Menuju konten utama

Patah Hati karena Jagoan Kalah Pemilu

Stres muncul saat jagoan kalah dalam pemilu karena adanya persepsi ancaman bagi kelompok tertentu.

Ilustrasi patah hati karena jagoan kalah pemilu. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Beberapa lembaga survei telah mempublikasikan hasil hitung cepat Pemilu 2019. Hitung cepat lembaga-lembaga survei itu menempatkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin unggul dari Prabowo-Sandiaga Uno.

Meski capres yang dijagokannya unggul, Feby Indirani tak mau meledek pendukung Prabowo-Sandi. Ia tahu betul rasanya patah hati ketika jagonya kalah di Pemilu.

Feby menceritakan kesedihannya yang mendalam ketika Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat harus kalah dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Penulis kumpulan cerpen Bukan Perawan Maria ini adalah satu dari ribuan penduduk yang turut menangis di Balaikota untuk melepas Ahok.

“Waktu itu saya nangis dan enggak cuma saya. [Rasanya] lebih dari orang putus pacaran,” ungkap Feby.

Kesedihan yang Feby rasakan itu masih bertahan hingga kini. Orang lain mungkin menganggap Feby berlebihan, tapi nyatanya Feby tak bisa menyembunyikan tangisnya hingga beberapa bulan setelah pilkada selesai. Meski lewat pesawat telepon, saya bisa mendengar nada kecewa yang ia rasakan, meski peristiwa tersebut sudah terjadi lebih dari setahun.

Saat itu, ia mengkhawatirkan permainan politik identitas yang semakin kental. “Jadi bagaimana kita semua menyaksikan politiknya kotor, Ahok disudutkan sebagai penista agama, demo berjilid-jilid,” ujar Feby.

Awalnya, Feby berusaha menghibur diri. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ya sudah Ahok-Djarot kalah, tapi [mungkin] Pak Ahok enggak diproses hukum.” Namun, ternyata, Feby harus kembali menelan kepahitan karena Ahok akhirnya juga dipidana.

Pada Pilpres 2019 ini, Feby memilih menahan diri, tidak mencaci pendukung lawan. Ia sadar bahwa banyak pemilih Prabowo-Sandiaga yang mendukung jagoannya dengan tulus.

“Apa hak saya untuk menertawakan keyakinan yang tulus?” katanya.

Kecewa Setelah Jagoan Kalah Pemilu

Kekecewaan karena jagoan kalah pemilu bukanlah hal yang dialami Feby sendirian. Pada 2016 lalu, CNN pernah membuat laporan berjudul “Post-election Stress Disorder’ Strikes on Both Sides” yang memaparkan gangguan psikologis dari beberapa penduduk Amerika Serikat setelah mereka menerima kabar kekalahan Hillary Clinton. Rata-rata laporan tersebut berasal dari para pendukung Partai Demokrat.

Contohnya adalah Wally Pfingsten. Sejak Trump terpilih, dia khawatir dengan gejolak politik yang menghantui Amerika Serikat. Bahkan, demi menghapus rasa cemasnya, Pfingsten menutup halaman Facebook-nya untuk membatasi arus informasi dari Washington.

Kekhawatiran itu tak hanya dirasakan Pfingsten. Julia Belluz dan Javier Zarracina pun membeberkan perubahan emosional yang dialami oleh teman-teman mereka setelah menyadari bahwa Donald Trump berpeluang menjadi presiden.

Dikisahkan dalam sebuah artikel Vox, para pendukung Demokrat merasa hasil pemilu itu adalah mimpi buruk dan mereka tak ingin bangun dari tidurnya. Tak sedikit pula yang mengutarakan niatnya untuk pindah ke Kanada.

Todd Rogers, seorang pakar ilmu behavioral dari Harvard Kennedy School, mengungkapkan bahwa kekalahan partisan lebih mudah menghancurkan seseorang ketimbang sebuah bencana nasional.

Dalam sebuah kontestasi politik, semua pihak yang berseteru meyakini bahwa mereka akan menang. Maka, dalam sebuah pertarungan politik, sebagian populasi akan terpukul dengan hasilnya.

Hal itu diperparah kondisi bahwa umumnya seseorang cenderung berada di lingkungan sosial yang sejalan dengan dirinya, serta mencari berita yang mampu mengonfirmasi pandangan politiknya. Gejala semacam itu juga terjadi di Indonesia.

Orang-orang memilih bersekutu dengan rekan yang punya idola politik sama, kemudian membentuk komunitas. Ketika seorang politikus melempar isu ke publik, para pendukung akan beramai-ramai mengamininya, sementara kubu lawan akan membuat serangan balik dengan sumber-sumber yang mereka percayai.

Menurut Rogers, kesedihan mendalam yang muncul dari kekalahan jago mereka itu berkaitan dengan identitas. “Keberpihakan semakin menentukan kehidupan mental sosial, dan geografis kita,” ungkapnya.

Talkspace, sebuah portal terapi online yang berbasis di Kota New York, mencatat peningkatan permohonan janji terapi setelah Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada November 2016 hingga Januari 2017.

Nancy Molitor dalam wawancaranya dengan CNN mengungkapkan bahwa banyak pasiennya mengeluhkan kesulitan tidur, berkurangnya konsentrasi di tempat kerja, hingga lebih sering bertengkar dengan anggota keluarga. Bahkan, ada juga yang menyatakan rasa sedihnya menghilangkan gairah seks.

Hasil survei yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa lebih dari setengah generasi Z di Amerika Serikat menganggap iklim politik sebagai penyebab stres (55 persen). Selain itu, 68 persen dari generasi ini khawatir dengan masa depan bangsa dan 66 persen responden tak percaya jika Amerika Serikat akan bergerak menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Riset dari APA itu kemudian diulas oleh Thomas G. Plante, seorang profesor Psikologi di Santa Clara University melalui artikelnya di Psychology Today. Ia mengungkap bahwa mayoritas pendukung Demokrat khawatir dengan masa depan negara mereka.

Dari laporan itu, diketahui bahwa meningkatnya stres juga memengaruhi gejala kesehatan fisik dan mental mereka, seperti sakit kepala, rasa kewalahan, cemas, dan depresi. Akhirnya, stres itu menimbulkan masalah pada diri mereka, lingkungan sosial, dan pekerjaan.

Mengatasi Stres Setelah Pemilu

Psikolog klinis Aenea Marella mengungkapkan bahwa di Indonesia belum ada dokumentasi data seperti yang dilakukan oleh APA. Meski demikian, Aenea mengungkapkan laporan stres kebanyakan terjadi pada calon legislatif yang gagal.

Menurutnya, fenomena kehilangan teman atau keluarga akibat pemilu menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi emosional karena masalah itu berdampak pada hubungan interpersonal sehari-hari.

Aenea juga berpendapat bahwa munculnya stres dari kelompok yang jagonya kalah di pertarungan politik adalah hal yang wajar terjadi.

"Ada persepsi ancaman bagi kelompok tertentu terkait hasil pilpres. Adanya persepsi ancaman bisa menimbulkan kecemasan, dan untuk menghadapi kecemasan, terkadang individu bisa melakukan cara-cara yang kurang adaptif,” ujar Aenea.

Rasa khawatir itu semakin bertambah dengan maraknya berita-berita palsu dan misinformasi. Akhirnya, ketakutan individu itu juga “menular” kepada kelompoknya.

Selain itu, Aenea menduga polarisasi yang semakin kuat juga menjadi penyebab stres. Salah satu penyebabnya adalah diskusi tajam dan penuh amarah di media sosial.

“Hal ini semakin memperkuat perasaan in group dan out group. Artinya, ada keyakinan bahwa dia kelompokku dan [yang lain] bukan kelompokku. Ini kemudian menimbulkan keyakinan-keyakinan tertentu dan memunculkan bias tertentu,” kata Aenea.

Terbelahnya masyarakat berdasarkan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden juga menimbulkan pola pikir hitam-putih. Idola dianggap pasti baik, sedangkan pujaan lawan pasti buruk.

“Secara psikologis, proses Pilpres ini dipandang sebagai kompetisi personal, antara saya dengan teman saya si A, atau saya dengan adik saya, dan seterusnya. Berpikirnya juga jadi kalah-menang dengan individu tertentu dalam lingkaran sosialnya,” ungkap Aenea.

Infografik Stres Usai Pemilu

undefined

Untuk mengatasi munculnya kesedihan pada pendukung yang kalah, Aenea menyarankan agar masyarakat menghindari penggunaan label seperti cebong dan kampret, atau kaum micin. Pelabelan itu bisa memperkuat perasaan in group dan out group, bahkan menimbulkan emosi negatif ketika menyebutnya.

“Bila mulai muncul emosi atau suasana hati negatif, batasi penggunaan medsos, apalagi yang membahas isu pilpres secara tendensius,” kata Aenea.

Selain itu, Anda pun diminta untuk mencoba berinteraksi dengan orang-orang yang dianggap tak masuk dalam kelompok Anda, serta tak memandang diri sebagai korban.

Idealnya, kedua tim pemenangan pasangan calon yang berkompetisi bisa berkontribusi untuk proses pemulihan pendukung tim yang kalah. Kelompok yang kalah bisa menunjukkan kepada lawan bahwa mereka akan menghadapi hasil pemilu secara bijak. Kekalahan bukanlah alasan untuk bermusuhan.

“Tim yang menang juga bisa menunjukkan bahwa kemenangan ini bukan kemenangan untuk kuasa, melainkan sebuah kepercayaan yang didapat setelah situasi sulit dan pengorbanan. Salah satunya pengorbanan orang-orang yang terlanjur terpolarisasi, dan penting untuk disatukan lagi,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Politik
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani