tirto.id - Pemerintah berupaya menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) produk tembakau atau rokok menjadi 10 persen dari 8,7 persen yang berlaku saat ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyatakan pemerintah menginginkan penarikan PPN rokok dilakukan dalam dua tahap yakni dengan tarif 10 persen saat produk rokok keluar dari pabrik, dan 10 persen lagi ketika distributor besar atau pedagang besar menjualnya ke masyarakat.
"Sekarang masih kami bicarakan dengan industri, mereka minta waktu dua sampai tiga tahun untuk mempersiapkan jalur distribusi," ujar Suahasil dalam diskusi mengenai harga rokok yang diselenggarakan Center for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia (CHEPS UI) di Jakarta, Selasa (20/12/2016).
Dijelaskan Suahasil, dengan penyusunan rantai distribusi yang jelas, pemerintah berharap ketaatan pajak dalam kegiatan industri rokok juga akan meningkat lantaran semua pihak yang terlibat dalam produksi hingga distribusi diharuskan memiliki NPWP.
Namun, katanya, mengingat industri rokok masih meminta waktu untuk menyepakati kebijakan ini, pemerintah berencana menerapkan opsi kebijakan lain yang lebih implementatif untuk diterapkan saat ini yakni dengan penarikan PPN di tingkat produsen sebesar 9,1 persen, sesuai hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Awal tahun ini ada temuan BPK yang menyatakan bahwa penarikan PPN yang ada tidak sesuai dengan tarif yang benar, ini akan kami perbaiki sehingga tarifnya akan naik dari 8,7 persen menjadi 9,1 persen," ungkap Suahasil.
Kedua opsi tersebut, menurut dia, sedang dikaji oleh Kementerian Keuangan dan akan diputuskan dalam waktu dekat.
Terkait dengan produksi rokok, Putusan Mahkamah Agung no. 16 P/HUM/2016 telah menyatakan Peraturan Menteri Perindustrian No. 63/2015 tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau tidak sah. Pada Pasal 3 ayat (2) Permenperin No. 63/2015 dinyatakan bahwa peta jalan industri hasil tembakau adalah pedoman bagi pemerintah pusat dan daerah untuk merencanakan, mengkoordinasi, melaksanakan, dan mengawasi pembinaan produksi.
Permenperin no. 63/2015 dinilai tidak sah karena bertentangan dengan lima peraturan perundangan yang lebih tinggi, antara lain UU No. 36/2009 tentang Kesehatan dan UU No. 11/1995 tentang Cukai.
Peta jalan yang disusun memproyeksikan kenaikan produksi rokok sebesar 5—7 persen per tahun sepanjang 2015–2020 menjadi 524,2 miliar batang.
Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto di Jakarta, Jumat (16/12) menyampaikan bahwa peta jalan tersebut bukan bertujuan untuk mendorong peningkatan produksi rokok sebesar-besarnya, namun justru dapat menjadi regulasi untuk mengendalikan produksi.
"Jadi, posisi industri begini, itu namanya roadmap (peta jalan), sebenarnya maksudnya justru kita ingin memberikan kepastian hukum, artinya sebenarnya di situlah tertuang keseimbangan, antara keseimbangan ekonomi, khususnya cukai, tenaga kerja dan kesehatan," katanya.
"Tapi, kalau sudah dihapus, ya berarti sudah, kalau memang demikian Kemenperin ya tidak punya regulasi yang bisa mengendalikan, ya berjalan begitu saja sesuai aturan industri pada umumnya. Misalnya soal aspek perizinan, kita tidak punya aturan untuk melarang," papar Panggah.
Dalam hal ini, lanjut Panggah, Kemenperin telah menggelar pertemuan dengan industri rokok dan menyatakan untuk menerima putusan tersebut.
"Tanggapan mereka ya menerima. tinggal ke depan bagaimana. Ini salah persepsi. Kalau saya pernah bicara ke semua pihak, kalau soal pertumbuhan silakan dihitung bareng-bareng mau tumbuh berapa. Ya, tentu jangan hanya melihat satu aspek. lihat dari semua sisi ekonomi juga. Jadi, mau tumbuh berapa silakan, tapi menjadi satu konsensus," ujarnya.
Sumber: Antara