Madrid. Siul ejekan dan caci maki pendukung Madrid akrab sekali di telinga Enrique. Ini menyusul peforma buruk Los Blancos di saat rival mereka (Barcelona) malah menggila di liga dan di kompetisi Eropa.

Dikontrak dari Sporting Gijon pada 1991, Enrique saat itu diharapkan mampu mengangkat performa Madrid. Sebagai pemain yang bisa ditempatkan di mana saja, Enrique adalah pemain yang bisa dijadikan penyerang dalam satu pertandingan dan bisa menjadi bek sayap pada pertandingan berikutnya.

Ini kemampuan unik dan langka. Sayangnya, kemampuan semacam ini malah tidak menjadikannya terlalu istimewa. Bahkan membuat Enrique makin tersingkir dari musim ke musim.

Di empat musim pertama kariernya, Enrique masih sering dimainkan dengan posisi yang kerap berubah-ubah. Bahkan pada musim 1994/1995, Enrique adalah antagonis sejati bagi Cules. Saat itu sebiji golnya menjebol gawang Barcelona untuk keempat kalinya. Barcelona pulang dari Santiago Bernabeu dengan tertunduk lesu setelah hancur 0-5. Musim inilah Madrid memutus dominasi Barcelona selama empat musim dengan menjuarai La Liga. Gelar liga pertama bagi Enrique sebagai pemain.

Sayangnya, di akhir masa kontraknyanya, pelatih Madrid saat itu, Jorge Valdano, tidak melihat Enrique sebagai pemain yang cocok. Menghangatkan bangku cadangan berkali-kali, sampai puncaknya adalah laga melawan Albacete pada Oktober 1995, pada akhir laga, di hadapan media Enrique mencak-mencak, “Saya sudah terlalu banyak diistirahatkan sampai-sampai saya masih sanggup bermain di usia 60 sampai 70 tahun!”

Sekalipun punya rekam jejak yang tidak buruk, kemesraan Enrique dengan manajemen dan suporter Madrid semakin rapuh. Gineas Carvajal, agen Enrique bahkan menyebutnya sebagai pemain, “yang tidak pernah cocok dengan pendukung di Bernabeu.”

Di momen inilah (musim 1995/1996) datang tawaran dari Barcelona. Dengan status bebas transfer, tanpa kontroversi seperti yang dialami Luis Figo, Enrique menyeberang begitu saja dari Bernabeu ke Nou Camp. “Masa-masa saya di Real Madrid bukanlah memori yang indah,” kenang Enriqeu.

INFOGRAFIK Luis Enrique vs guardiola

Seperti halnya dengan posisi bermain dan keterikatan akan klub, Enrique adalah sosok yang enggan terikat dengan aturan baku. Tidak suka begitu terikat dengan masa lalu, tidak tertarik menggunakan cara-cara kebanyakan orang. Enrique suka membereskan urusannya dengan cara-caranya sendiri.

Inilah yang kemudian membuat Andoni Zubizarreta mengontak Enrique untuk memperbaiki Barcelona yang luluh lantak pada 2014. Untuk kali pertama selama enam musim, Barcelona menyelesaikan musim tanpa gelar. Bahkan bukan cuma Barcelona saja yang sedang berada di titik terendah, merek gaya main mereka; tiki-taka, juga luluh lantak di Piala Dunia 2014 saat digunakan Spanyol.

Zubizarreta harus menemukan cara baru. “Cara Guardiola” sudah tidak mempan lagi. Di sinilah kemudian datang Enrique setelah Real Madrid mendapatkan gelar La Decima-nya yang dramatis melawan Atletico Madrid pada jilid pertama. Josep Maria Bartomeu, Presiden Barcelona yang baru, dikritik. Enrique ini bukan siapa-siapa. Dia memang mantan pemain Barcelona—bahkan mantan pelatih Barcelona B—tapi itu tak cukup untuk membuatnya layak melatih Lionel Messi.

Kariernya paling dikenal hanya ketika mengasuh AS Roma, yang selama semusim 2011/2012 tidak mendapatkan apa-apa (bahkan tidak juga lolos ke Liga Champions). Keraguan ini bahkan tidak juga hilang saat Enrique sukses mengulangi apa yang pernah Guardiola raih: treble winner. Enrique dianggap tidak menggunakan “Cara Barcelona”, permainannya tidak sama seperti yang dilakukan Guardiola: mendominasi, mengintimidasi, dan membunuh lawan sejak awal permainan.

“Kami harus punya ide yang berkembang. Menyempurnakannya, mengimprovisasinya, sehingga kami bisa mengejutkan lawan dan mereka tidak tahu apa jenis permainan yang akan kita gunakan,” ujar Enrique menjelaskan tentang rencana permainannya. Beberapa mengapresiasinya, tapi sebagian besar tidak. Sebab Enrique seolah mencabut akar permainan Barcelona.

Kedatangan Luis Suarez, kepergian Xavi Hernandez dan menuanya Andres Iniesta adalah ciri-ciri bagaimana Barcelona sudah kehilangan kekuatan utamanya di masa lalu dan menemukan kekuatan barunya di masa depan. Trio Messi-Xavi-Iniesta, sudah digantikan dengan trio Messi-Neymar-Suarez. Perubahan yang sekilas tak jauh berbeda, tapi sebenarnya cukup radikal.

Poros kekuatan yang berpindah dari tengah ke depan ini pada akhirnya terimplimentasi secara langsung dalam perbedaan cara main antara Enrique dan Guardiola. Build-up tim Enrique tidaklah sebaik dan serapi dibandingkan build-up tim Guardiola, sekalipun untuk urusan kecepatan build-up, Enrique jauh unggul di atas Guardiola.

“Kami lebih agresif saat melakukan serangan dengan cepat,” tutur Messi menjelaskan perbedaan ini.

Ilmu yang tidak didapatkan dari Spanyol tentu saja, Enrique mendapatkannya dari tanah seberang: Italia bersama AS Roma. “Di Serie A, mereka melihat dulu cara lawan bermain dan baru setelahnya menyusun taktik. Di Spanyol ide besarnya adalah mengontrol bola,” jelas Enrique.

Sayangnya, pada babak 16 besar first leg di Stade de France, Paris (15/2), Enrique dikerjai habis-habisan karena sudah lupa dengan pendekatan semacam itu. Gawang Barcelona yang hebat itu hancur lebur di kaki-kaki Angel Di Maria dua kali, Julian Draxler, dan Edinson Cavani. Skor 0-4 sebenarnya tidaklah menggambarkan betapa hancur Barcelona di hadapan Paris Saint Germain (PSG). Ini bahkan sama buruknya dengan kekalahan Barcelona saat dihancurkan Bayern Munich dengan skor yang sama pada 2012/2013.

Unai Emery, Pelatih PSG, di luar dugaan tahu benar bahwa kecepatan tim Enrique hanya berlaku di sepertiga akhir lapangan lawan. Kecepatan akan semakin bertambah seiring progresif semakin ke depan. Sebab di sana ada Suarez, Neymar, dan tentu saja Messi—sekalipun sering ikut serta menjemput bola ke bawah.

Sadar bahwa menghadapi kuda yang sudah berlari kencang akan sulit, Emery kemudian memilih menghantam kaki si kuda sebelum sempat berdiri. Adrien Rabiot dan Blaise Matuidi benar-benar menunjukkan bagaimana besar sekali perbedaan antara “Barcelona Enrique” dengan “Barcelona Guardiola”. Ternyata untuk bermain di areanya sendiri, Enrique, tidaklah sebaik Guardiola.

Messi, Sergio Busquet mendadak kehilangan visi bermainnya karena akses yang terbatas bahkan ketika bola datang ke kaki mereka untuk pertama kalinya. Kecepatan Barcelona meredup. Enrique tidak hanya bingung membaca permainan PSG, tapi juga tidak mampu membuat Barcelona bermain sepak bola.

Ilmu di mana ia pernah belajar bahwa seorang pelatih harus melihat siapa lawan yang dihadapi baru mempersiapkan taktik, malah digunakan sebenar-benarnya oleh Unai Emery. Tanpa sadar, kebesaran dan reputasi cara bermain Enrique malah tidak bisa lagi memberi kejutan untuk lawannya, namun malah diberi kejutan oleh musuh.

Sialnya, Enrique tidak hanya menghadapi cibiran soal kekalahannya saja. Tapi juga bagaimana ia mengubah Barcelona secara revolusioner sejak era Guardiola yang sedari awal belum diakui secara positif—paling tidak, belum dihargai sama besarnya dengan Guardiola. Hal ini semakin menyerang Enrique.

“Jika Anda kalah, mereka akan membunuh Anda, jika Anda imbang atau menang, mereka masih akan mengritik Anda,” tutur Enrique yang—sayangnya—oleh Sid Lowe di ESPN dijawab, “Jika tim Anda bermain seperti itu, itu sudah pasti.”

Dan sebagaimana ia menghadapi caci dan maki saat masih berseragam Madrid, Enrique jelas akan mampu menghadapi kekalahan ini dengan caranya sendiri. Terutama jika di Nou Camp nanti ia akan bernasib seperti almarhum Tito Vilanova ketika dihancurkan secara total oleh Jupp Heynckes untuk kali kedua.

Dengan cara ala Enrique: meninggalkan Barcelona.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Suhendra