Menuju konten utama

Demokrat Desak Jokowi Bertindak atas Pilkada yang Rugikan Kadernya

Presiden Jokowi diminta Partai Demokrat dapat bertindak tegas atas Pilkada di tiga daerah yang merugikan kadernya.

Demokrat Desak Jokowi Bertindak atas Pilkada yang Rugikan Kadernya
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memimpin langsung rapat darurat di Kantor DPP Partai Denmokrat, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id -

Partai Demokrat meminta kepada Presiden Jokowi agar menindak tegas ketidakadilan yang menimpa mereka di Pilkada DKI Jakarta, Papua dan Kalimantan Timur oleh institusi negara dengan niatan menggembosi kader-kader mereka yang berkontestasi di tiga daerah tersebut.

"Kami berharap Presiden Jokowi agar Pilkada dapat berjalan fair, adil dan jujur," kata Sekjen Demokrat, Hinca IP Panjaitan dalam konferensi pers usai rapat pengurus harian DPP Demokrat malam ini, di Kantor DPP Demokrat, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2018) malam.

Demokrat, kata Hinca, menginginkan agar Presiden Jokowi mengambil dua langkah. Pertama, merawat demokrasi di Indonesia. Kedua, menghentikan perlakuan tidak adil dalam Pilkada dan berlangsungnya demokrasi.

"Demokrat masih percaya dan mendukung kepemimpinan Jokowi sampai selesai. Demokrat yakin Jokowi tidak mengetahui perlakuan yang tidak sepatutnya dilakukan institusi negara," kata Hinca.

Permintaan ini, kata Hinca, merupakan hasil dari rapat darurat yang dilakukan DPP Demokrat malam ini dengan dipimpin langsung oleh Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai respons atas ketidakadilan yang selama ini menimpa mereka.

"Semula Partai Demokrat memilih untuk mengalah dan menahan diri dengan harapan hal-hal semacam ini tidak terjadi lagi. Ternyata perlakuan tidak adil ini terjadi lagi dan terjadi lagi," kata Hinca.

Dalam rapat yang berlangsung selama lebih kurang satu jam tersebut, Hinca menyatakan DPP Demokrat menginventarisir masalah-masalah di Pilkada tiga daerah tersebut.

Demokrat menilai di Pilgub DKI Jakarta 2017 empat ketidakadilan terjadi pada pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Pertama, adanya kriminalisasi terhadap Sylviana atas kasus dana hibah Kwarda Pramuka DKI Jakarta dan pembangunan masjid al-Fauz di kompleks kantor walikota Jakpus saat proses Pilgub DKI masih berlangsung.

"Sampai saat ini belum ketahuan ujungnya. Yang kita tahu hanya awalnya," kata Hinca.

Kedua, adalah tuduhan SBY mendanai aksi 411 dan 212 yang menurut Demokrat merupakan sebuah fitnah untuk menggembosi citra yang bersangkutan dan pasangan AHY-Sylviana di Pilgub DKI Jakarta.

"Padahal faktanya sama sekali tidak ada dan tidak berdasar," kata Hinca.

Ketiga, tuduhan Antasari Azhari menjelang pemilihan putaran pertama Pilgub DKI Jakarta bahwa SBY berada di balik kriminalisasi dirinya atas kasus pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Rajawali Banjaran, Nazarudin Zulkarnain, yang membuatnya menjalani hukuman selama delapan tahun.

Menurut Hinca, pada waktu itu pasangan AHY-Sylviana menempati survei paling tinggi, tapi kemudian tergerus dan kalah dalam Pilgub DKI Jakarta. Meskipun, kata dia, pasangan ini dan Demokrat pada akhirnya telah menganggap perkara itu selesai dan mengakui Pilgub DKI Jakarta telah selesai dengan baik dan mengakui pemenangnya.

"(Antasari) Sudah kami laporkan ke penegak hukum yang sampai saat ini masih belum diproses secara tuntas," kata Hinca.

Keempat, adalah penyerangan ke rumah SBY di Mega Kuningan, Jakarta Pusat, oleh sekelompok orang di tengah proses Pilgub DKI Jakarta. Menurut Hinca, Demokrat juga telah melaporkan hal itu ke kepolisian tapi belum diproses sampai hari ini.

Selanjutnya, menurut Hinca, dugaan kriminalisasi terjadi pada kader Demokrat Lucas Enembe dan Klemen Tinal yang melaju sebagai pasangan bakal cagub dan cawagub Papua 2018.

Sekitar Oktober 2017, Hinca mengatakan Lucas Enembe dipaksa menerima wakil yang bukan atas keinginannya dan kemudian menandatangani untuk memenangkan partai tertentu. Padahal, menurutnya, Lucas Enembe adalah ketua DPD Partai Demokrat Papua dan telah mempunyai cawagub.

Dalam kasus ini, Demokrat telah membentuk tim pencari fakta dan telah menyelesaikan laporan yang disampaikan kepada Presiden Jokowi.

"Terimakasih kepada Presiden Jokowi akhirnya kasus itu selesai. Pada 29 Desember lalu kami telah deklarasikan pasangan ini," kata Hinca.

Terakhir, kata Hinca, ketidakadilan terjadi pada Ketua DPD Demokrat Kaltim Syaharie Jaang yang berniat untuk menjadi cagub Kaltim 2018 berpasangan dengan Walikota Balikpapan, Rizal Efendi.

Syaharie dipanggil oleh parpol tertentu sampai delapan kali dan diminta agar berpasangan dengan Kapolda Kaltim, Irjen Pol Safaruddin dan membatalkan Rizal sebagai cawagubnya. Bila tidak dipenuhi, parpol tersebut menurut Hinca mengancam akan mengkriminalisasikan Syaharie.

Safaruddin menurut Hinca sempat menelepon langsung kepada Syaharie pada 25 Desember 2017 guna meminta yang bersangkutan bersedia berpasangan dengannya.

"Beliau (Sjaharie) menjawab tidak mungkin," kata Hinca.

Akibatnya, kata Hinca, sehari setelah penolakan itu Syaharie dilaporkan ke Bareskrim atas kasus pemerasan dan pencucian uang. Lalu, tanggal 27 Desember 2017 surat pemeriksaan kepada Syaharie sudah keluar.

"Padahal kasus ini sudah diputus di pengadilan dan Syaharie bebas," kata Hinca.

Safaruddin diketahui masuk dalam bursa pencalonan Cagub Kaltim 2018 dari PDIP.

Berkaca pada tiga hal tersebut, menurut Hinca, Demokrat khawatir akan ada tindakan kriminalisasi dan ketidakadilan di daerah lainnya dalam Pilkada serentak 2018. Sehingga, Demokrat meminta Presiden Jokowi untuk segera turun tangan mengatasi hal ini.

Demokrat juga mengajak seluruh kadernya untuk bergerak mencegah ketidakadilan kembali terjadi. "Dengan uraian seperti ini, Partai Demokrat mengajak kader di seluruh Indonesia agar Pilkada bebas dari intervensi, bebas dari kesewenang-wenangan, dan hal yang mencederai demokrasi," pungkas Hinca.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Maya Saputri