Menuju konten utama

Penuhi Asupan Vitamin D Anda demi Imun yang Lebih Tinggi

Meski tinggal di negara tropis yang punya banyak sinar matahari, orang Indonesia banyak yang mengalami defisiensi vitamin D.

Penuhi Asupan Vitamin D Anda demi Imun yang Lebih Tinggi
Ilustrasi makanan kaya vitamin alami D. iStockphoto/GettyImages

tirto.id - Pertengahan Januari lalu, dokter menyarankan saya untuk mulai mengonsumsi suplemen vitamin D tambahan. Sebabnya, uji laboratorium menunjukkan saya mengalami defisiensi (kekurangan) vitamin D. Padahal, saya harus melakukan operasi di bagian perut bawah, dalam waktu dekat. Katanya, vitamin D berfungsi tak hanya untuk kekuatan tulang, tapi juga menjaga kekebalan tubuh.

Hasil uji laboratorium pertama pada awal tahun menunjukkan kadar vitamin D dalam tubuh saya hanya 6,4 saja. Nilai rujukan kurang dari 10 mengindikasikan tubuh mengalami defisiensi vitamin D. Sementara nilai 10-29 diterjemahkan sebagai ketidakcukupan (insufisiensi) vitamin D. Nilai normal (sufisien) vitamin D seharusnya berada di angka 30-100. Kadar vitamin D mulai dikategorikan berlebih dan menjadi toksik ketika bernilai lebih dari 100.

“Supaya operasi nanti tidak ada perlengketan,” kata dokter saya waktu itu, sembari meresepkan kapsul vitamin D3 1000 IU yang diminum tiga kali sehari.

Ia juga meminta saya untuk berjemur setidaknya lima belas menit sehari. Sayangnya, saran terakhir tidak saya lakukan dengan rutin karena saat itu cuaca lebih sering mendung. Sebulan kemudian dokter kembali meminta uji laboratorium, hasilnya lumayan, meski belum mencapai angka normal, status vitamin D saya naik menjadi 26.

Bulan Maret, akhirnya saya dijadwalkan operasi. Setelah itu, dokter tetap meresepkan vitamin D harian hingga saat ini, hanya saja dosisnya dikurangi menjadi dua kapsul dalam sehari.

Mulanya, saya sempat bertanya-tanya, mengapa prosedur operasi yang saya jalani harus dimulai dengan persiapan panjang, termasuk mengonsumsi vitamin D selama dua bulan sebelum operasi, yang membikin saya harus keluar uang tambahan sebanyak Rp500 ribu per bulan. Padahal, kawan saya yang menjalankan prosedur operasi yang sama tak dituntut persiapan serupa.

Penelitian yang terbit di Turkish Journal of Anaesthesiology and Reanimation pada tahun 2015 akhirnya menjawab pertanyaan tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa pasien dengan defisiensi vitamin D memiliki sejumlah masalah pasca-operasi.

Mereka dikaitkan dengan perawatan rumah sakit yang lebih lama, perawatan ulang di ICU (kambuh) dalam waktu 90 hari, dan risiko kematian lebih tinggi. Artinya, jika tubuh cukup vitamin D, maka proses pemulihan dari sakit atau operasi akan semakin cepat. Lebih lanjut laman WebMD memaparkan, defisiensi vitamin D dapat membuat risiko gagal jantung lebih tinggi.

Pada bayi, anak, dan remaja, konsumsi vitamin D dapat mengurangi risiko gigi berlubang 36-49 persen. Kekurangan vitamin D juga membikin peluang tinggi kekeroposan tulang, infeksi pernapasan, gigi tanggal, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dislipidemia, intoleransi glukosa, diabetes, serta penyakit autoimun.

“Pada persiapan kehamilan defisiensi vitamin D membikin fungsi sel bekerja kurang baik, bisa menimbulkan preeklamsi dan prematur,” ungkap Grace Valentine, dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari RS Pondok Indah, saat menjawab pertanyaan dari Tirto, Rabu (14/8/2019).

Infografik Vitamin D

Infografik Vitamin D. tirto.id/Quita

Negara Tropis Defisit Vitamin D

Vitamin D paling mudah dan banyak didapat dari paparan sinar matahari. Sebanyak 90 persen asupan vitamin D bisa diperoleh hanya dengan berjemur, sedang sisa diperoleh dari konsumsi tuna, mackerel (mackerel Spanyol dan India), salmon, telur, atau susu. Logikanya, masyarakat di negara tropis yang sebagian besar waktunya terpapar sinar matahari, seharusnya tidak akan kekurangan vitamin D. Namun, penelitian ternyata menunjukkan fakta sebaliknya.

Defisiensi vitamin D lebih tinggi prevalensinya di negara-negara empat musim dengan sedikit paparan sinar matahari, misalnya, negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan beberapa bagian Australia. Namun, masalah ini ternyata juga terjadi di negara-negara tropis. Di Florida contohnya, sebanyak 40 persen orang tua di sana tidak cukup vitamin D.

Masyarakat dari Asia Selatan diduga memiliki tingkat vitamin D terendah dibandingkan dengan kelompok lain walaupun punya indeks massa (BMI) sama. Kesimpulan ini merupakan ringkasan penelitian Dian Caturini Sulistyoningrum, Dosen Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan, terhadap berbagai kelompok etnis, yaitu Kaukasia, Asia Timur, Asia Selatan, dan Aborigin di Kanada.

Ia menyetarakan kasus kurangnya vitamin D pada orang Asia Selatan dengan kerentanan serupa pada Kaukasia di negara empat musim. Studinya yang lain pada anak-anak berusia 15-18 tahun di 10 sekolah Yogyakarta juga menunjukkan hampir 100 persen sampel penelitian kekurangan vitamin D.

Sementara gambaran tren vitamin D di Indonesia dapat dilihat dari penelitian terbitan Asian Journal of Clinical Nutrition. Hampir 300 sampel perempuan dari Sumatera Utara diteliti dan hasilnya menunjukkan 122 orang statusnya defisiensi dan 158 sampel insufisiensi. Hanya ada 12 subjek yang memiliki kadar vitamin D sufisien, tapi tidak satupun yang nilainya normal untuk standar negara tropis. Terakhir, analisis di sebuah klinik bersalin di Jakarta (2016), dari 143 sampel perempuan, sebanyak 90,2 persennya mengalami defisiensi vitamin D.

“Di kita meski matahari banyak tapi budayanya takut (kulit) hitam, dan sering pulang pagi, pulang malam, sehingga paparan matahari rendah sekali,” ujar Grace.

Setiati S, seorang spesialis geriatri dari RSCM melalui studinya menambah kesimpulan soal faktor-faktor penyebab defisiensi vitamin D di negara tropis, di antaranya aktivitas lebih banyak dilakukan di ruangan, pemakaian penutup kepala (jilbab), dan tabir surya. Padahal, asupan vitamin D dalam tubuh cukup dipenuhi dengan berjemur lima belas menit selama 6 hari (tanpa tabir surya).

Jumlah vitamin D yang didapatkan dengan hitungan waktu tersebut sudah cukup mengisi cadangan vitamin D selama 49 hari. Praktis, efektif, dan murah, dibanding dengan membeli sumplemen vitamin D yang harganya lumayan menguras kantong.

Baca juga artikel terkait VITAMIN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti