tirto.id - Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dibentuk pada Mei 2017, dinilai kontraproduktif dengan visinya untuk menstabilkan harga pangan. Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas melihat adanya Satgas Pangan tidak memberikan efek positif.
"Ada Satgas Pangan atau tidak, ya tidak ada efeknya [terhadap stabilisasi harga]. Bahkan kalau saya lihat malah kontraproduktif, tidak memberikan pengaruh positif," ujar Dwi kepada Tirto pada Jumat (2/3/2018).
Ia menyebutkan semangat dari pembentukan Satgas Pangan adalah pertama, untuk menekan harga pangan, meliputi beras; dan kedua, untuk menekan keuntungan yang ada di pedagang agar tidak terlalu tinggi.
"Itu tidak tercapai. Yang terjadi malah sebaliknya," ucapnya.
Dwi kemudian menunjukkan data Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) pada 2016 ada sebesar 10,57 persen. Angka ini justru naik pada 2017 menjadi berkisar 26 persen.
"Kenapa bisa begitu padahal ada satgas pangan, penggerebekan PT Indo Beras Unggul (IBU) dan sebagainya?" jelas Dwi.
Ia mencurigai adanya Satgas Pangan membuat jumlah distributor kecil menjadi menyusut. Kondisi itu justru membuat pasar dikuasai perusahaan distributor besar dengan keuntungan tinggi.
"Yang kecil-kecil malah gulung tikar, karena tidak ada surat, tidak ada izin, dan sebagainya. Yang besar yang bisa menguasai beras, keuntungannya berlipat, karena persaingan semakin rendah, keuntungannya semakin tinggi," tudingnya.
Selanjutnya, dia mengungkapkan adanya Satgas Pangan membuat manajemen stok di pedagang justru menjadi kacau. Sebab, beras digelontorkan terus menerus sehingga membuat stok beras rendah.
"Ketika terjadi kenaikan harga beras mulai Oktober-November kemarin saya sudah mulai curiga. Ini beras betul-betul langka," ucapnya.
Ia menyarankan pemerintah untuk segera membuat badan Otoritas Pangan, karena sudah diamanatkan dalam UU Pangan No.18 Tahun 2012). Pasalnya, Bulog tidak cukup perannya dalam mengelola pangan nasional.
"Kalau Bulog ini kan badan usaha milik negara, di mana pun BUMN harus untung, kalau enggak untung direksinya dicopotlah. Kalau Badan Otoritas Pangan kan tentu ada anggaran tersendiri dari pemerintah. Kalau pun rugi bisa dipahami karena tugasnya untuk menjaga stabilisasi harga pangan," kata dia.
Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yag diatur pemerintah, sebesar Rp9.450 per kilogram. Hingga saat ini, harga beras medium yang diatur pemerintah masih di atas HET.
Data Kementerian Perdagangan harga beras medium di Jakarta saja mayoritas berkisar Rp12.000 per kilogram, paling tinggi Rp14.500 per kilogram di Pasar Meruya, Jakarta Barat.
Dengan harga beras yang terbukti masih tinggi, YLKI pun menilai kinerja Satgas Pangan. "Kalau pun harga beras turun bukan atas kerja Satgas Pangan, tapi karena memasuki masa panen," ujar Ketua Pengurus Harian, Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (27/2/2018).
Selain itu, Tulus mengkritisi Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang seharusnya merevisi pernyataannya bahwa Indonesia surplus beras. Sebab pada kenyataannya Indonesia pada awal tahun ini mengimpor beras 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam.
Untuk itu, Kementerian Perdagangan dan Bulog harus menjamin bahwa beras impor tidak masuk ke pasaran, kecuali untuk operasi pasar saja.
"Jangan sampai beras impor bocor dan mengakibatkan harga beras jatuh di musim panen malah. Kementerian Perdagangan dan Bulog juga harus mampu mengatasi berbagai distorsi dalam harga beras, seperti kemungkinan adanya spekulan dalam perdagangan beras," lanjutnya.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari