Menuju konten utama

Pemerintah Tak Wajib Cairkan Dana Pembangunan Kompleks DPR

Yenny berkata, tidak ada keharusan bagi Kemenkeu untuk mencairkan dana pembangunan alun-alun demokrasi dan gedung DPR yang diajukan oleh parlemen.

Pemerintah Tak Wajib Cairkan Dana Pembangunan Kompleks DPR
Gedung DPR. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa.

tirto.id - Rapat Paripurna DPR RI, pada 10 April 2018 menyetujui pengajuan penambahan anggaran DPR sebesar Rp7,72 triliun untuk 2019. Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Anton Sihombing, menyatakan besarnya penambahan anggaran tersebut termasuk dana pembangunan alun-alun demokrasi DPR.

“Yang paling besar itu di pembangunan alun-alun demokrasi,” kata Anton.

Pernyataan yang sama disampaikan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon. Politikus Gerindra menyatakan, pembangunan alun-alun demokrasi di DPR merupakan kebutuhan yang harus segera direalisasikan sebelum masa jabatan anggota dewan periode ini berakhir. Karena, kata dia, pembangunan tersebut sudah direncanakan sejak lama.

Sebelumnya, DPR juga telah mengajukan anggaran proyek pembangunan kompleks DPR, termasuk alun-alun demokrasi tahap pertama pada 2017 sebesar Rp 5,7 triliun. Namun, anggaran tersebut belum dicairkan oleh Kementerian Keuangan sampai saat ini.

Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, Ridwan Hisyam menilai, pemerintah tak seharusnya menunda pencairan dana tahap pertama proyek kompleks DPR. Khususnya untuk pembangunan gedung dan alun-alun demokrasi.

Ridwan beralasan, kedua bangunan tersebut saat ini menjadi kebutuhan yang penting bagi DPR. Mengingat, kondisi gedung DPR saat ini sudah tidak mampu lagi menampung kapasitas anggota dan staf yang jumlahnya semakin banyak. Sementara, alun-alun demokrasi dibutuhkan agar anggota dewan lebih mudah dalam menerima aspirasi dari masyarakat.

“Kalau sekarang, kan, mereka di pinggir jalan, demo. Itu mengganggu. Kalau ada alun-alun, kan, mereka bisa bertemu langsung dengan kami,” kata Ridwan kepada Tirto, Senin (16/4/2018).

Terkait tidak cairnya anggaran tahap pertama kompleks DPR ini, Tirto mencoba menghubungi Dirjen Anggaran Kemenkeu, Askolani. Namun hingga artikel ini ditulis belum ada respons dari yang bersangkutan.

Secara jumlah anggaran, kata Ridwan, angka Rp7 triliun juga tidak lebih besar ketimbang anggaran untuk mendukung program-program pemerintah. Baik program kementerian maupun program ekesekutif.

“Dana mereka ratusan triliun. Itu juga terus ditambah setiap tahunnya, padahal harusnya kalau ada program yang sudah selesai dipangkas,” kata Ridwan beralasan.

Namun, Ridwan enggan menyebutkan kementerian yang dimaksudkannya terus mengalami pembengkakan dana setiap tahun meskipun sudah tidak butuh lagi. “Tidak usah disebutlah kementeriannya,” kata Ridwan.

Hal senada juga disampaikan anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Wihadi Wiyanto. Menurutnya, pemerintah tidak perlu menunda pencairan anggaran karena sudah ada kesepakatan di antara DPR dan pemerintah pada 2015 lalu.

“Itu sebelum moratorium. Jadi enggak ada efeknya,” kata mantan anggota BURT ini kepada Tirto.

Pemerintah memberlakukan moratorium pembangunan gedung pemerintahan pada 2016, kecuali untuk pembangunan fasilitas kesehatan dan pelayanan publik. Moratorium ini dilakukan dengan tujuan efisiensi anggaran.

“Dari tiga periode sebelumnya belum bisa dicairkan, ini aneh,” kata Wihadi.

Pemerintah Tak Perlu Cairkan Anggaran

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto menilai, logika anggota DPR yang membandingkan anggaran pemerintah dan DPR adalah salah besar. Karena, menurut dia, DPR mempunyai fungsi pengawasan dan anggaran yang semestinya dimaksimalkan untuk mencegah penghamburan dana oleh eksekutif. Bukan malah membandingkan dengan dana mereka sendiri.

“APBN bukan menjadi bancakan eksekutif dan legislatif,” kata Yenny kepada Tirto.

Seharusnya, kata Yenny, DPR memperhatikan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Distribusi Alokasi Anggaran yang mengisyaratkan agar anggaran diprioritaskan untuk pelayanan publik. “Jadi bukan untuk proyek pribadi DPR. Gitu harusnya mikirnya,” kata Yenny.

Lebih lanjut, Yenny berkata, tidak ada keharusan bagi Kemenkeu untuk mencairkan dana pembangunan alun-alun demokrasi dan gedung DPR. Karena, menurutnya, proyek tersebut tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR di awal pemerintahan Jokowi-JK.

"Kalau cuma sekadar bilang sepakat, tapi enggak masuk RPJMN, ya tidak kuat secara hukum," kata Yenny. "Karena itu undang-undang," imbuhnya.

Dalam RPJMN pemerintahan Jokowi-JK memang tidak menyebutkan proyek pembangunan kompleks DPR, alih-alih secara khusus alun-alun demokrasi dan gedung DPR. Melainkan di dalamnya disebutkan tentang pembangunan infrastruktur.

Yenny berpendapat, DPR tidak peka dengan kondisi fiskal nasional yang sempit. Menurut dia, APBN 2018 yang menyatakan anggaran belanja negara sebesar Rp2.220,7 triliun harus dikelola dengan sangat efisien oleh pemerintah karena masih membutuhkan dana untuk merampungkan proyek infrastruktur yang telah masuk RPJMN.

"Infrastruktur dalam 5 tahun butuh Rp5.000 triliun, tapi hanya mampu mencukupi Rp2.000 triliun. Jadi harus memberikan Rp300-400 triliun setiap tahunnya," kata Yenny.

Di APBN 2018, menganggarkan Rp410,4 triliun yang akan disalurkan ke Kementerian PUPERA sebesar Rp104,7 triliun, Kemenhub sebesar Rp44,2 triliun, dana alokasi khusus sebesar Rp33,9 triliun, dan investasi pemerintah sebesar Rp41,5 triliun.

Lagi pula, dalam hal ini, Yenny menilai kengototan DPR tak lain hanya sebagai langkah untuk mewujudkan ambisi mereka merealisasikan 7 proyek prioritas yang disusun pada 2015. “Apa lagi ini tahun politik. Jadi makin ngotot,” kata Yenny.

Sementara itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyerahkan keputusan terkait anggaran pembangunan gedung baru DPR dan alun-alun demokrasi kepada kebijakan pemerintah, karena institusinya sudah mengajukan anggaran di 2018, namun pemerintah masih melakukan moratorium pembangunan gedung.

“Kami mengacu pada tahun 2018 anggarannya belum bisa dieksekusi karena belum ada kebijakan yang mencabut. Ketika ada anggaran yang diajukan lalu tidak digunakan, maka masuk lagi ke negara, kan sederhana saja,” kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin kemarin.

Bamsoet, sapaan akrab politikus Golkar ini, berkata bahwa DPR tidak perlu melobi pemerintah agar mencabut moratorium tersebut karena pemerintah memiliki prioritas dan DPR mendukung apapun kebijakan pemerintah.

Ia mengatakan, anggaran DPR tahun 2019 senilai Rp7,7 triliun baru sebatas usulan, sehingga bisa disetujui atau tidak oleh pemerintah dan institusinya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah.

“Kami tidak memaksa agar pemerintah mencabut moratorium. Lalu terkait alun-alun demokrasi itu satu kesatuan dari pengajuan kami, namanya pembangunan kami serahkan pada pemerintah,” kata dia.

Bambang mengatakan, DPR saat ini fokus menyelesaikan tugas-tugasnya dalam bidang legislasi, pengawasan, dan anggaran yang waktunya tinggal 1,5 tahun lagi. Di sisi lain, menurut dia, DPR harus menjaga suasana politik tetap kondusif agar pesta demokrasi yang berlangsung di tahun 2018 dan 2019 berjalan baik.

Baca juga artikel terkait PEMBANGUNAN GEDUNG DPR atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz