tirto.id -
Ketua Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno (UBK), Salamudin Daeng menyatakan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan rencana penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 April 2016. Pasalnya, harga BBM yang fluktuatif bisa memicu gejolak ekonomi dan inflasi yang tak terkendali.
"Pemerintah mutlak menetapkan harga BBM yang terjangkau oleh masyarakat, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis belaka, apalagi untuk kebutuhan pencitraan politik pemerintah, namun semata mata dalam rangka mengangkat derajat kehidupan ekonomi rakyat Indonesia," ujar Salamudin Daeng, dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Kamis, (24/3/2016).
Saat ini, lanjut Salamudin, harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan kembali. Apalagi, lanjut dia, nilai tukar dolar AS juga cenderung naik terhadap rupiah. Kondisi ini, kata dia, akan berdampak pada meningkatnya ongkos produksi dan distribusi BBM di dalam negeri. Sehingga kondisi tersebut tidak akan menghindarkan pemerintah untuk kembali menaikkan harga BBM.
Karena itu, Salamudin menyarankan pemerintah sebaiknya fokus pada penjagaan stabilitas harga BBM dan energi lainnya guna menjaga kelangsungan produksi, poduktivitas, dan perbaikan daya beli masyarakat. Paling tidak, pemerintah bisa menjaga stabilitas harga dalam jangka waktu enam bulan agar tercipta rasa nyaman dan aman di hati masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi.
"Bentuk stabilitas harga BBM itu sebagaimana yang dinikmati bangsa Indonesia sepanjang 30 tahun pemerintahan Soeharto," ungkap Salamudin.
Salamudin menambahkan membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai perkembangan harga minyak mentah dan nilai tukar merupakan ciri sistem ekonomi pasar yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Ia juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM.
Salamudin menyatakan menghapus pajak dalam rantai produksi dan distribusi BBM di dalam negeri, merupakan salah satu bentuk subsidi konkrit. Pajak yang dimaksud Salamudin ialah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor (PBBKB).
Selain itu, Salamudin berpendapat, pemungutan pajak tinggi pada barang publik merupakan tindakan yang tidak etis dan berlawanan dengan prinsip barang bersubsidi. Ia menyebut, “jeruk makan jeruk,” apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Selain mempertimbangkan kembali pemberian subsidi BBM, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali pembentukan sistem dana stabilitasi yang diambil dari kelebihan harga jual BBM. Dana stabilitasi dikelola oleh perusahaan plat merah, PT Pertamina yang selama ini diserahi tugas untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM.
Salamudin mengatakan, pengelolaan dana ini dilakukan secara transparan dan dilaporkan kepada publik setiap bulan. Dengan demikian Pertamina dapat meminimalisir kerugian akibat pencabutan subsidi BBM sebagaimana yang terjadi awal 2015. (ANT)