tirto.id - Keberhasilan mengorganisir massa sebanyak ratusan ribu orang tentu merupakan modal politik yang bagus. Namun, jika produknya tak dibungkus dengan istilah-istilah yang mengundang minat, kemampuan itu lama-lama akan tergerus, dan orang-orang perlahan bakal melupakannya.
Bayangkan, misalnya, Rapat Raksasa Lapangan Ikada dinamai "Rakyat Jelata Duduk-duduk Tanpa Alas sembari Mendengar Bung Karno Cuap-cuap Sebentar", para pembaca buku-buku sejarah mungkin akan melompati bagian itu. Atau jika Bung Karno menyebut diri "Hulubalang Pribumi yang Lelah Dijahati Melulu" alih-alih "Penyambung Lidah Rakyat", perjuangannya niscaya dianggap remeh.
4 November 2016, sejumlah orang yang menyebut diri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menghimpun ratusan ribu orang merengsek Jakarta, menuntut supaya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjarakan. Mereka menyebut peristiwa itu Aksi Bela Islam.
Istilah itu menguntungkan GNPF MUI, sebab menghubungkan aksi tersebut dengan hal yang lebih besar dan penting dan masyhur, yaitu jihad fi sabilillah. Adapun nama lainnya, 411, lebih sedap lagi. Selain mengingatkan orang kepada teror 9/11 di Amerika Serikat, bentuk deretan angka itu juga menyerupai tulisan “Allah” dalam aksara Arab.
Namun, judul sekuelnya, "Aksi Super Damai Bela Islam III", terdengar seperti nama jurus dalam film-film super sentai kelas B, seperti “Pukulan Super Mantap Penghancur Kepala Sapi” atau semacamnya. Dan nama alternatifnya yang disarikan dari tanggal aksi, 212, telanjur dikooptasi oleh pihak-pihak yang berada di seberang; mereka menghubungkan aksi itu dengan Wiro Sableng, pendekar silat rekaan Bastian Tito, dan menjadikannya guyonan.
Ini menyulitkan para pendukung aksi. Selain harus merelakan perjuangan mereka diwakili istilah yang terdengar murahan, orang-orang itu terpaksa mengeraskan geraham dan memforsir jempol masing-masing di pelbagai front media sosial jauh sebelum turun ke jalanan, menangkis apa saja yang dianggap sebagai usaha menjadikan mereka bahan tertawaan.
Pada 1 Desember, misalnya, ratusan orang simpatisan Aksi Super Damai Bela Islam III bereaksi terhadap twit penyanyi populer Iwan Fals (“Lho kok hilang ya Wiro Sablengnya?”). Banyak di antara mereka seketika memutuskan hubungan penggemar-idola dengan Iwan dan meledeknnya sebagai orang yang cemerlang sewaktu muda tetapi masa tuanya fals belaka.
Mari, Akh, Rebut Kembali!
Andai petugas propaganda GNPF MUI lebih cerdik, mereka tentu paham bahwa langkah terbaik bukanlah mengajak para pendukungnya berteriak lebih keras ketimbang lawan, melainkan merampas “212” dan “Wiro Sableng”, memberinya makna baru, dan berbalik memanfaatkannya.
Dalam sosiologi dan cultural studies, trik itu disebut reapropriasi.
“Dengan melakukan reapropriasi, seseorang … membalik pesan yang tadinya melukai jadi memberdayakan,” tulis Adam Galinsky (Ed.) dalam “The Reappropriation of Stigmatizing Labels” pada 2003.
“Obamacare”, nama lain bagi Patient Protection and Affordable Care Act (PPACA), undang-undang Amerika Serikat yang memperluas akses rakyat negara itu kepada pelayanan kesehatan, pada mulanya digunakan oleh beberapa politikus Partai Republikan sebagai cemoohan.
Ketika undang-undang itu masih berupa rancangan, Mitt Romney pernah mengatakan bahwa Amerika Serikat hendaknya tidak ikut-ikutan Eropa, bahwa pelayanan kesehatan yang dikelola negara, “Hillarycare” atau “Obamacare” atau “Siapalahcare”, akan membebani negara dan merugikan masyarakat. “Cara terbaik supaya pelayanan kesehatan berfungsi ialah dengan membuatnya … membawa semangat pasar bebas,” ujar Romney.
Romney mengerti, menempelkan nama politikus pada program yang dianggap butut oleh banyak orang ialah cara yang mangkus buat merendahkan keduanya.
Namun, alih-alih berteriak bahwa nama si undang-undang ialah PPACA dan bukan Obamacare sampai lidahnya bengkok, Obama malah merangkul istilah pemberian lawan-lawan politiknya tersebut. “Kalian mau menyebutnya Obamacare? Silakan, karena gue memang care,”kata Obama pada 2012.
Mengherankan jika entitas politik yang punya cita-cita besar seperti Front Pembela Islam (FPI), salah satu elemen inti GNPF MUI, tak memahami reapropriasi. Trik itu bukan barang anyar. Di Inggris, orang-orang sudah menerapkannya sejak abad ke-17.
Golongan konservatif dan loyalis monarki Inggris, Tory, dan lawan politiknya, Whigs, memperoleh nama mereka dari cemoohan satu sama lain. Encyclopaedia Brittanica edisi kesebelas (1910-11) mencatat: “Menyebut seseorang 'Whig' berarti menyamakannya dengan pemberontak Presbyterian dari bagian barat Skotlandia, sedangkan menyebut seseorang 'Tory' ialah menyamakannya dengan bandit-bandit Katolik Irlandia.” Toraidhe, kata dalam bahasa Irlandia lawas yang merupakan asal istilah “Tory”, memang berarti “orang-orang buruan” atau kriminal.
Dalam “politik kebudayaan”, reapropriasi juga kerap digunakan. “Queer” alias “banci”, misalnya, pernah jadi istilah yang merendahkan. Namun, pada 1990an, kata Paul Baker, pengajar bahasa Inggris di Lancaster University, kepada The Guardian, para akademisi dan aktivis telah merebut dan mengikis kehinaan yang sempat dibawa oleh istilah tersebut.
“Kendalikan bahasa, maka kau mengendalikan masyarakat,” ujar Baker.
Partai Wiro Sableng, 212 Selamanya
Kesanggupan GNPF MUI mengorganisir massa sebanyak ratusan ribu orang pada 2 Desember lalu tentu merupakan pencapaian luar biasa. Namun, supaya hal itu tak cepat terlupakan dan dapat dijual di kemudian hari, ia perlu rebranding.
Selain lebih mudah diucapkan dan terdengar lebih mbois ketimbang “Aksi Super Damai Bela Islam III” dan “Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia”, istilah “Wiro Sableng” juga mengandung makna positif yang dapat dimanfaatkan oleh siapa pun yang hendak mengusungnya.
Wiro Sableng rekaan Bastian Tito, Anda tahu, adalah pendekar Islami pembela kebenaran. Dalam Empat Berewok dari Goa Sanggreng, jilid pertama dari seri novel Wiro Sableng, Sinto Gendeng menjelaskan makna 212 kepada Wiro.
212, dalam semesta Wiro Sableng, adalah pengakuan eksistensi dunia dan ukhrowi. "2" berarti segala hal di dunia ini selalu terdiri atas dua unsur: laki-perempuan, hitam-putih, suami-istri, api-air, kanan-kiri, Teman Ahok-Lawan Ahok, dan sebagainya. Namun, di atas segala dualitas itu, selalu ada yang "1", yang melampaui segalanya: Tuhan.
Sesungguhnya tak ada yang buruk dengan (makna) 212. Angka itu memuat pengertian tentang perlunya membangun keseimbangan antara yang-duniawi dengan yang-ukhrowi. Keduanya sama-sama dapat tempat, keduanya sama-sama tercatat. Bahkan, jika merujuk pesan Sinto yang lain, yang-ukhrowi mesti lebih unggul dari yang-duniawi.
Beginilah Sinto Gendeng menjelaskan: "Kau telah lihat angka 212 pada kulit dada dan telapak tangan kananmu? Berarti dalam dirimu sudah kulekatkan unsur-unsur keduniaan dan unsur ingat Tuhan. Agar kau tidak lupa bahwa kau hidup di dunia adalah untuk menolong sesama manusia. Juga agar kau tidak lupa bahwa kau mempunyai Tuhan yang harus dituruti segala perintah dan dijauhkan segala laranganNya. Kau mengerti?"
Andai suatu saat salah satu ormas penyusun GNPF MUI hendak malih rupa menjadi partai politik, Partai Wiro Sableng ialah salah satu nama terbaik yang dapat mereka pilih. Ia akan mengingatkan rakyat Indonesia kepada keberhasilan aksi 212 sekaligus segala kebaikan yang dipunyai Wiro Sableng Sang Pendekar.
“Partai Wiro Sableng, 212 Selamanya.” Tidakkah itu terdengar seperti slogan juara pemilihan umum?
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Maulida Sri Handayani