tirto.id - Plt. Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Didid Noordiatmoko menuturkan, masih ada pekerjaan rumah (PR) besar untuk Indonesia di 2023. Yaitu membuat harga acuan komoditas dunia.
Pasalnya, Indonesia saat ini masih berkiblat ke negara lain untuk menetapkan harga acuan. Padahal tanah air merupakan salah satu negara penghasilan terbesar di dunia.
"Indonesia sebagai salah satu negara dengan penghasil terbesar di dunia tapi belum bisa membuat harga acuan komoditi," kata dia dalam acara Outlook Bappebti 2023 di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Dia menjelaskan, selama ini tanah air mengacu harga referensi produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) internasional di pasar fisik Rotterdam Belanda. Selain itu penetapan harga patokan ekspor (HPE) CPO Indonesia masih ditetapkan dalam kurs dolar AS.
"CPO kita melihat di Malaysia kita melihat di Rotterdam. Indonesia sendiri tidak," katanya.
Di sisi lain, Indonesia juga menjadi salah satu penghasil karet terbesar di dunia. Tetapi pemerintah belum mempunyai harga acuan komoditas tersebut sebagai referensi global.
"Ini juga menjadi catatan catatan kita bersama. Salah satu tugas Bappebti memastikan bahwa harga acuan komoditas bisa kita wujudkan," bebernya.
Berkaca pada tahun 1.400-an, lanjut Didid orang-orang Eropa datang ke Nusantara untuk mencari komoditi. Namun, sampai saat ini Indonesia belum bisa memberikan harga acuan komoditas dunia.
"Ini tentu menjadi tantangan bagi kita. Artinya tidak hanya dari sisi ekonomi tapi histori bisa. Dan itu diamanatkan sesuai Undang-Undang 32/97 dan itu belum terwujud menjadi latar belakang ketika kami memasuki 2023," pungkas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin