tirto.id - Perempuan Iran saat ini merasa lebih bebas tampil di depan publik tanpa hijab atau penutup kepala seperti yang telah ditetapkan pemerintah, meskipun tindakan tersebut masih berisiko dikecam ataupun ditangkap karena adanya peraturan moral di Iran sejak Revolusi Islam tahun 1979.
Dilansir AP News, pemerintah Iran saat ini tidak begitu gencar menekan perempuan yang tidak menggunakan hijab atau pakaian syari di tengah tegangnya suasana politik dengan AS dan anjloknya perekonomian Iran.
Selain itu, harga hunian juga meningkat tajam akibat ketegangan hubungan diplomasi Iran-AS tersebut, sehingga perhatian pemerintah tersedot ke sana.
Namun, beberapa perempuan Iran mengaku masih memiliki ketakutan untuk tidak memakai hijab di muka umum.
“Harus saya akui, ini sangat-sangat menakutkan,” kata seorang wanita berusia 30 tahun yang enggan disebut namanya.
Ia menambahkan, ia berharap bahwa perubahan akan terus terjadi. Dengan ada lebih banyak perempuan bergabung, menurutnya bisa mengubah keadaan.
“Mereka mengejar kita, tapi tidak bisa menangkap kita. Oleh karena itu, kami percaya perubahan akan terjadi,” tandasnya.
Banyak wanita Iran kini mendukung kebebasan berpakaian wanita dan bahkan menguji para penguasa (yang menganut alirah Syiah) dan para penegak hukumnya dengan tampil di muka umum tanpa penutup kepala.
Perempuan tanpa penutup kepala/hijab lebih sering ditemui di kawasan elit Iran, seperti mall, lobi hotel, dan kawasan-kawasan kaya lainnya.
Sebagian besar perempuan lainnya memakai penutup kepala berwarna yang terpasang longgar yang masih menampakkan rambut mereka.
Saat ini perempuan yang menggunakan pakaian serba hitam dari ujung kaki hingga kepala serta cadar sangatlah minim di Iran, terutama kota-kota besar.
Perjuangan perempuan Iran telah dimulai sejak Desember 2017 ketika seorang perempuan memanjat utility box di pinggir jalan dan mengibarkan hijabnya dengan sebuah tongkat di Tehran’s Revolutionary Street, diikuti massa yang menuntut kebebasan berpakaian bagi wanita.
Sekitar 30-an perempuan ditangkap setelah kejadian tersebut, termasuk 9 orang masih ditahan hingga saat ini.
CNN melansir, demonstrasi dimulai ketika Vida Mohaved, perempuan yang ditangkap pada Desember 2017 karena melepas hijab selama gelombang anti-rezim berlangsung dibebaskan pada Januari 2018.
Sosial media kemudian ramai dengan tagar #TheGirlsOfRevolutionStreet, sebuah penghormatan bagi Mohaved.
Beberapa bulan kemudian, hukum mengenai pengaturan pakaian terhadap wanita mulai dilonggarkan. Di bawah pemerintahan Hassan Rouhani penegak hukum moral tidak segarang sebelumnya.
Selain itu, perempuan yang menyetir tanpa hijab juga tidak akan ditangkap melainkan hanya didenda dengan jumlah yang kecil.
Pelonggaran hukuman ini memberikan keberanian pada perempuan Iran untuk berpakaian dengan lebih bebas.
Bulan lalu, sebuah video tersebar di media sosial. Menunjukkan seorang petugas menarik perempuan tak berhijab dan mendorongnya ke belakang mobil polisi dengan kasar. Perbuatan petugas tersebut mendapat kecaman dari netizen.
Presiden Hassan Rouhani dan Perdana Menteri Ayatollah Ali Khamenei, seperti diwartakan Washington Post, mendukung perlakuan yang lebih lembut terhadap perempuan yang tidak mengindahkan aturan berpakaian resmi.
Akan tetapi, penganut garis keras menentangnya dengan menyebut bahwa peringanan semacam itu dapat membuat perempuan tidak jera.
Mereka menuntut hukuman keras, bahkan kejam dengan beranggapan bahwa perempuan yang tidak menutupi kepala mereka adalah bagian dari kebobrokan moral dan aib bagi keluarga.
Pengadilan Iran juga baru-baru ini meminta warganya untuk melapor jika ada perempuan yang berfoto tanpa hijab untuk kepentingan media sosial.
“Semakin banyak perempuan berpakaian terbuka, semakin kecil kita memperoleh kedamaian di masyarakat, karena rasio kejahatan akan meningkat,” kata Minoo Aslani, kepala divisi perempuan di kelompol paramiliter Basij Group.
Kebebasan berpakaian bagi perempuan Iran masih dalam tahap pro-kontra di pemerintahan dan masyarakat umum.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yandri Daniel Damaledo