Menuju konten utama

Pelaporan Jubir KY Jadi Contoh UU ITE Jerat Banyak Kasus Pers

Ada 245 kasus pelaporan UU ITE di Indonesia sejak 2008.

Pelaporan Jubir KY Jadi Contoh UU ITE Jerat Banyak Kasus Pers
Juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi. FOTO/bengkulu.antaranews.com

tirto.id - Direktur Remotivi, Roy Thaniago menyatakan, sejumlah kasus pemberitaan yang dilaporkan ke ranah pidana rata-rata dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Roy mencontohkan hal itu melalui dua kasus. Pertama, kasus pelaporan Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) terhadap jurnalis Serat.id, Zakki Amali. Kedua, kasus Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi yang dilaporkan saat menjadi narasumber di media.

"Kriminalisasi narasumber menjadi celah untuk pihak yang tidak suka atas kritik. Ada semacam budaya anti-intelektual. Budaya intelektual percaya dengan diskusi, pandangan yang berbeda, bahkan konflik," kata Roy dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa (4/12/2018).

Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), ada 245 kasus pelaporan UU ITE di Indonesia sejak 2008. Dari jumlah tersebut, 35,92 persen pelapornya adalah pejabat negara, termasuk kepala daerah, kepala instansi atau departemen, menteri dan aparat keamanan.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Lembaga Badan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin menjelaskan, apabila ada pernyataan narasumber di media yang dipersoalkan, maka mekanismenya harus diselesaikan melalui hak jawab, hak koreksi, atau Dewan Pers.

"Bukan kemudian lari dengan pasal pidana karena hal tersebut justru menurut saya sangat tidak demokratis dalam berbangsa," kata Ade dalam acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa (4/12/2018).

Ade menegaskan, aturan itu sudah tercantum dalam nota kesepahaman antara pihak Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pers di Pasal 4. Dalam pasal itu, lanjut Ade, kepolisian harus mengarahkan kasus yang dilaporkan ke lembaganya agar diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu.

Menurut Ade, Undang-undang tersebut perlu dipatuhi untuk menjaga kebebasan pers. Di sisi lain, Roy Thaniago yang juga sebagai Dosen jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) itu menyatakan, kebebasan pers perlu dijaga agar dapat menciptakan kebebasan dalam berpendapat.

"Wartawan adalah salah satu profesi yang memiliki privilege karena wartawan bekerja untuk melayani publik. Mereka melayani publik dengan memberikan informasi kepada publik. Ketika warga memiliki informasi yang cukup, warga bisa berpartisipasi dalam demokrasi," kata Roy.

Baca juga artikel terkait KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Alexander Haryanto