Menuju konten utama

Pendanaan PLTU Batu Bara Seret, Pengusaha Lirik Pembangkit EBT

Para pengusaha mulai melirik potensi bisnis pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini karena biaya teknologi pembangkit berbasis EBT semakin murah. 

Pendanaan PLTU Batu Bara Seret, Pengusaha Lirik Pembangkit EBT
(Ilustrasi) Petugas melakukan uji coba mesin Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Kamis (14/2/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/foc.

tirto.id - Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan saat ini semakin banyak pelaku usaha yang tertarik terjun dalam bisnis pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pasalnya, proyek pembangkit listrik berbasis energi fosil semakin sulit untuk memperoleh pendanaan dari bank-bank di Eropa dan Amerika.

Menurut Arthur, peluang pendanaan bagi proyek pembangkit berbasis fosil saat ini terbatas dan paling banyak hanya tersedia di Asia-Pasifik. Kalaupun ada, dia menilai tenor pengembalian pinjaman tidak mendukung bisnis sehingga sulit untuk menjalankan proyek tersebut.

“Kami mencari pendanaan PLTU batu bara semakin sulit. Bank-bank di barat sudah mulai terbatas [yang mau memberi pinjaman],” kata Arthur dalam acara “Study Launching: A Roadmap For Indonesia’s Power Sector” di Hotel Ashley, Jakarta pada Kamis (21/2/2019).

Arthur mengatakan saat ini asosiasinya sedang mengkaji peluang bisnis di sektor energi baru dan terbarukan. Pasalnya biaya teknologi pembangkit berbasis EBT berangsur menurun.

Dia mengakui teknologi untuk pengembangan pembangkit EBT berbeda dari PLTU batu bara yang sudah cukup dikenal. Akan tetapi, kata dia, biaya operasional pembangkit EBT jauh lebih murah daripada yang konvensional.

Belum lagi sekitar 60 persen dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) diberikan kepada swasta. Sementara di saat yang sama, untuk mencapai target EBT sebanyak 23 persen pada 2025, pemerintah perlu menambah suplai listrik setidaknya 2 giga watt per tahun.

“Kami tertarik untuk melihat sisi opportunity-nya. Walaupun pendanaannya belum tentu lebih mudah, tapi cost of technology-nya terus turun,” ucap Arthur.

“Sisi operational cost-nya itu advantage. Hampir 0 soalnya,” Arthur menambahkan.

Dari sudut pandang asosiasi, Arthur mengatakan bahwa upaya pemerintahan Jokowi yang membuka partisipasi swasta untuk masuk ke bisnis pembangkit listrik merupakan hal yang positif. Hanya saja, kata dia, upaya itu masih perlu dilengkapi dengan insentif kepada pelaku usaha.

Baca juga artikel terkait ENERGI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom