tirto.id - Baru-baru ini, hotline Periksa Fakta Tirto (kontak) menerima beberapa aduan terkait klaim vaksin COVID-19 yang dianggap tidak akan mampu membasmi ribuan mutasi virus penyebab Corona. Dari jumlah aduan, pesan berantai tersebut sepertinya telah beredar cukup luas.
Pesan tersebut diklaim bersumber dari Prof. Sutiman Bambang Sumitro, peneliti Mikrobiologi di Universitas Brawijaya, Malang. Menurut pesan tersebut, masyarakat yang sudah divaksin perlu menjaga imunitas agar tetap tinggi, karena vaksin COVID-19 nyaris tak ada gunanya.
Pesan tersebut mengklaim, vaksin virus penyebab COVID-19 telah bermutasi menjadi ribuan varian virus baru di seluruh dunia. Menurut pesan itu pula, vaksin bersifat spesifik, artinya hanya bisa menangkal satu jenis virus penyebab COVID-19 tertentu saja. Artinya, jika virus penyebab COVID-19 sudah bermutasi, antibodi yang telah terbentuk dari vaksinasi tidak akan efektif lagi untuk menangkal virus. Itu pula yang menyebabkan banyak orang kembali positif setelah pernah terkena COVID-19.
Maka, menurut pesan ini, penting untuk tetap menjaga sistem imun tubuh. Selain itu, untuk mengobati COVID-19, disarankan untuk mengonsumsi beberapa merk suplemen vitamin dengan dosis double, di antaranya Farmaton Vit dan Ester C 1000 mg, ditambah madu 5 sendok, Habbat's cair 5 kapsul, dan minyak zaitun 3 sendok.
Pesan ini juga menyebutkan semua flu yang menyerang manusia menyebabkan sesak napas, apalagi memang untuk orang yang punya asma. Maka, disimpulkan bahwa COVID-19 membuat orang sesak, karena semua flu memang begitu.
Lantas, bagaimana kebenaran dari pesan ini?
Penelusuran Fakta
Kami berusaha menelusuri “Sutiman Bambang Sumitro” melalui mesin pencari Google. Rupanya pesan sejenis telah banyak tersebar, baik yang telah dibahas oleh lembaga pemeriksa fakta, atau pun media yang memberitakan bahwa pesan ini tersebar sebagai hoaks.
Salah satu hasil pencarian yang paling lama dan masuk akal dari pernyataan Prof. Sutiman adalah artikel Republika berjudul “Covid-19 yang Bermutasi Buat Sulit Temukan Vaksin”. Pada berita yang dipublikasikan pada Mei 2020 tersebut, Prof. Sutiman mengatakan virus penyebab COVID-19 telah bermutasi menjadi virus lokal, sehingga akan sulit menemukan vaksin atau obat secara global. Padahal, penciptaan vaksin dimaksud agar dapat digunakan seluruh manusia tanpa memandang kelokalan.
Hanya itu yang disampaikan oleh Prof. Sutiman dalam berita Republika. Lagipula, berita itu dipublikasikan pada Mei 2020, ketika penelitian mengenai virus penyebab COVID-19 masih diteliti.
Selain itu, Prof. Sutiman juga tidak menyebut vaksin tidak ada gunanya. Ia malah mengkritik penggunaan jamu-jamuan yang waktu itu ramai didebatkan. Menurutnya, jamu berfungsi untuk menjaga kualitas hidup manusia dan bukan untuk menyembuhkan COVID-19.
Kemudian, mengenai dampak dari varian virus penyebab COVID-19, SARS-CoV-2, terhadap efektivitas vaksin,WHO pada Maret 2021 menyatakan bahwa vaksin yang saat ini dikembangkan atau telah disetujui diperkirakan dapat memberi perlindungan terhadap beberapa varian virus baru. Sebab, pada dasarnya, vaksin menghasilkan respon imun yang luas yang melibatkan antibodi dan sel. Oleh karena itu, perubahan atau mutasi virus seharusnya tidak membuat vaksin menjadi tidak efektif sama sekali. Jika misalnya salah satu vaksin terbukti kurang efektif terhadap satu varian atau lebih, komposisi vaksin dapat diubah untuk melindungi dari jenis varian tertentu.
WHO juga terus bekerja untuk menganalisis varian virus SARS-CoV-2. WHO bekerja sama dengan peneliti, petugas kesehatan, pembuat kebijakan, dan ilmuwan untuk memahami bagaimana varian virus mempengaruhi perilaku virus, termasuk dampaknya terhadap efektivitas vaksin, jika ada.
Menurut WHO pula, ketika virus telah menyebar luas dalam suatu populasi dan menyebabkan banyak infeksi, kemungkinan virus untuk bermutasi meningkat. Semakin banyak peluang yang dimiliki virus untuk menyebar, semakin banyak ia bereplikasi – dan semakin banyak peluang bagi virus untuk mengalami perubahan. Dengan demikian, bukan vaksin yang bermutasi menjadi jenis baru seperti diklaim, melainkan hanya virus yang bisa bermutasi.
Kebanyakan mutasi virus memiliki sedikit atau tidak berdampak pada kemampuan virus untuk menyebabkan infeksi dan penyakit. Tetapi, ini tergantung di mana perubahan itu terletak pada materi genetik virus; perubahan dapat mempengaruhi sifat virus, seperti transmisi (misalnya, dapat menyebar lebih cepat atau lebih lambat) atau tingkat keparahan (misalnya, dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah atau tidak parah sama sekali).
Belum lama ini, jurnal Nature membahas mengenai varian virus penyebab COVID-19, B.1.617, yang turunannya disebut oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) sebagai varian Kappa (B.1.617.1) dan varian Delta (B.1.617.2).
Sebagai informasi, varian Delta sendiri banyak disebutkan berbagai peneliti sebagai varian yang jauh lebih mudah menular. Varian ini pertama kali ditemukan di India.
Menurut artikel tersebut, satu hal yang mesti dipecahkan oleh para peneliti adalah apakah vaksin akan tetap efektif melawan varian B.1.617. Jika salah satu bentuk dari varian ini dapat "menghindari" perlindungan kekebalan tubuh yang dihasilkan vaksinasi, atau perlindungan kekebalan tubuh oleh paparan virus sebelumnya, infeksi oleh varian ini dapat memicu gelombang infeksi baru yang signifikan di tengah masyarakat dan dapat menggagalkan rencana untuk melonggarkan pembatasan wilayah.
Secara teori, percepatan penyebaran B.1.617.2, atau Delta, di Inggris misalnya — di mana lebih dari 50% populasi telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19 —dapat mengindikasikan kemampuan varian ini untuk lolos dari perlindungan vaksin. Namun, peneliti biologi di Catholic University of Leuve, Belgia, Tom Wenseleers, mengatakan bahwa hanya terdapat sedikit bukti untuk menyimpulkan bahwa varian Delta, atau B.1.617.2, mendorong peningkatan kasus di Inggris saat ini.
Data awal dari Bolton, tempat menyebarnya COVID-19 di barat laut Inggris, dari pertengahan Mei 2021, menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang terkena COVID varian Delta belum divaksinasi. Hanya sekitar 5 dari 18 orang yang dirawat di rumah sakit yang dites positif untuk varian tersebut telah menerima dosis vaksin pertama, dan hanya satu yang telah diberikan dosis kedua.
Data terpisah yang dianalisis oleh Wenseleers menunjukkan bahwa infeksi dengan varian Delta di barat laut Inggris pada awalnya menyerang remaja yang tidak divaksinasi secara rutin. Meskipun varian kemudian menyebar ke orang-orang berusia tiga puluhan dan empat puluhan, mereka yang berusia lima puluhan – yang kebanyakan sudah mendapat kedua dosis vaksin – mengalami tingkat infeksi yang lebih rendah.
Meski begitu, Wenseelers juga menyatakan bahwa di Inggris secara keseluruhan, ia memprediksi 50 persen dari infeksi COVID-19 saat ini adalah varian B.1.617.2.
Melansir dari artikel Nature tersebut juga, Christina Pagel, peneliti di University College London, mengatakan bahwa pernyataan bahwa sebuah vaksin disebut "efektif" juga tidak terlalu membantu, karena ada kisaran dalam efektivitas vaksin. Studi kemanjuran vaksin cenderung berfokus pada kemampuan untuk mencegah penyakit parah dan kematian. Tetapi penting juga untuk mengetahui apakah orang yang divaksinasi dapat tertular varian Delta tanpa sakit, atau menularkannya, katanya.
Di samping itu, pada 1 Juli 2021, badan evaluasi obat Eropa, European Medicines Agency (EMA), menyatakan bahwa vaksin-vaksin yang telah disetujui oleh Uni Eropa dapat melindungi penerima vaksin dari semua varian virus penyebab COVID-19, termasuk varian Delta, seperti dilansir dari Reuters. Uni Eropa sejauh ini telah menyetujui empat jenis vaksin COVID-19, di antaranya Pfizer, BioNTech, AstraZeneca, dan Johnson & Johnson. Namun, badan ini juga meminta produsen vaksin untuk terus memonitor perkembangan dari varian-varian virus penyebab COVID-19.
Sementara itu, untuk varian Delta, vaksin COVID-19 asal Tiongkok disebut bisa efektif mengurangi risiko gejala dan tingkat keparahan dari Delta, menurut Zhong Nanshan, seorang epidemiolog, seperti dikutip Reuters. Pernyataan tersebut didasari dari analisis infeksi COVID-19 di Guangzhou city. Hasil tersebut masih merupakan temuan awal dan sampelnya terbilang kecil. Namun, ahli-ahli asal Tiongkok tetap mendorong masyarakat untuk divaksin sedini mungkin.
Menukil dari artikel di Jama Network, Norman Baylor, PhD, mantan direktur Kantor Penelitian dan Peninjauan Vaksin Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA), juga menyatakan bahwa salah satu alasan SARS-CoV-2 penyebab Corona terus menghasilkan varian baru adalah karena jumlah orang di dunia yang telah divaksinasi masih relatif sedikit.
Terlepas dari mutasi virus penyebab COVID-19, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio, mengatakan pada lembaga pemeriksa fakta Liputan6.com bahwa vaksin masih bisa efektif terhadap mutasi virus Corona.
"Walaupun sudah ada mutasi, tetapi belum sampai ada perubahan struktur, sehingga vaksin yang sudah dikembangkan selama ini masih bisa efektif," ujarnya dalam wawancara dengan lembaga pemeriksa fakta Liputan6.com di Jakarta (28/12/2020).
Kemudian, melansir dari Liputan6.com juga, dr. RA Adaninggar, SpPD menyatakan (2/6/2021) bahwa klaim bahwa sesak napas yang dialami penderita COVID juga terjadi pada penderita flu adalah salah.
"Pernyataan yang berbahaya di sini adalah dibilang kalau semua flu cenderung sesak napas, ini sangat salah. Flu yang ringan tidak akan menyebabkan sesak nafas karena biasanya hanya terjadi keradangan di saluran napas atas, tapi bila sudah terjadi sesak nafas, apalagi penurunan saturasi oksigen, harus hati-hati karena itu artinya sudah terjadi keradangan di paru-paru," katanya.
Menurut dr. Adaninggar pula, tidak semua sesak napas penanganannya adalah dengan nebulizer.
"Penyebab sesak sangat banyak dan tidak hanya masalah di paru, tapi bisa juga masalah di jantung, ginjal, liver, atau darah, dan penanganannya bukan dengan nebulizer. Malah justru nebulizer harus dihindari pada beberapa sesak napas karena penyebab selain paru," katanya.
Ia menambahkan bahwa untuk penderita COVID-19, penggunaan nebulizer di rumah sangat berbahaya karena termasuk tindakan yang dapat membentuk aerosol.
Selain itu, mengonsumsi vitamin seperti yang telah disebutkan di atas, perlu diresepkan oleh dokter, apalagi jika yang mengonsumsi adalah mereka dengan COVID-19 atau orang komorbid.
Seperti yang disampaikan situs kesehatan Alodokter, misalnya batas asupan vitamin C yang aman untuk orang berusia 19 tahun ke atas adalah 2000 mg per hari, dan lebih sedikit untuk yang usianya di bawah itu. Namun, kebutuhan harian vitamin C untuk pria dewasa di atas 19 tahun hanya 90 mg/hari dan 75 mg/hari untuk wanita di atas 19 tahun. Vitamin C tablet sendiri umumnya dikonsumsi 1-2 kali sehari, bisa dikonsumsi sebelum atau sesudah makan.
Konsumsi vitamin C juga perlu didiskusikan dengan dokter apabila memiliki alergi makanan, dan juga perlu hati-hati bagi orang dengan riwayat penyakit gagal ginjal, batu ginjal, diabetes, defisiensi enzim G6PD, dan hemokromatosis. Pada beberapa orang, vitamin C bentuk minum dapat menyebabkan batu ginjal, terutama bila dikonsumsi lebih dari 2000 mg per hari.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pesan berantai WhatsApp yang mengatasnamakan Prof. Sutiman Bambang Sumitro bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Vaksin untuk COVID-19 tidak bersifat spesifik terhadap satu varian. WHO juga telah menyatakan bahwa vaksin yang saat ini dikembangkan atau telah disetujui diperkirakan dapat memberi perlindungan terhadap beberapa varian virus baru. Tidak hanya pesan sesungguhnya dari Prof. Sutiman telah diselewengkan, beberapa poin yang disampaikan juga meleset dan menyesatkan.
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6288223870202 (tautan). Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty