Menuju konten utama

Penyakit PT DI dalam Ambisi Membawa Terbang N219 Mendunia

PT Dirgantara Indonesia (PT DI) menyiapkan pesawat N219 Nurtanio sebagai produk yang bisa menembus pasar global. Namun PT DI punya banyak persoalan, apakah akan berhasil?

Penyakit PT DI dalam Ambisi Membawa Terbang N219 Mendunia
Pesawat CN235-220M pesanan Royal Thai Police (RTP) Thailand disiapkan di hanggar PT Dirgantara Indonesia (DI), Bandung, Jawa Barat, Jumat (25/11). ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra/pd/16

tirto.id - Usai kandasnya proyek pesawat N250 dua dekade silam, tak ada lagi pesawat penumpang berasal rancang bangun yang murni dari PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Namun, setelah menyiapkan cukup lama, PT DI akhirnya sukses membuat dan membawa N219 Nurtanio berhasil terbang perdana pada Agustus tahun lalu.

Keberhasilan purawarupa N219 Nurtanio bisa mengudara, lantas jadi harapan bagi masa depan industri dirgantara Indonesia. N219 Nurtanio yang merupakan pesawat berdaya angkut 19 orang memang disiapkan bagi transportasi daerah terpencil yang cocok dengan karakter wilayah Indonesia yang banyak pulau.

PT DI merupakan satu-satunya perusahaan BUMN perakit pesawat di Tanah Air bahkan di ASEAN. Perusahaan ini berdiri sejak 24 April 1976, mulanya memiliki nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Kala itu B.J.Habibie yang dipercaya sebagai pemimpin perusahaan.

Sebelum kelahiran N219 Nurtanio, kiprah PT DI memang sudah mampu berbicara di level global terutama untuk produk pesawat-pesawat atau helikopter rakitan dengan lisensi asing. Beberapa produk komponen pesawat komersial lansiran PT DI juga sudah sangat diperhitungkan di dunia dirgantara.

Misalnya pesawat, CN295. Jenis ini menjadi andalan operasi militer di daerah terpencil dan pesawat cepat tanggap untuk misi kemanusiaan. Selain itu, ada Helikopter Superpuma Family, buah kolaborasi antara PT DI dan perusahaan Airbus Helicopter asal Perancis. Jenis paling terkenal adalah EC225 yang biasa digunakan untuk mengangkut pejabat negara.

Ingin meneruskan kesuksesan di bisnis perakitan dan komponen, PT DI akan memaksimalkan keberadaan pesawat Nurtanio nantinya saat lolos berbagai sertifikasi dan uji untuk bisa dipasarkan secara komersial.

Sinyal positif pasar bagi N219 Nurtanio sudah nampak, meski belum lulus sertifikasi, para pemesannya sudah berdatangan. Pihak Mexico misalnya, sudah menyatakan minatnya untuk memboyong pesawat N219 Nurtanio. Di dalam negeri pun tak kalah positif, Pemprov Kalimantan Utara mempersiapkan anggaran untuk bisa memiliki pesawat tersebut.

Menteri BUMN Rini Soemarno juga menginginkan agar pesawat N219 Nurtanio bisa segera beroperasi secara massal di Papua. Ia menilai spesifikasi Nurtanio sangat cocok dengan kondisi geografis di Papua yang bergunung-gunung.

Manajemen PT DI optimistis bisa mendulang sukses di pasar domestik maupun internasional lewat kiprah Pesawat N219 Nurtanio. Setidaknya ini bisa menjadi deretan baru dari penetrasi produk PT DI di industri penerbangan dunia.

PTDI akan menyiapkan dua prototipe atau purwarupa pesawat N219 untuk uji terbang hingga mencapai 300 flight hours dan dua purwarupa lainnya untuk dilakukan fatigue test atau uji beban untuk mendapatkan type certificate pada tahun ini.

Setelah itu maka akan dimulai tahapan serial production untuk mendapatkan production certificate. Sehingga pada tahun 2019 nanti, pesawat pertama N219 sudah siap dan layak untuk memasuki pasar.

"Ada beberapa calon launch customers awal Juli 2019, salah satunya adalah PT Pelita Air Service," kata Irland Budiman, Manajer Hukum dan Humas PTDI kepada Tirto.

Irland mengatakan, Pesawat N219 nantinya akan diproduksi secara bertahap. Pada tahap awal akan diproduksi enam unit. Kemudian secara bertahap lagi kemampuan pengiriman akan terus ditingkatkan hingga mencapai 50 unit per tahun.

Infografik PTDI

Kiprah N219 diharapkan bisa seperti CN235 dan NC212 series yang sudah bisa dipakai di14 negara seperti Korea Selatan, Turki, Venezuela, Malaysia, dan lainnya.

Berdasarkan catatan PT DI yang diperoleh Tirto, tercatat sebanyak 64 unit Pesawat jenis CN235 dan 105 unit NC212 sudah berhasil dikirim ke negara pemesan. Indonesia, Turki, Uni Emirat Arab dan Korea Selatan merupakan konsumen CN235 yang paling dominan. Sementara itu, untuk NC212 sekitar 90 persen produknya ada di dalam negeri, selebihnya di Malaysia dan Filipina.

