Menuju konten utama

Penganiayaan Ken Admiral & Arogansi Polisi yang Terus Berulang

Hampir dalam semua kasus, perilaku arogansi yang dilakukan personel terjadi karena pemahaman esprit de corps yang keliru.

Penganiayaan Ken Admiral & Arogansi Polisi yang Terus Berulang
Ilustrasi penganiayaan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Aditya Hasibuan, anak dari Kabag Binopsnal Direktorat Narkoba Polda Sumatra Utara, AKBP Achiruddin Hasibuan, kini menjadi tersangka penganiayaan terhadap Ken Admiral. Aditya dijerat Pasal 351 ayat (2) KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Sementara bapaknya, yang membiarkan anaknya menganiaya korban, dicopot dari jabatannya dan dikenakan sanksi etik profesi.

Juru Bicara Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti kepada reporter Tirto, Rabu (26/4/2023) mengatakan, “Kami sangat menyesalkan terjadinya penganiayaan yang diduga dilakukan anak seorang perwira menengah kepolisian.”

Poengky melanjutkan, sebelumnya diduga juga terjadi pengeroyokan oleh Aditya bersama beberapa kawannya yang mengakibatkan mobil korban rusak. Ketika korban meminta ganti rugi ke rumah pelaku, Achiruddin diduga menodongkan senjata api laras panjang kepada korban.

Kompolnas berharap penyidik Ditreskrimum Polda Sumatra Utara dapat mengembangkan perkara ini tidak hanya dugaan kejahatan tersangka, tetapi juga orang-orang yang membiarkan terjadinya penganiayaan, serta dugaan penodongan senjata api.

“Jika benar demikian, maka ayah tersangka yang merupakan anggota Polri perlu diproses pidana dan diperiksa terkait dugaan pelanggaran kode etik. Kami berharap proses penyidikan dilakukan secara profesional dengan dukungan scientific crime investigation dan disampaikan secara transparan kepada publik," ucap Poengky.

Poengky sebut, Kompolnas berharap seluruh anggota Polri dan keluarganya taat hukum, tidak melakukan tindakan yang tercela, termasuk melakukan kekerasan dan pamer kemewahan.

Harus diingat bahwa pengawas Polri tidak hanya pengawas internal, melainkan ada juga pengawas fungsional yaitu Kompolnas dan pengawas eksternal lainnya, termasuk peran serta publik dalam mengawasi Polri.

Penganiayaan itu terjadi pada 22 Desember 2022, di depan rumah Achiruddin. Korban dianiaya hingga kepalanya berdarah. Usai kejadian itu korban melaporkan perbuatan Aditya kepada Polrestabes Medan.

Merujuk keterangan polisi, penganiayaan bermula ketika Ken mengirim pesan kepada Aditya yang menanyakan hubungan pelaku dengan perempuan berinisial D. Kemudian, pada 21 Desember, sekitar pukul 22.00, pelaku dan korban bertemu di SPBU di Jalan Ringroad, Kota Medan.

Dalam pertemuan itu, Aditya tiga kali memukul pelipis Ken, lalu menendang kaca spion mobil korban, kemudian kabur. Sehari berikutnya, sekira pukul 2.30, korban mendatangi rumah pelaku bersama sejumlah temannya untuk menyelesaikan permasalahan. Lantas mereka baku hantam.

Alasan Achiruddin membiarkan anaknya menganiaya korban agar perkara cepat rampung. “Dia (Aditya) dibiarkan untuk berkelahi untuk tuntas malam itu. Apakah ada senjata atau tidak, masih didalami," kata Kabid Propam Polda Sumatra Utara Kombes Pol Dudung Adijono.

Telat Penanganan?

Penganiayaan itu terjadi 4 bulan silam. Akan tetapi, Aditya baru ditetapkan menjadi tersangka berdasarkan hasil gelar perkara khusus pada 25 April 2023.

“Bahwa saudara AH (Aditya Hasibuan ditetapkan) sebagai tersangka dan kami lakukan upaya paksa yaitu penangkapan dan penahanan," ucap Dirkrimum Polda Sumut Kombes Pol Sumaryono saat gelar konferensi pers di Polda Sumatra Utara, Selasa, 25 April 2023.

Per 27 Februari 2023, laporan Ken Admiral masuk tahap penyidikan oleh Polrestabes Medan. Pada 28 Maret, kasus tersebut ditangani oleh kepolisian daerah. Sumaryono berkata, alasan Aditya baru ditetapkannya sebagai tersangka karena Ken baru berada di Medan beberapa hari belakangan.

"Karena pelapor (Ken) melaksanakan tugas belajar di luar negeri. Sehingga baru beberapa hari lalu pelapor datang ke Medan dan melakukan penyelidikan terhadap pelapor," jelas dia.

Advokat Boris Tampubolon menyorot perihal perkara ini. “Tidak cukup AKBP Hasibuan hanya dicopot dari jabatannya. Polisi harus pula mengusut keterlibatan pidananya. Pasalnya tindakan-tindakan yang ia lakukan bisa dikategorikan kesengajaan untuk turut serta terlibat membantu menganiaya korban meski tidak langsung," ucap Boris dalam keterangan tertulis, Rabu, 26 April 2023.

Dalam teori hukum pidana, orang yang turut serta tidak hanya orang yang melakukan (menganiaya), namun bisa juga orang yang menyuruh melakukan, atau orang yang membantu agar tindak pidana bisa dilakukan atau terlaksana. Hal ini diatur dalam Pasal 56 KUHP.

Bahkan Achiruddin diduga menodongkan senjata kepada Ken. "Bila semua hal ini terbukti, maka polisi harusnya juga menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka turut serta melakukan penganiayaan terhadap korban,” kata Boris.

Congkak Menjalar

Peneliti bidang kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto berpendapat, jika diperhatikan secara makro, kasus-kasus yang melibatkan personel Polri karena kewenangan yang berlebih yang diberikan negara pada kepolisian.

"Kewenangan yang super besar tersebut mengakibatkan arogansi institusi yang tercermin dari perilaku arogan personel-personel. Arogansi personel itu juga berdampak pada perilaku arogan orang-orang di sekitarnya, termasuk anggota keluarga inti," kata Bambang kepada Tirto, Kamis (27/4/2023).

Secara mikro, perilaku arogansi terjadi karena rendahnya pengendalian diri pribadi masing-masing. Tetapi perspektif kedua ini, lanjut Bambang, tentu tak relevan bila ditilik sebagai langkah awal dalam pembenahan organisasi yang besar. Meski upaya pembinaan personel harus terus dilakukan dan berkesinambungan secara integral.

Hampir dalam semua kasus, perilaku arogansi yang dilakukan personel terjadi karena pemahaman esprit de corps yang keliru dan kesalahan tersebut ditularkan personel pada perilaku anggota, termasuk keluarga.

“Cara menyikapi perilaku anggota antara TNI dan Polri sangat jauh berbeda. Panglima TNI segera meminta maaf dan menindak anggotanya yang menendang ibu pengendara motor, tetapi tak pernah sedikit pun publik mendengar dari petinggi institusi Polri meminta maaf terkait kesalahan anggotanya," tutur Bambang.

Bahkan proses hukum juga sangat lambat bila menyangkut anggota dan terkesan ditutupi, sehingga korban menyebarkan perbuatan yang dialaminya melalui media sosial. Artinya, kewenangan yang super besar memunculkan kepercayaan diri yang berlebih, yang berujung pada arogansi dan menutup sense of crisis dan sense of awareness pada orang lain.

“Ofensif pada pihak luar, namun defensif bila menyangkut pelanggaran yang dilakukan internal. Maka kecenderungannya, mereka saling tutup-menutupi kesalahan," ujar Bambang.

Ihwal kasus penganiayaan yang dilakukan anggota keluarga personel, antara menteri keuangan dan Kapolri pun sangat berbeda. Menteri Keuangan, Sri Mulyani segera meminta maaf pada publik terkait perilaku anggotanya; tidak demikian dengan petinggi Polri.

Mengapa itu terjadi? Bambang menilai publik bisa "menghukum" Kementerian Keuangan dengan ajakan boikot pajak, tapi saat ini publik belum menemukan cara selain memviralkan perilaku personel kepolisian.

Tak menutup kemungkinan, masa mendatang publik akan menemukan cara yang lebih efektif daripada sekadar viral.

Baca juga artikel terkait KASUS PENGANIAYAAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz