tirto.id - Semenjak Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global. Sejak itu pula, pandemi COVID-19 bukan hanya mengakibatkan krisis kesehatan masyarakat, melainkan juga berdampak terhadap kondisi sosial-ekonomi. Ada banyak dimensi yang terdampak, dari pekerjaan, pendapatan, jangkauan perlindungan sosial, juga akses terhadap pelayanan kesehatan.
Di tengah keberlangsungan krisis hingga proses pemulihannya, perempuan menjadi salah satu kelompok yang terdampak paling keras, sekaligus mengalami ketimpangan dan ketidaksetaraan. Dilansir dari laporan “Kesenjangan Gender Global 2021” dari World Economic Forum (WEF), perempuan lebih banyak bekerja di industri yang terdampak oleh lockdown dan pembatasan sosial, sehingga mereka lebih banyak mengalami pemutusan hubungan kerja.
Partisipasi angkatan kerja perempuan turut menurun lebih jauh dibanding laki-laki sejak dimulainya pandemi. Selain itu, perekrutan kembali perempuan dalam dunia kerja juga lebih lambat dibanding laki-laki pada masa pemulihan pandemi.
Temuan survei Badan PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN Women) bersama perusahaan penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi Indosat Ooredoo memperlihatkan bahwa 36 persen perempuan pekerja informal harus mengurangi waktu kerja berbayar mereka. Di samping itu, 82 persen perempuan mengalami pengurangan pendapatan dari jenis usaha keluarga. Walaupun laki-laki mengalami penurunan serupa, data menunjukkan laki-laki memiliki sumber pendapatan yang lebih luas.
Belum lagi meningkatnya pekerjaan rumah tangga di masa pembatasan sosial, perawatan anggota keluarga yang sakit, serta pekerjaan mengajar dan membimbing anak di masa pembelajaran jarak jauh yang sering kali dibebankan kepada perempuan. Hal ini memberikan tantangan bagi perempuan dalam mengambil kesempatan ekonomi dan pekerjaan baru.
Data dari WEF menunjukkan bahwa capaian kesetaraan gender secara global pada 2021 mengalami kemunduran dari tahun sebelumnya. Bahkan, WEF memperkirakan masih dibutuhkan 267 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender dalam partisipasi dan peluang ekonomi.
Dampak Terhadap Perempuan di Sektor UMKM
Pandemi juga berdampak tidak berimbang bagi perempuan di sektor informal dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam diskusi “Perempuan Penggerak Ekonomi di Masa Pandemi” pada Jumat (23/4/2021), sekitar 93 persen pekerja dan pelaku usaha perempuan di sektor UMKM mengalami dampak ini.
Terlepas dari dampak negatif pandemi, krisis ini juga memberikan peluang baru dalam pemanfaatan teknologi digital, khususnya bagi perempuan pengusaha di sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Berdasarkan studi UN Women, Pulse Lab Jakarta dan mitra, platform digital telah membantu UMK formal (68 persen) dan informal (57 persen) milik perempuan bertahan di tengah pandemi. UMK tersebut tergolong berusia lebih tua, artinya telah berdiri lebih dari 3 tahun.
Sekitar 82 persen perempuan juga merasa penggunaan solusi digital dalam menjalankan usahanya membantu menyeimbangkan urusan pekerjaan dan tanggung jawab domestik dan keluarga dengan lebih baik
Upaya Pemulihan Ekonomi dengan Melibatkan Perempuan
Dalam studinya, UN Women dan Pulse Lab Jakarta mencatat beberapa pertimbangan untuk program pemulihan ekonomi nasional termasuk peningkatan akses pengusaha perempuan ke penggunaan teknologi inovatif. Hal tersebut perlu dibarengi pula dengan penanganan hambatan untuk mengakses keuangan dan kredit, membangun literasi digital, infrastruktur, dan pengaturan kelembagaan yang memungkinkan kesetaraan gender di pasar tenaga kerja, serta kemitraan lintas sektor untuk memajukan pemberdayaan ekonomi perempuan
Jamshed M. Kazi, UN Women Indonesia Representative and Liaison to ASEAN, melalui sambutan dalam rangkaian acara Women20 (W20) Presidensi Indonesia di Likupang, Sulawesi Utara Kamis (17/2/2022), menuturkan, digitalisasi membuka banyak potensi untuk memajukan pemberdayaan perempuan.
“Tidak ada pemulihan ekonomi yang lengkap atau berkelanjutan, apabila perempuan dan anak perempuan masih tertinggal atau tidak diberikan prioritas, khususnya oleh 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang menyumbang 80 persen terhadap [Produk Domestik Bruto] PDB global” ucap Kazi.
Editor: Nuran Wibisono