Berbekal capaian penjualan tersebut, PT DI yakin bisa dengan mudah memaksimalkan potensi pasar Pesawat Nurtanio di dalam negeri maupun global. Selain itu, untuk menggencarkan penetrasi pemasaran, PT DI juga telah menggandeng Turkish Aerospace Industries Inc. (TAI). Targetnya, N219 Nurtanio yang memiliki keunggulan bisa dioperasikan di landasan pacu pendek mampu memikat pasar.

Namun, ada catatan penting yang perlu dibenahi oleh manajemen PT DI, yakni terkait ketepatan waktu pengiriman pesawat. Sebab, awal tahun lalu saja PT DI menelan rugi akibat terkena denda keterlambatan pengiriman pesawat pesanan negara lain. Di antaranya pengiriman pesawat NC212-400 ke Thailand yang baru dikirim pada 2016, padahal perjanjiannya pengiriman dilakukan pada 2013.

Serta denda keterlambatan mengirim pesawat Super Puma NAS332 untuk TNI Angkatan Udara yang baru dikirim 2016, padahal perjanjiannya dikirim pada 2014. Tercatat, total denda akibat keterlambatan pengiriman pesawat di 2016 sebesar Rp222,56 miliar.

"Kami akui memang ada beberapa keterlambatan delivery pesawat PT DI kepada customer yang sebagian besar penyebabnya karena hal-hal di luar kendali PT DI. Sebagai salah satu contoh pengembangan design yang tergantung kepada pihak ADS Spanyol maupun vendor yang memakan waktu, banyaknya barang/komponen yang obsolete (usang) yang sulit didapat di pasaran maupun keterlambatan pengiriman barang/komponen dari vendor," ujar Irland beralasan.

Sedangkan di sisi lain, PT DI memiliki keterbatasan modal kerja untuk stok barang, serta keterbatasan modal kerja untuk pembangunan wahana uji terbang sebelum mengaplikasikan desain baru. Sehingga terpaksa pengembangan dilakukan langsung pada pesawat milik pemesan.

Hal lain yang tidak dapat dipungkiri adalah karena keterbatasan tenaga kerja berkualifikasi. Latar masalahnya karena hampir dua dekade di PT DI proses regenerasi terhenti dan baru dapat dilaksanakan pada 2014.

Irland mengaku kini pihaknya telah berbenah dan selalu mengedepankan kepuasan pelanggan melalui penyerahan produk maupun jasa secara tepat mutu, tepat biaya dan tepat waktu.

Pembenahan dilakukan dengan berbagai langkah terutama di sektor finansial, operasional, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi Informasi. Sehingga PT DI juga bisa mencatatkan pengiriman yang tepat waktu baik untuk pesawat dan helikopter untuk pemesan di dalam dan luar negeri.

"Contohnya penyerahan helikopter Bell412EP pesanan TNI AD dan POLRI/Polud yang tepat waktu, penyerahan CN295 TNI AU yang bahkan mendahului jadwal dalam kontrak, penyerahan CN235-220 MPA TNI AL yang tepat waktu dan penyerahan CN235-220 ke Afrika yang tepat waktu," katanya.

Dalam catatan awal tahunnya, Direktur Utama PT DI Elfien Goentoro memproyeksikan perusahaan mampu membukukan laba bersih sebesar US$2-3 juta. Angka tersebut ditargetkan meningkat pada akhir 2018 menjadi US$12 juta dengan total penjualan sebesar US$494 juta.

"Target tersebut akan didukung dengan penetrasi peningkatan market share, memperkuat hubungan dengan pelanggan, merampungkan sertifikasi dan komsersialisasi pesawat N219 serta mengimplementasikan perjanjian kerja sama bidang services," ujar Elfien dalam catatannya yang diterima Tirto.

Setidaknya ada hal yang menjadi poin penting. Sebelum PT DI membidik pasar luar negeri, pasar dalam negeri layak diprioritaskan selain sebagai pembuktian bahwa produk mereka diapresiasi di dalam negeri sendiri. Selain itu, pelajaran berharga dari "daftar cela" pengiriman tak boleh terulang, dan yang terakhir soal ketersediaan sumber daya manusia yang paling krusial.

Beberapa waktu lalu BJ Habibie yang juga sedang mengembangkan pesawat penumpang R80 menyampaikan soal sumber daya manusia (SDM) bidang penerbangan Indonesia sudah banyak tersedot ke industri-industri penerbangan negara lain pasca gagalnya proyek N250. Habibie berpesan memulai kebangkitan industri penerbangan harus dimulai dari sekarang daripada terkendala dengan (SDM) yang tersedia. Bila semua tak segera ditangani akan menjadi "penyakit" bagi industri penerbangan Indonesia.

"Jadi kalau kita tidak menggolkan pesawat R80 sekarang, SDM-nya akan habis."

Baca juga artikel terkait PT DI atau tulisan lainnya dari Dano Akbar M Daeng

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dano Akbar M Daeng
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra