tirto.id - Hiruk dan lalu-lalang orang di trotoar sepanjang Jalan Matraman, dari depan Cityplaza Jatinegara, Jakarta Timur hingga pertigaan Jalan Raya Bekasi Barat begitu terasa di akhir pekan. Saat Tirto menyambangi kawasan ini, Sabtu (3/2) kondisinya memang sangat ramai.
Seorang pedagang hewan di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, mengatakan: "saking ramainya, orang jalan aja tabrakan."
Apalagi di Cityplaza Jatinegara juga sedang terselenggara acara jumpa fans pemeran film Dilan. Banyak orang ingin melihat lebih dekat aktor muda Iqbaal Ramadhan dan Vanessa Priscilla yang sedang naik daun.
Keriuhan juga terjadi akibat banyaknya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di jalur pejalan kaki. Berbagai hewan dijajakan, bebas dibeli sepanjang suka dan punya uang. Ada kelinci, burung, ikan hias, ada juga ular, lemur, dan lainnya.
Berdampingan dengan mereka, ada juga pedagang makanan seperti cakwe, bakso, dan siomay. Semua itu, menambah kepadatan. Belum lagi ada pedagang aksesoris lain seperti ikat pinggang, sarung telepon, hingga mesin jam dinding beradu sesak pada trotoar di kawasan itu yang lebarnya sekitar 2 meter.
Di luar trotoar, jejeran sepeda motor pengunjung terparkir memakan sekitar seperempat ruas jalanan. Ini bagian dari parkir liar yang makin menambah kepadatan jalan di kawasan ini.
Sikap Satpol PP
Edi (40), seorang PKL, mengatakan bahwa keramaian memang umum terjadi di akhir pekan, ketika Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tidak sedang bertugas.
"Kalau ada Satpol PP kami jualan sih paling di pinggir, mepet tembok. Ini karena enggak ada, Sabtu-Minggu, jadi bebas," ujarnya kepada Tirto.
Satpol PP memang tidak pernah mengusir mereka sepanjang para PKL taat aturan. Para PKL diminta agar tidak berjualan melebihi batas yang telah ditentukan, meski PKL tetap saja merenggut hak pejalan kaki. Jika ada yang membandel, Satpol PP tidak segan mengusir, bahkan barang dagangan akan disita.
Ini misalnya terjadi pada 31 Januari lalu. Pemprov DKI Jakarta merazia PKL dan parkir liar karena dinilai tidak taat aturan dan membuat kondisi semakin semrawut. Tenda-tenda dirobohkan, meja-meja dari triplek diangkut ke truk. Namun, di balik aksi penertiban itu, ada hal lain yang membuat para PKL juga tak kalah dibuat sengsara.
Edi, seorang PKL yang sudah 10 tahun berjualan di kawasan Jatinegara mengaku sempat menghadapi pungutan ilegal oleh oknum aparat. Terakhir kali penarikan iuran liar terjadi beberapa tahun lalu, dengan nominal yang tak sedikit.
"Sekarang udah nggak, udah pada takut," katanya.
Kini, Edi memang tak lagi menghadapi masalah demikian, tapi bukan berarti persoalan selesai. Ia menghadapi masalah pendapatan usaha yang makin tiris. Ia hanya mengantongi omzet Rp150 ribu dalam sehari. Jarang pedagang asal Bengkulu itu mendapat penghasilan Rp300 ribu ke atas seperti lalu-lalu.
"Ramainya sekarang sudah tidak seperti dulu lagi," ujarnya sambil tersenyum getir.
Pengakuan serupa disampaikan Jhon (48), PKL asal Minangkabau, Sumatera Barat. Jhon, yang sudah berdagang di sana sejak 1984, mengatakan bahwa kini ia hanya bisa membawa pulang uang Rp50 ribu sampai Rp200 ribu setiap hari.
Dari atas trotoar yang berada persis di bawah jembatan penyeberangan, Jhon bercerita kawasan Jatinegara saat ini hanya ramai dikunjungi pada akhir pekan. Hiruk pikuk orang berkurang di hari kerja, entah karena pembatasan lapak jualan atau dampak pergeseran sistem jual-beli.
"Sekarang orang jualan lewat online saja sudah bisa diantar langsung ke rumah," ujar Jhon.
Usaha Pedagang Undang Pelanggan
Jhon, yang sudah punya tiga anak, tak tahu faktor apa lagi yang menyebabkan berkurangnya pembeli di kawasan Jatinegara. Sebab menurutnya kawasan ini cukup aman dan nyaman. Ia mengatakan bahwa PKL sadar bahwa harus ada ruang bagi pejalan kaki.
Ia juga mengklaim para pedagang secara tidak langsung menjaga keamanan pengunjung dari copet. PKL di Jatinegara sangat keras terhadap copet dan pelaku kriminal lain.
"Kalau ada copet biasanya dari luar Jatinegara. Kami tangkap, kasih peringatan 'kalau berani balik lagi jangan salahkan pedagang'," katanya.
Namun, apa yang diusahakan pedagang tidak sampai ke konsumen. Noval (18) misalnya, mengaku tidak nyaman dengan kepadatan di trotoar dan jalan di Jatinegara.
Saat ditemui usai berbelanja di Pasar Hewan Jatinegara, ia berpendapat bahwa sebaiknya pedagang di trotoar direlokasi semua ke tempat yang tepat. "Jadi luas untuk pejalan kaki. Soalnya kalau begini [berdesakan] takut ada kejahatan," katanya kepada Tirto.
Tanggapan serupa disampaikan Herlina (18). Pejalan kaki yang tinggal di Jatinegara itu merasa risih karena harus berbagi trotoar dengan PKL. Bagi Herlina, pedagang harusnya berjualan di kios atau pasar. Selain itu PKL di trotoar juga dinilai bikin lalu lintas semakin macet.
"Pengendara juga macet karena banyak berhenti buat kasih motor parkir," tutur Herlina.
Keinginan Noval dan Herlina agar PKL pindah ke kios sebetulnya juga merupakan harapan para pedagang, tidak terkecuali Jhon. Ia akan senang pindah sepanjang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
"Bagaimana pun jualan di kios lebih enak dibanding di jalan. Kalau di sini kan hujan kami kehujanan, panas ya kepanasan," kata Jhon.
Kios dalam Pasar Jatinegara sebetulnya bisa jadi alternatif. Namun masalahnya tidak semua mampu menyewa. Untuk bisa berjualan di sana, pedagang harus merogoh kocek hingga Rp60 juta per tahun.
"Uang besar begitu kami mana pernah lihatnya," kata Jhon.
Persoalan hak pejalan kaki pada trotoar termasuk pengguna jalan yang harus berbagi dengan para PKL sudah hal umum di Jakarta. Contoh yang sempat kontroversial karena mendapat "fasilitas" oleh Pemrov DKI Jakarta adalah PKL di Tanah Abang.
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta di bawah Anies dan Sandi menuai kritik bahkan ada yang melempar petisi di change.org soal "Kembalikan Fungsi Jalan dan Trotoar Tanah Abang". Tentu, pejalan kaki tak rela harus berbagi dengan para PKL seperti yang terjadi di Jatinegara.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino