tirto.id - Pada debat ketiga pasangan di Hotel Bidakara Jakarta, Jumat (10/2/2017) malam, calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) menyatakan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) sebagai sarana penanggulangan narkoba. Menurut pengamat solusi RPTRA ini tidak tepat untuk berantas narkoba karena program hanya menyasar anak-anak dan bukan remaja.
“Ga masuk,” ujar Nirwono Yoga yang menjadi pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Jumat (10/2) malam.
Dalam debat tadi malam, Ahok memaparkan bahwa untuk penanggulangan narkoba, intinya adalah di keluarga dan komunitas. Oleh sebab itu, ia membangun 188 RPTRA sampai dengan akhir 2016. Dari RPTRA itu, Ahok berharap masyarakat bisa saling peduli, saling memperhatikan satu dengan lainnya.
“Berbicara tentang perempuan, anak, penyandang disabilitas dan penanggulangan narkoba kita tentu berbicara tentang keluarga, kita berbicara tentang komunitas. Karena itulah kami telah berhasil membangun 188 sampai tahun lalu ruang publik terpadu ramah anak. Kenapa bangun ruang terpadu ramah anak? Ini ada filosofinya. Tiap-tiap rumah tangga orang itu memiliki kitab yang sulit dibaca, ada kesulitan masing-masing. Oleh karena itu orang butuh saling peduli, saling memperhatikan satu dengan lainnya. Ini adalah kunci, karena kami yakin, ketika memiliki data, mengenal satu sama lain maka banyak persoalan bisa kita selesaikan. Ini asas gotong royong,” terang Ahok.
Menanggapi hal ini, Yoga menganggap target RPTRA dalam penanggulangan narkoba tidak cocok. RPTRA ditargetkan kepada anak kecil, khususnya anak SD. Hal ini dinilai Yoga setelah melihat fasilitas perosotan, taman bermain, dan perpustakaan yang dipenuhi bacaan anak kecil dan permainan lego. Sedangkan, pelaku pengguna narkoba lebih sering terjadi pada usia remaja dan dewasa. Terlebih lagi, RPTRA bukan menambah ruang terbuka hijau, karena sebagian RPTRA dijadikan bangunan berlantai dan tertutup semen.
“Kalau untuk RPTRA ga cocok (rehabilitasi atau pencegahan narkoba). Kalau ditanyakan lebih cocok berada di taman orangnya. Kenapa? Kalau kita perhatikan salah satu terapi untuk orang-orang narkoba ‘kan di ruang terbuka hijau. Mulai dari senam, olahraga fisik untuk melatih fisik, kemudian juga bisa melakukan aktivitas yoga, parkour segala macam ‘kan lebih tepat dilakukan di alam bukan di RPTRA,” ujarnya.
“Berbaur dengan alam, udara lebih segar, iya ‘kan? Jadi perbedaan mendasarnya di situ. Jadi kalau kita bicara kaitannya tadi dengan narkoba dan anak muda lebih tepat kalau itu mengoptimalkan 2000an taman yang ada di Jakarta. Karena kita bicara taman itu kan 24 jam bisa dioptimalkannya,” lanjutnya.
Dalam debat kemarin, Ahok memaparkan alasan lain terkait dengan urusan ibu dan anak dalam usaha pencegahannya terhadap narkoba. RPTRA bagi Ahok bisa digunakan untuk kegiatan semua kalangan. Ahok menganggap bahwa remaja sampai lansia bisa mempergunakan RPTRA,
“Dan kami juga sudah melihat bahwa perempuan-perempuan harus ada ruang yang nyaman, karena itulah di RPTRA mereka bisa saling berbagi, menceritakan bagaimana mendidik anak yang baik, bagaimana supaya anak-anak yang muda, karena banyak kegiatan olahraga di RPTRA yang kami bangun dengan kerja sama universitas-universitas sehingga seluruh keluarga dari yang janin, janin dalam ibunya, dalam yang remaja, pemuda, sampai lansia menikmati sebuah tempat bersama. Sehingga kebahagiaan keluarga, silaturahim ini terjaga di ibukota. Kualitas hidup akan meningkat secara otomatis,” ungkap Ahok.
Sedangkan menurut Yoga, apa yang dikatakan Ahok belum terlaksana dengan baik. Bukan hanya remaja atau orang dewasa. Fasilitas yang ada belum berhasil mengoptimalkan ruang untuk kalangan remaja dan dewasa.
“Praktiknya di lapangan ditujukan untuk anak-anak dan ibu-ibu, bukan untuk anak SMA ke atas. Tetapi sebenarnya kalau digunakan itu masih bisa, tapi dalam praktiknya di lapangan RPTRA yang ada sekarang itu memang dikhususkan untuk anak-anak SD ke bawah dan ibu-ibu tadi,” tegasnya. “Sangat jarang (keluarga berkumpul di RPTRA). Karena RPTRA itu berada di daerah pemukiman yang padat penduduk. Artinya sasarannya adalah keluarga menengah ke bawah, dan sedikit yang ke sana,” jelasnya.
Sementara itu, Djarot juga mengungkapkan serupa dengan Ahok. Menurutnya, dalam menangani narkoba, beberapa faktor yang diutamakan adalah individu dan lingkungan, kemudian akses untuk mendapat narkoba.
“Terimakasih. Untuk menangani narkoba ada 3 faktor utama yang harus kita perhatikan. Yang pertama adalah individunya, yang kedua adalah lingkungannya, yang ketiga adalah kemudahan mendapat narkoba. Oleh karena itu strategi yang kita bangun adalah membangun komunitas warganya agar mereka bisa berinteraksi, salah satunya di RPTRA untuk memberikan penguatan bahwa untuk memerangi narkoba salah satunya dimulai dari individu dan lingkungan. Sekaligus kita juga harus tekan bagaimana caranya penegakan hukum itu harus konsisten dan berkelanjutan kepada para pengedar-pengedar narkoba,” ungkapnya.
Menurut Yoga, pernyataan Djarot tentang RPTRA menjadi rancu. Bila berbicara tentang individu, lingkungan, dan persebaran, tentunya RPTRA tidak mampu membungkus ketiga hal tersebut.
Ia menambahkan, meskipun ada anak kecil yang menjadi target narkoba, persebaran lebih banyak terjadi di tingkat remaja dan dewasa. Pada survei yang dilakukan BNN tentang penyalahgunaan narkoba pada kelompok rumah tangga di 20 provinsi pada tahun 2015, disebutkan bahwa rata-rata pengguna narkoba adalah mereka yang berusia antara 20 sampai 29 tahun.
RPTA Perlu Pengawasan
Sedangkan untuk lingkungan dan persebaran, pengamat tata ruang kota, Yayat Supriatna mengatakan bahwa RPTRA boleh jadi malah beralih fungsi sebagai tempat transaksi jual beli narkoba. Lebih lagi, anak kecil yang bermain di RPTRA bisa menjadi sasaran konsumsi narkoba. Menurut Yayat, sebabnya bisa karena pengawasan di RPTRA yang belum maksimal dan memadai.
“Belum tentu (bagus), jangan-jangan kalau RPTRA ga diawasi jadi tempat transaksi dia. Harus diawasi, RPTRAnya terbuka tidak,malam hari ada lampu tidak, diawasi tidak? Justru bahaya narkoba, kalau di RPTRA ga ada ruang kegiatan ya tidak ada yang kelola. Jangan-jangan gunakan narkoba di RPTRA”, tukasnya khawatir.
“Belum ada yang mengelola RPTRA. Sekarang ‘kan baru dipakai saja oleh masyarakat. Untuk main skateboard, main sepeda, tapi siapa yg mengisi ruang siapa komunitasnya ‘kan belum ada. Jadi misalnya pelatihan pendidikan, pengisian ruang , (maka) siapa komunitasnya, siapa warganya ? Ini ‘kan baru menyediakan tempatnya, pengelolaan itu penting. Jadi pengelolaan oleh warga supaya RPTRA tidak jadi mubazir atau rusak seperti di masa lalu,” lanjut Yayat.
Di sisi lain, psikolog sekaligus dosen di Universitas Mercu Buana itu optimistis bahwa RPTRA bisa menjadi sarana pencegahan konsumsi narkoba. Hal ini dikarenakan depresi seseorang dapat menjadi pemicu bagi individu untuk memakai narkoba. Oleh karena itu, Tika berpendapat dengan seseorang berjalan-jalan dan pergi ke RPTRA, bisa mengurangi kemungkinan pemakaian zat adiktif tersebut.
“Sangat efektif. Jadi ibu-ibu ini misalnya yang sumpek gitu di rumah, lihat anaknya ketawa-ketawa ‘kan menghibur juga, karena anaknya ‘kan jadi ga nangis, ngeliat anaknya ketawa-ketawa ‘kan jadi lebih santai, lebih rileks gitu,” tuturnya.”Buat lansia, buat remaja, buat semua kalangan sih sebenarnya. Cuma memang penggunanya harus giliran. ‘Kan gentian,” pungkasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Agung DH