tirto.id - Pembakaran kendaraan bermotor di Jawa Tengah diduga terkait dengan situasi politik saat ini. Pelakunya diperkirakan bukan dari kelompok terorisme keagamaan.
Analis terorisme Al Chaidar mengatakan, dari pola kejahatan, pelaku bukan dari kelompok teroris agama baik yang beraksi di wilayah perkotaan (tanzim) maupun pegunungan (tamkin) yang jadi markas mereka.
“Terorisme agama cenderung hit dan run, sasarannya bukan di kampung. Tapi di kota dan di gunung, di daerah operasional mereka,” kata dia saat dihubungi Tirto, Rabu (13/2/2019).
Pembakaran kendaraan lebih dari 20 titik, lokasinya di berbagai kampung atau pemukiman yang ada di Kota Semarang, Kendal dan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah medio Desember 2018-Februari 2019. Polisi telah mengerahkan anggota untuk menangkap pelaku, tapi sampai sekarang belum terungkap.
Al Chaidar mengatakan, kasus pembakaran itu dikategorikan sebagai teror yang dilatarbelakangi ideologi politik. Pelaku, kata dia, meneror karena situasi politik menjelang Pilpres 2019.
“[Karakter] terorisme itu memang random, berulang, selalu menyerang masyarakat sipil, tidak bersenjata. Apa yang terjadi di Jateng sebuah terorisme politik,” ujar dia.
Menurut dia, terorisme politik di Jateng berbeda dengan kekerasan politik, terutama dari pola yang terus-menerus. Ia menduga, kaitan motif politik terdapat pada teror menekan warga sebagai pemilik suara.
“Kalau kekerasan politik ini hanya dilakukan sekali dan selesai. Tidak terencana. Sasarannya jelas dan langsung terkait politik seperti kasus pembunuhan satu keluarga dalam pemilihan bupati di Mindanao [Filipina],” ungkap dia.
Soal profil korban pembakaran dari sipil dan kalangan bawah dari struktur politik, kata Al Chaidar, mereka memiliki potensi ancaman, karena punya suara yang diperebutkan dalam Pemilu 2019.
“Teror ini memberi tekanan ke masyarakat bawah. Mereka punya potensi suara. Mereka terancam kehilangan harta benda,” kata dia.
Teror ini, kata dia, sama-sama tak menguntungkan bagi elektabilitas calon presiden 2019, karena lokasinya diperebutkan kedua pasangan calon.
“Aparat harus bergerak untuk mengungkap kasus, sehingga bisa diketahui pelaku berasal dari kelompok yang mana,” ujar dia.
Al Chaidar mengamini terkait dugaan pelaku telah terlatih, sehingga tak meninggalkan jejak. Menurut dia, kelompok terorisme baik agama maupun politik memperoleh pelatihan, meski waktunya singkat. Hal ini, lanjut dia, membedakan kejahatan politik dengan terorisme politik.
“Itu yang membedakan dengan kejahatan politik. Ini misalnya ada target, langsung dilakukan. Ini kan sistemaris, massif, terus-menerus, itu disebut terorisme. Kalau bukan, kejadiannya hanya sekali saja. Tidak bisa berulang, ini sebuah tindakan teror,” ungkap dia.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Addi M Idhom