Menuju konten utama
Isu Impor 5.000 Senjata Ilegal

Pengamat Militer: Panglima TNI Bisa Langgar UU Intelijen

Pengamat militer Mufti Makarim mengatakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo seharusnya bisa menjelaskan alasannya mengungkapkan informasi intelijen di forum purnawirawan.

Pengamat Militer: Panglima TNI Bisa Langgar UU Intelijen
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/6). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo berdalih bahwa informasi yang disampaikan tentang pembelian senjata 5000 unit secara ilegal atas nama Presiden adalah informasi untuk internal TNI. Padahal, informasi tersebut disampaikan di depan purnawirawan TNI serta beberapa prajurit aktif. Jenderal Gatot bisa dianggap melanggar UU Intelijen karena informasi intelijen seharusnya disampaikan pada Presiden, bukan purnawirawan.

"Dalam pengertian struktur operasi, dia (purnawirawan) bukan. Itu hanya hubungan sosial aja, hubungan kultural misalkan kita menghormati mereka, tetapi memasukkan mereka dalam forum internal dan menyampaikan bagian dari pihak yang bisa menerima informasi terbatas menurut saya itu harus berhati-hati," ujar pengamat militer Mufti Makarim saat dihubungi Tirto, Senin (25/9/2017).

Mufti menerangkan, pengertian internal TNI diatur dalam UU TNI. UU TNI merupakan pedoman bagi prajurit yang aktif. Purnawirawan tidak termasuk dalam UU tersebut sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai internal TNI.

Peneliti dari Institute for Defense, Security, and Peace Studies ini mencontohkan, prajurit TNI aktif dilarang berpolitik dalam UU TNI. Saat prajurit itu ingin berpolitik, baik menjadi kepala daerah atau aktif dalam partai, ia harus mengundurkan diri dan menjadi purnawirawan.

Oleh karena itu, pernyataan Panglima TNI bahwa pernyataan senjata 5.000 yang diklaim diungkapkan di forum internal TNI tidak masuk akal. "Jadi kalau ada anggapan bahwa itu bagian dari internal, menurut saya ya patut dipertanyakan landasan undang-undangnya dimana," tanya Mufti.

Mufti menambahkan, Gatot seharusnya bisa menjelaskan alasannya mengungkapkan informasi intelijen di forum purnawirawan. "Apakah informasi yang disampaikan adalah informasi intelijen mentah atau informasi yang sudah diolah," tambahnya.

Apabila informasi yang disampaikan hasil intelijen, Gatot seharusnya mengungkapkan kepada Presiden selaku panglima tertinggi, bukan kepada purnawirawan. Panglima pun bisa saja melanggar undang-undang intelijen. Ia mengingatkan, undang-undang intelijen mengatur tentang jenis informasi intelijen. Dalam undang-undang intelijen diatur tentang kerahasiaan suatu informasi serta lama suatu informasi layaknya disimpan.

Sebagai contoh saat Presiden Jokowi akan melintas suatu daerah. Apabila Presiden belum melewati rute tertentu, rute perjalanan presiden masih dianggap sebagai rahasia yang tidak boleh diungkap. "Jadi kalau mereka menyampaikan berdasarkan sesuatu yang di luar kewenangannya atau di luar pihak yang menyampaikan informasi itu bisa jadi ada pelanggaran, tapi untuk menyatakan ada pelanggaran perlu ada verifikasi" kata Mufti.

Menurut Mufti, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Gatot selaku Panglima TNI harus menjaga ujarannya kepada publik. Ia mengingatkan, Panglima TNI tidak berpolitik dan menyampaikan wacana yang menimbulkan kekisruhan politik. Ia meminta kejadian ini tidak terulang lagi lantaran sudah beberapa kali terjadi. Sebut saja kisah Panglima TNI "adu argumentasi" dengan Menhan Ryamizard Ryacudu tentang pemutaran film G30S.

Kedua, Mufti meminta DPR untuk memantau TNI lebih intens. Ia meminta Komisi I sebagai mitra TNI bisa memantau perilaku Panglima TNI ke depan agar tidak terjadi gejolak politik lagi di masa depan. Ia tidak memungkiri DPR bisa saja menggunakan wewenang untuk merekomendasikan penggantian Panglima TNI apabila tidak menunjukkan kinerja.

Baca juga artikel terkait TNI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri