tirto.id - Leo Lopulisa selaku Pemuka Agama Umat Buddha kota Tanjungbalai, Sumatera Utara menyatakan, mereka tidak perlu membenci dan menyalahkan siapa pun atas konflik antarwarga yang berujung pembakaran dan perusakan beberapa vihara serta kelenteng setempat.
Kejadian yang menimpa tempat ibadah umat Buddha dan Konghuchu pada 30 Juli dini hari merupakan aksi spontanitas dan tidak terencana, kata dia, di Tanjungbalai, Minggu (31/07/2016).
"Kami tidak membenci atau menyalahkan siapa pun dalam peristiwa ini. Biarlah polisi yang mengusut kasus itu," ujarnya.
Menurut dia, "Ini hanya luka luar yang akan membuat kita makin dewasa, semakin kuat dalam menghadapi hidup beragama dan toleran dalam bermasyarakat."
Banyak pihak yang menunjukkan rasa peduli, prihatin dan solidaritas atas kejadian itu, menunjukkan bahwa semua menginginkan kehidupan yang rukun dan saling menghargai satu sama lain, katanya.
"Pekerjaan masih banyak, lama dan panjang, menanti kita untuk menyelesaikan masalah ini secara arif dan bijaksana", ujar Lopulisa.
Ketua Sang Agung Indonesia Sumatera Utara, Kurnia Bangun, berharap semua pihak menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran berharga untuk saling menghormati.
Umat Buddha, Konghuchu dan pemeluk agama lain diharap menahan diri serta tidak terprovokasi pernyataan yang mungkin ingin memecah belah kerukunan umat beragama yang terjalin baik selama ini.
Pascakerusuhan, banyak komentar di media sosial yang selain berisi keprihatinan, namun tidak sedikit pula bernada memojokkan, menghujat salah satu pihak, seperti ingin mempekeruh keadaan.
Demikian juga pernyataan tokoh tertentu di media massa, ada yang terkesan memelintir keadaan sehingga dikhawatirkan dapat memicu kebencian antarwarga.
"Kita secara keseluruhan harus bijaksana dan tidak mudah terprovokasi. Mari berpikir jernih demi terciptanya suasana yang kondusif", imbau bikhu di Vihara Tri Ratna Kota Tanjungbalai itu.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo