tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika masih memblokir akses internet pada layanan operator seluler di Papua dan Papua Barat hingga Sabtu (24/8/2019) kemarin. Masyarakat hanya bisa berkomunikasi jarak jauh via panggilan telepon dan pesan singkat atau SMS.
Ini dilakukan karena menurut Kemenkominfo, sebagaimana dikutip dari laman Setkab, "masih tingginya distribusi dan transmisi informasi hoaks, kabar bohong, provokatif, dan rasis."
Tapi menurut pengacara publik yang banyak menggarap isu Papua Veronica Koman, yang terjadi justru sebaliknya. "Alih-alih menangkal hoaks," katanya kepada reporter Tirto, Sabtu (24/8/2019) kemarin, "justru masyarakat tidak bisa memverifikasi dan menggali kebenaran soal info-info yang beredar."
Dia bicara demikian "dari segi pembela HAM." "Jadi kerja monitoring situasi dan juga verifikasi laporan pelanggaran HAM yang masuk itu menjadi sangat sulit."
Vero, demikian dia biasa disapa, baru-baru ini dicap menyebar hoaks oleh Kemenkominfo. Dengan bekal bantahan polisi, Kemenkominfo mengatakan salah satu cuitan Vero--soal penangkapan pengantar makanan untuk mahasiswa di Asrama Papua di Surabaya yang tengah dikepung aparat dan ormas--di Twitter termasuk dalam kategori "disinformasi."
Masalahnya Vero tidak mengatakan apa yang Kemenkominfo tuduhkan--Kemenkominfo menyebut Vero mencuit "penculikan", padahal sebetulnya "penangkapan". Cek fakta ala Kemenkominfo dapat disimpulkan "mengandung informasi yang tidak tepat serta mengarahkan ke tafsir informasi yang salah."
Peristiwa yang Vero kabarkan merupakan pemicu aksi protes di sejumlah kota di Papua sejak awal pekan lalu. Mahasiswa Papua di Surabaya dituduh merusak bendera merah putih dan diperlakukan rasis oleh para pengepung.
Vero lantas mendesak pemerintah segera membuka kembali akses internet. "Kami sudah masukkan urgent appeal (permohonan mendesak) ke PBB untuk mendesak pemerintah Indonesia segera mencabut pemblokiran akses internet di West Papua."
Relawan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) di Papua Daeng Ipul mengatakan hal serupa.
"Seperti kemarin [lusa] itu. Ada informasi demonstrasi lagi. Itu kami tidak bisa mengkonfirmasi. Jadinya malah simpang siur beritanya dan ada sedikit kepanikan," kata Ipul kepada reporter Tirto lewat sambungan telepon di Jayapura. "Kami tidak tahu ini informasi hoaks atau bukan."
Selain itu, kebijakan pemblokiran juga tidak tepat karena guna internet lebih luas dari sekadar menyebar kabar bohong. Ada orang yang bekerja dan dapat uang dari internet; ada pelajar mencari bahan-bahan kuliah dari internet; ada pengangguran mencari kerja via internet; dan sebagainya. Semua, tanpa terkecuali, terdampak kebijakan ini.
"Pemerintah melihat orang Papua hanya menggunakan internet untuk menyebar hoaks," katanya.
Yang lebih aneh, kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, "Papua ini posisinya korban". "Jadi ini enggak masuk akal sama sekali kebijakan ini."
"Langkah Terbaik"
Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengaku tahu persis banyak orang dirugikan atas pemblokiran ini. "Tapi tetap kami ambil kebijakan ini," katanya Sabtu lalu, "karena ini langkah terbaik untuk menstabilkan semua."
Dia lalu berharap masyarakat tahu yang mana yang hoaks dan mana yang bukan dari media massa.
"Kan TV, radio, media massa yang konvensional, masih berjalan. Mereka sudah melalui tahapan-tahapan verifikasi."
Pada akhirnya Ferdinandus memastikan mereka tidak terpengaruh kritik-kritik dari luar. Dia menegaskan kembali akses internet dibuka kembali saat "situasi mereda, hoaks menurun."
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino