tirto.id - Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam memberi catatan agar pemerintah barhati-hati dengan utang yang bersumber dari luar negeri.
"Utang luar negeri karena bayarnya kan perlu dolar, valas (valuta asing). Permintaan valas untuk bayar utang kan mempengaruhi pergerakan rupiah (rupiah semakin anjlok). Kalau dari sisi utang luar negeri persoalannya agak diintropeksi di rasionya, di DSR-nya (Debt Service Ratio/rasio utang luar negeri terhadap pendapatan)," ujar Pieter kepada Tirto pada Kamis (18/10/2018).
Meski begitu, Pieter juga menambahkan, posisi utang pemerintah masih aman dengan rasio utang masih di bawah batas 60 persen, sesuai ketentuan yang tertuang dalam UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.
"Artinya kalau dilihat dari posisi utang secara keseluruhan masih aman. Tapi, sebaiknya kalau melihat komponen utang luar negeri. Pemerintah sebaiknya jangan menambah utang ke luar negeri, tapi fokus untuk utang ke dalam negeri saja," tambahnya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat hingga akhir September 2018 secara akumulasi, posisi utang pemerintah sebesar Rp 4.416 triliun atau 30,47 persen rasio utang terhadap PDB yang asumsinya sebesar Rp 14.495 triliun.
Pieter mengatakan apabila DSR semakin tinggi, maka dapat menggerus devisa hasil ekspor dalam negeri. Hal itu mengkhawatirkan saat rupiah sedang anjlok karena dolar AS menguat hingga level Rp 15 ribuan.
Ia memperkirakan komponen utang pemerintah dari luar negeri atau dalam bentuk valuta asing sudah mencapai 40 persen. Komposisi yang besar dibandingkan utang luar negeri pemerintah Jepang yang hanya 10 persen.
"Kalau lihat komposisi utang pengaruhi rupiah, itu porsi utang luar negeri yang besar. Posisi utang luar negeri terhadap utang kalau enggak salah 40 persen. Dibandingkan dengan Jepang yang rasio utangnya itu 100 persen PDB, 90 persennya itu utang domestik, hanya 10 persen utang luar negeri. Sementara, utang luar negeri Indonesia sangat besar termasuk utang luar negeri dari swasta," kata dia.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa idealnya pemerintah menekan utang dari luar negeri atau utang yang berbentuk valas, seperti yang dilakukan Jepang.
"Idealnya buat porsinya menjadi hanya 10 persen," ucapnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yulaika Ramadhani