Menuju konten utama

Perang Satelit dan Era Perang Tanpa Prajurit

Perang di masa depan bisa mengurangi peran manusia. Kemajuan teknologi mata-mata dan perkembangan penghancuran massal bisa meminimalisir peperangan darat dan pengerahan kombatan dalam jumlah besar. Teknologi satelit menjadi kunci.

Perang Satelit dan Era Perang Tanpa Prajurit
Iris, sebuah kamera video ultra-HD di Stasiun Antariksa Internasional. [foto//businessinsider.co.id/UrtheCast]

tirto.id - Di zaman satelit seperti sekarang, dunia intelijen berkembang sangat pesat. Kecanggihan teknologi harus diikuti, tak boleh tertinggal, jika perlu dimiliki. Negara-negara maju mengembangkan satelit, tak hanya untuk kepentingan komunikasi, tapi juga untuk kepentingan militer.

Sebenarnya ini bukan fenomena baru. Sejak era Perang Dingin, negara-negara besar macam Amerika Serikat atau Rusia sudah mengembangkan teknologi ruang angkasa. Dari ruang angkasa itulah mereka memantau bumi, termasuk wilayah lawan dan mengintip semua sumber daya alam yang terkandung di bumi.

Demi kepentingan bersama, Stasiun Luar Angkasa Internasional atau International Space Station (ISS) disiapkan oleh 15 negara. Jepang, Kanada, Brazil, Rusia juga America dan 11 negara dari Uni Eropa ikut serta dalam pembangunannya. Menurut Business Insider (18/06/2015), proyek luar angkasa internasional ini memakan dana US$ 100 Milyar. Meski memakan banyak biaya, manfaatnya tak hanya untuk urusan militer dan intelijen.

Nyaris tak ada wilayah yang terpetakan lagi di bumi, bahkan negara yang sangat tertutup macam Korea Utara pun bisa diintai. Dengan bantuan kamera video ultra bernama IRIS yang ditempatkan di ISS, yang jaraknya 400 km dari bumi, ibukota Korea Utara pun bisa dipetakan.

Kamera ini diluncurkan perusahaan asal Kanada, UrtheCast, pada 2013. Kamera ini dijual pada Juli 2013 dengan harga $20 ribu hingga $30 ribu.

Kecanggihan kamera IRIS, yang mampu menampilkan gambar dengan resolusi 4 ribu piksel (4K), membuat Korea Utara bukan lagi terra incognito. Age Times dan Business Insider (14/10/2016) menyebut, lekuk-lekuk kota Pyongyang pun bisa ditelanjangi saat siang bolong pada 30 Mei 2016.

Kota Pyongyang berhasil dipetakan dengan mudah. Mana fasilitas umum, pemukiman, hutan kota, hingga lapangan biasa untuk parade militer pun bisa diketahui. Bagi negara yang punya masalah politik dan militer dengan Korea Utara, tak perlu pusing untuk menyusupkan mata-mata untuk memetakan wilayah Korea Utara.

Memang ada banyak cara untuk mengintai wilayah lawan. Selain satelit, drone juga masih menjadi andalan. Drone tentu tak punya ketajaman 4K seperti yang dimiliki IRIS. Sebagai benda asing di udara, drone juga bisa terdeteksi radar. Setelah terdeteksi, lawan tak akan diam dan drone bisa dilumpuhkan. IRIS, melalui ISS, tentu tak akan kena radar konvensional lawan.

Sejarah mengintai lawan, tentu saja dengan mengirimkan mata-mata, memang sudah sangat panjang. Jika penulis Inggris, Rudyard Kipling, percaya bahwa pelacur adalah profesi tertua di dunia, maka Vladimir Putin yang pernah menjadi intel KGB percaya bahwa mata-mata termasuk profesi tertua di dunia.

Penggunaan mata-mata jelas seperti pisau bermata dua. Bisa saja mata-mata yang diturunkan di lapangan adalah agen ganda, artinya si mata-mata bekerja juga untuk musuh. Katakanlah seperti legenda perempuan mata-mata bernama Matahari yang bekerja untuk Jerman juga Perancis. Jika pun bukan agen ganda, mata-mata bisa balik membahayakan jika tertangkap musuh.

Kelebihan mata-mata yang diturunkan di lapangan, selain untuk memetakan wilayah lawan, juga mampu mengenali kondisi sosial dan psikologis lawan. Hal terakhir ini sulit dibaca oleh teknologi mata-mata macam kamera IRIS di ISS.

Untuk mencari tahu dan mengenali bagaimana kondisi psikologis dan sosial musuh, kadang cukup terbantu kalangan akademisi di bidang sosial. Sudah banyak catatan etnografis dari berbagai bangsa yang tersimpan di berbagai perpustakaan negara-negara maju. Di sana karakteristik semua bangsa sudah dianalisis.

Kecanggihan teknologi memang bisa menggantikan porsi tertentu mata-mata. Jika kecanggihan teknologi semakin pesat, peran manusia dalam intelijen kelak akan lebih sebagai operator peralatan dan analis-analis yang membaca karakter dan situasi lawan.

Jika semua bahan tentang musuh sudah tersedia, dan perang siap dilaksanakan, maka pasukan pendahulu tak diharuskan untuk maju ke medan tempur membuka jalan menuju front lawan. Jika pun ada pasukan pendahulu, tugasnya melakukan evakuasi terhadap rakyat sipil atau membantu memberi peringatan agar rakyat sipil mengosongkan daerah yang akan menjadi medan perang. Seringkali rakyat sipil di wilayah musuh sudah diungsikan oleh pihak musuh sendiri. Jadi, tinggal kirim serangan saja.

Perang di masa sekarang memang sudah berubah dibandingkan zaman baheula. Di masa lalu, perang dilakukan di lapangan terbuka. Seperti medan kurusetra pada perang Baratayuda dalam epos Mahabarata. Duel satu lawan satu adalah hal biasa. Namun, sekarang adalah era bahan peledak untuk menghabisi lawan yang jumlahnya banyak.

Infografik satelit kamera ulta HD iris

Sudah menjadi tugas Angkatan Udara, dengan pesawat-pesawat tempurnya, membombardir wilayah musuh lebih dulu. Jika pesawat sudah tidak di arena pertempuran lagi, dan berhasil memporak-porandakan wilayah lawan, maka tembakan-tembakan artileri (pasukan penembak meriam dan peluru kendali) Angkatan Darat akan mengirimi peluru kendali alias rudal. Hal semacam ini sudah terjadi di masa Perang Dunia II.

Ketika pasukan Angkatan Darat akan menyerbu, barulah pasukan Zeni (pembuka jalan) di depan diiringi tank-tank atau panser dari kavaleri (pasukan lapis baja). Infanteri seharusnya menyusul di belakangnya untuk pembersihan kantong-kantong musuh yang tak kena bom udara atau artileri.

Tentu jika itu perang kota atau di daratan. Jika hendak merebut sebuah pulau, setelah bombardir dari udara oleh pesawat-pesawat Angkutan Udara, lalu disusul tembakan meriam dari kapal-kapal Angkatan Laut, setelahnya barulah giliran Marinir (pasukan pendarat) diturunkan untuk membersihkan pantai. Setelah pantai bersih, barulah dimulai pergerakan masuk ke pedalaman pulau.

Setelah Perang Dunia II, rudal berkembang pesat. Amerika punya Patriot, Uni Soviet (kini Rusia) punya Scud. Bahkan rudal antar benua juga dikembangkan dengan rudal-rudal masa kini yang berhulu ledak menyamai kapasitas bom atom.

Di akhir Perang Dunia II, bom atom harus dibawa dengan pesawat lalu dijatuhkan. Saat ini peledakan wilayah lawan bisa melalui rudal. Jumlah pasukan Angkatan Darat untuk membersihkan wilayah lawan tak sebanyak dulu lagi. Tak jarang pasukan infanteri atau marinir menganggur, seperti yang terjadi dalam Perang Teluk. Mereka hanya direpotkan oleh gerilyawan pasca perang.

Gambaran prajurit di masa depan boleh jadi akan mirip seperti momen dalam film Jarhead (2005) yang mengisahkan pasukan marinir Amerika dalam perang Irak yang frustasi sepanjang penyisiran wilayah musuh. Tak satu pun musuh ditemuinya.

Setelah sekian lama berlatih di Amerika, lalu akhirnya diterjunkan ke medan pertempuran, dan tiba pada momen menembak, ternyata perintah pembatalan datang. Seorang perwira membatalkan perintah tembak karena Angkatan Udara akan bekerja membombardir tempat itu.

Baca juga artikel terkait PERANG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Teknologi
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS