Menuju konten utama
Dandhy Dwi Laksono:

Pembangunan Bandara Dinilai Hanya Bikin Harga Tanah Semakin Tinggi

Menurut Dandhy, pembangunan bandara mengakibatkan kenaikan harga tanah di sekitarnya.

Pembangunan Bandara Dinilai Hanya Bikin Harga Tanah Semakin Tinggi
Bandara Soekarno Hatta Jakarta. FOTO/Antaranews.com

tirto.id - Pendiri Watchdoc, Dandhy Dwi Laksono mengatakan, pembangunan bandar udara di Indonesia telah menyimpang dari tujuan utamanya, yakni untuk perhubungan. Sebab, kata Dandhy, pada umumnya pembangunan bandara mengakibatkan kenaikan harga tanah di sekitarnya.

Ia mencontohkan Mandalika di NTB yang di sekitar bandaranya justru malah menjamur kota-kota baru yang ia sebut sebagai aerotropolis. Sebuah pola pembangunan infrastruktur yang menjadikan bandara sebagai pusatnya.

“Nah bandara ini bukan infrastruktur untuk layani mobilitas orang atau wisata. Dia penyebab booming harga tanah dan investasi properti,” ucap Dandhy kepada reporter Tirto pada Sabtu (16/2).

“Dulu di Soekarno Hatta, di Banten Cuma ada Hotel Amaris 1 biji. Tapi sekarang jadi (banyak) ruko dan mal,” tambah Dandhy.

Pola pembangunan ini, menurut Dandhy, semakin tidak wajar setelah terdapat konflik agraria karena ada pembebasan lahan untuk keperluan properti di sekitarnya.

Data Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) misalnya, menyebutkan pembangunan Bandara Internasional Kertajati, Jawa Barat sebenarnya hanya memerlukan 1.800 dari 5.000 hektar tanah yang dibebaskan. Sisa 3.200 hektar dipakai untuk pembangunan kawasan aerotropolis dan pusat bisnis.

Permasalahannya, menurut Dandhy, dalam proses pembebasan lahan, seluruh 5.000 hektar itu mengatasnamakan kepentingan umum. Padahal, jika pemerintah ingin menggunakan UU pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya boleh digunakan pada luasan bandara dan landasan pacunya.

“Kalau runway dan bandaranya saja kepentingan umum. Tapi pengembangan investasi dan properti harusnya tidak. Itu menunggangi agenda kepentingan umum” kata Dandhy.

Selain itu, Dandhy juga menemukan bahwa proyek investasi dan properti ini sering kali menempati lahan masyarakat. Dengan demikian, tidak heran bila kasus-kasus seperti di Kulon Progo malah berujung pada konflik agraria dan pelanggaran HAM. Terutama bila prosesnya malah diboncengi aparat penegak hukum.

“Mentang-mentang tanah udah ditaruh uang konsensi jadi bisa digusur kapan saja. Di situ enggak fairnya UU soal kepentingan umum. Karena yang masuk malah kantor yang dekat bandara,” ucap Dandhy.

Baca juga artikel terkait PEMBANGUNAN BANDARA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto