tirto.id - Sejumlah organisasi sipil perempuan mengecam pembatalan undangan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas untuk mengikuti Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI 2019 di Hari Kemerdekaan, Juamt (16/8/2019) lalu.
Saat itu sedianya, GKR Hemas menghadiri gedung DPD RI untuk mengikuti pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Joko Widodo terkait Hari Kemerdekaan RI ke-74.
Tiga organisasi tersebut yakni Kaukus Perempuan Parlemen Republik lndonesia (KPPRI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Maju Perempuan Indonesia (MPI).
Undangan itu secara sepihak dicabut melalui surat yang dikirim oleh Sekjen DPD RI , Reydonnyzar Moenek dan surat dari Sekjen MPR RI, Ma'ruf Cahyono.
"Surat pencabutan undangan tidak sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas kepastian hukum, ketidakberpihakan, kecermatan dan pelayanan," ujar salah satu perwakilan organisasi sipil perempuan yang juga dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat, Minggu (18/8/2019).
Surat pembatalan dari DPD RI diterima GKR Hemas, sekitar pukul 02.00 WIB dan pukul 04.00 WIB. Ia menerima surat pembatalan dari DPR RI, Jumat (16/8/2019). Padahal, surat undangan ini telah ia diterima tiga hari sebelum pidato kenegaraan.
Surat dari DPD RI merujuk Putusan Badan Kehormatan (BK) DPD RI yang menerbitkan Surat No 02.00/1963/ DPD Rl//2019, berisi Pencabutan Undangan Bagi GKR Hemas (Anggota DPD nomor 8-53) untuk menghadiri Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia.
Ratu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini diberhentikan sementara oleh BK DPD sebagai anggota lantaran menolak kepemimpinan Osman Sapta Odang (OSO)
Sedangkan surat dari pihak DPR bernomor B-2317/H.M.04.03/B-11/Setjend MPR/08/2019 merujuk surat dari Setjen DPD. Isinya sama yakni pencabutan surat undangan.
Bivitri menyatakan sikap politik GKR Hemas yang berbeda dengan kesimpulan BK DPD adalah refleksi dari penegakkan aturan yang diyakini benar.
"Anggota DPD memegang jabatan karena dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme konstitusional pemilu. Mandat rakyat yang diperoleh anggota DPD terpilih tidak boleh dicabut secara sepihak tanpa melalui prosedur yang konstitusional," kata Bivitri.
Menurut dia, pembatalan undangan enam jam sebelum dibukanya sidang menunjukkan ketidakprofesionalan administrasi pemerintahan dan dapat dinilai sebagai ancaman serius bagi perempuan di bidang politik.
"GKR Hemas tidak bisa diposisikan sebagai individu politik. Namun juga bagian dari gerakan perjuangan penguatan keterwakilan perempuan di Indonesia," lanjut Bivitri.
Ia juga menyatakan, meminta pejabat yang berwenang secara struktural untuk segera mengoreksi tindakan Setjen DPD RI dan Sekjen MPR RI yang tidak tepat bertindak.
Saat ini, kata dia, seharusnya semua pihak berkomitmen untuk memberikan iklim sehat bagi eksistensi perempuan dalam berpolitik.
"Karena politik inklusif adalah salah satu ciri utama praktik demokrasi," kata dia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali