Menuju konten utama

Pen Pinapple Apple Pen Ganggu Kekhusyukan Pilkada Jakarta

Bagaimana menciptakan konten viral dan berpengaruh dan menjangkau semua orang hingga ke setiap pelosok bumi ini? Misteri. Semua pemasar internet tahu formulanya, bisa dengan mudah meniru Ice Bucket Challenge atau Pen Pinapple Apple Pen. Tapi tak satu pun yang yakin bisa mengulangi keberhasilan yang sama.

Pen Pinapple Apple Pen Ganggu Kekhusyukan Pilkada Jakarta
Pikotaro dalam video youtube Pen-Pineaplle-Apple-pen [Foto/youtube.com]

tirto.id - Internet seringkali menghadirkan jenius-jenius yang brengsek. Lagu dan tari PPAP, Pen Pineapple Apple Pen, salah satunya. Ia hal terhebat sekaligus tak masuk akal yang saat ini melanda internet.

PPAP begitu mudah diingat, enak di telinga, lucu, menakjubkan, memanjakan mata, gampang diikuti, dan, karenanya, bisa bikin ketagihan. Padahal video itu hanya menampilkan sesosok bapak-bapak berkaca mata dan berkumis tipis kayak Jusuf Kalla yang mengenakan celana dan kemeja dan selendang motif macan sedang bernyanyi, sambil, seperti gerakan guru-guru di PAUD, memeragakan pena dan apel kemudian nanas dan pena, yang akhirnya disatukan dengan bunyi "Ahhh!" membentuk Pena-Nanas-Apel-Pena. Kok bisa-bisanya semua orang tersihir, sama sekali tidak masuk akal, bukan? Tapi barangkali justru di situlah letak magisnya.

Sosok bapak-bapak itu bernama Piko-Taro dan Piko-Taro, tentu saja, bukan tokoh nyata. Ia adalah karakter ciptaan DJ dan komedian asal Jepang, Kosaka Daimaou yang nama aslinya: Kazuhiko Kosaka. Kosaka pertama kali memperkenalkan karakter Piko-Taro dalam pertunjukan komedi berdirinya dan karena disukai audiens Jepang, ia mengembangkan karakter itu lebih jauh dalam banyak penampilannya. Pada akhir Agustus 2016, ia mengunggah video musik pertama Piko-Taro di Youtube: PPAP.

Hingga artikel ini ditulis, video PPAP di akun Piko-Taro telah ditonton 35.226.861 orang. Angka yang tidak terlalu besar karena video ini telah diunggah ulang oleh banyak akun di Youtube bahkan ada yang jumlah tayangnya sudah mengalahkan pengunggah aslinya, antara lain Chee Yee Teoh yang berhasil meraup 71.559.907 pemirsa. Belum lagi video ini juga disebarluaskan di platform lain seperti Facebook, tanpa menyebut Piko-Taro, dan mengundang ratusan juta penonton.

Dan yang paling spektakuler, banyak orang berlomba-lomba bikin video menirukan gerak-tari si bapak-bapak lalu memostingnya di akun media sosial masing-masing. Seperti virus, PPAP menjangkiti pikiran dan memengaruhi tindakan mereka. Kurang lebih seperti yang pernah ditorehkan oleh Pokemon Go, atau yang lebih lawas: Ice Bucket Challenge (Tantangan Ember Es).

Seolah tak jelas dari mana rimbanya, satu tren besar menyapu bersih kehidupan kita. Ia mendominasi media sosial, menguasai percakapan, mendatangkan pro-kontra—beberapa orang yang terlahir sebagai kritikus akan memperingatkan konsekuensi amat buruk dari apa yang sedang melanda, hingga akhirnya, orang-orang mulai bosan dan beralih ke sesuatu yang baru atau kembali menenggelamkan diri ke dalam rutinitas kerja yang monoton.

Itulah yang terjadi ketika demam Pokémon Go menyerang, permainan berbasis realitas-berbayang yang membuat puluhan juta orang berkeliaran di jalan-jalan dan tempat umum berburu Squirtle dan Pikachu.

Itu pula yang terjadi ketika Ice Bucket Challenge sedang populer-populernya, pada pertengahan 2014, di mana jutaan orang memfilmkan diri sendiri mengguyurkan seember air dingin di atas kepala mereka untuk melawan penyakit Lou Gehrig. Pengguna Facebook mengunggah lebih dari tujuh belas juta video siraman itu, dan sejumlah selebriti ikut meramaikan, Justin Timberlake, Leonardo DiCaprio, Kim Kardashian, beberapa di antaranya, dan di Indonesia ada Julia Perez, Daniel Mananta, Ayu Ting-Ting, Luna Maya, mereka rela basah-basahan untuk sebuah kampanye kesehatan. Penyakit Lou Gehrig atau klerosis lateral amiotrofik (ALS) yang sebelumnya tidak dikenal dan kekurangan dana penelitian tiba-tiba mendapat perhatian besar dan mengisi imajinasi publik.

Tapi tak selamanya pesta bisa bebas dari perusak acara. Ada saja orang yang susah lihat orang senang—dan senang lihat orang susah.

Banyak pejabat pemerintahan Indonesia tak suka Pokemon Go, mereka uring-uringan lantaran khawatir permainan itu jadi alat mata-mata pihak asingi. Konyol, karena selain tidak punya bukti pendukung klaim tersebut, mereka sendiri tanpa sadar semakin memopulerkan Pokemon Go dan sebenernya tak ada yang perlu dikhawatirkan dari tren sesaat yang dengan sendirinya akan hilang. Pokemon Go, bagaimanapun, bukanlah kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan.

Di kasus Tantangan Ember Es, banyak orang mencibirnya sebagai "slacktivism" alias aktivisme kendur atau, dengan kata lain, tindakan yang pelakunya merasa telah berbuat besar padahal tidak berdampak apa-apa. Bahkan ada menyebut para penyiram es itu memubazir-mubazirkan air bersih yang di banyak tempat telah menjadi langka.

Para pengkritik ini pada dasarnya punya kekhawatiran yang mulia dan masuk akal: euforianya bisa mengalahkan nilai dan sifat amalnya. Tapi benarkah? Tidak juga. Tantangan Ember Es terbukti berdampak luas. Ia meningkatkan sumbangan hingga 220 juta dolar untuk organisasi ALS di seluruh dunia; hanya dalam delapan minggu, Asosiasi ALS Amerika mendulang sumbangan tiga belas kali lebih banyak daripada setahun penuh sebelumnya. Kesadaran masyarakat pun meningkat: Ice Bucket Challenge menjadi pencarian paling populer nomor lima Google pada 2014.

"Tantangan itu tiba-tiba membuat banyak orang yang mungkin bahkan tidak pernah mendengar siapa itu Lou Gehrig jadi tahu. Ini benar-benar mengubah wajah ALS," kata Brian Frederick, Wakil Presiden Asosiasi ALS.

Lebih konkret lagi, uang yang terkumpul telah berdampak terhadap meningkatnya penelitian dan perawatan para pasien. Asosiasi ALS kini punya dana tahunan untuk penelitian lebih besar tiga kali lipat. "Lingkungan penelitian berubah secara dramatis," kata Barbara Newhouse, CEO Asosiasi ALS. "Penelitian kami benar-benar maju, tidak lagi hanya berkutat pada penyebab penyakit melainkan juga pada terapi dan perawatan."

Benar bahwa sebagian besar orang yang menyumbang pada saat Ice Bucket Challenge saat ini tidak melakukannya lagi. Tapi kontribusi untuk Asosiasi ALS tetap sekitar 25 persen lebih tinggi daripada sebelum 2014, dan usia donor rata-rata turun dari atas 50 menjadi 35. Kampanye itu sukses besar untuk generasi milenial, demografi yang biasanya sulit dijangkau untuk kegiatan amal.

Itulah capaian nyata Tantangan Ember Es: ia mengubah selfie, tagar, dan tombol laik, yang biasanya digunakan untuk penghiburan pribadi atau menambah keuntungan korporasi menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk publik. Para kritikus boleh saja berkata daripada menghambur-hamburkan air dingin di atas kepala lebih baik menmbersihkan Kali Ciliwung, tapi generasi milenial sepertinya lebih suka menonton video kucing atau anjing atau, hari-hari ini, menyanyi dan menari Pen Apple Pineapple Pen.

Masalah utamanya bukanlah fakta bahwa Tantangan Es Ember cuma tren amal sesaat, melainkan tidak ada yang tahu pasti bagaimana cara menduplikasinya dan menciptakan tren amal serupa.

Bagaimana menciptakan konten viral yang menjangkau semua orang di seluruh pelosok bumi dan menggerakkan banyak orang, itu misteri yang sulit dipecahkan. Semua pemasar internet tahu formulanya, bisa dengan mudah meniru Ice Bucket Challenge atau Pen Pinapple Apple Pen, tapi tak satu pun yakin bisa mengulangi keberhasilan yang sama.

Omong-omong, tumben belum ada yang mengkritik Pen Pinapple Apple Pen? Oh, iya, orang Amerika sana sedang sibuk memaki-maki Donald Trump yang video percakapan melecehkan perempuannya baru beredar. Dan orang Indonesia sedang khusyuk-khusyuknya berdebat tentang Ahok dan Al-Maidah ayat 51.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti