tirto.id - Komik superhero disebut-sebut lahir di Amerika. Biangnya adalah serial Flash Gordon karya Alex Raymond yang terbit pertama kali pada 1934. Genre ini kian meledak setelah terbitnya Action Comics #1 pada Mei 1938, yang menampilkan sosok Superman ciptaan Jerry Siegel dan Joe Shuster.
Komik Amerika mulai masuk ke Indonesia pada 1930-an, yang mulanya terbit berseri di media massa dan segera menjadi bacaan populer. Namun, genre adisatria baru mekar di Indonesia usai revolusi mereda pada paruh awal 1950-an. Kesuksesan genre superhero di Amerika membuat beberapa penerbit dan komikus tergiur. Awalnya mereka hanya menerjemahkan dan menjiplak komik-komik terbitan King Feature Syndicate.
Gebrakan baru lahir pada 1954 dari tangan Raden Ahmad Kosasih. Ia bisa dibilang sebagai orang pertama yang mencoba menciptakan karakter superhero dengan kearifan lokal. Ceritanya mengadaptasi cara tutur Amerika, tapi dengan desain karakter dan lingkungan Indonesia.
Cerita bermula pada 1953, saat Kosasih bekerja sebagai ilustrator di Museum Zoologi Bogor dan mendapat tawaran membuat komik dari Tan Eng Hiong, pemilik Penerbit Melodie Bandung. Secara khusus Tan meminta Kosasih membuat komik superhero semacam Superman. Dari rundingan itu, Kosasih akhirnya membuat superhero perempuan yang dinamai Sri Asih.
“Menurut pengakuan Tan, komiknya ketika itu mencapai jumlah cetak sebanyak 30.000 eksemplar. Suatu jumlah yang luar biasa banyaknya untuk saat itu—dan saat ini,” tulis Arswendo Atmowiloto dalam “Sri Asih dalam Tradisi Komik Indonesia” yang tayang di Kompas (29/11/1980).
Capaian penjualan itu semakin menguatkan Sri Asih sebagai karakter adisatria dan tengara generasi awal genre komik adisatria di Indonesia. Ia memicu lahirnya karakter-karakter komik yang oleh Arswendo disebut “asembling”, rakitan atau tiruan hero dari Amerika.
Sri Asih bukan tiruan mentah. Tokoh ini memang sangat khas adisatria Amerika yang punya kekuatan super, hidup dalam dua identitas, dan punya misi utama membasmi kejahatan. Namun yang membuat Sri Asih ikonik dan berbeda adalah wujud dan kostumnya yang serupa wayang golek Sunda.
Menurut pengkaji kultur pop Paul Heru Wibowo, Sri Asih karya Kosasih adalah tipologi adisatria khas Indonesia. Selain itu, keberanian Kosasih menempatkan perempuan sebagai protagonis utama adalah sebuah terobosan tersendiri. Bahkan di negeri asalnya, superhero masih didominasi oleh laki-laki.
“Karena itu, tidaklah keliru bila penampilan Sri Asih merepresentasikan budaya Timur yang begitu elegan dan berkarisma, di tengah-tengah pergaulan internasional yang tampaknya sedang dibangun oleh Pemerintah Indonesia secara politis ketika itu," kata Heru sebagaimana dikutip majalah Gatra.
Kesuksesan Sri Asih lalu diikuti dengan kemunculan perempuan super lain, yakni Siti Gahara. Berbeda dengan Sri Asih, kali ini Kosasih menjadikan budaya Timur Tengah sebagai latarnya. Lalu pada 1974 muncul pula adisatria perempuan baru bernama Sri Dewi. Tokoh terakhir ini unik karena dalam satu serinya ia dikisahkan bertemu dengan Superman.
“Di sini produk Indonesia mampu mengalahkan produk Amerika. Dalam soal yang berhubungan dengan makhluk halus, makhluk jadi-jadian, Sri Dewi lebih tahu masalah dan cara menghadapinya,” tulis Arswendo.
Beberapa komikus seangkatan Kosasih lantas mengikuti jejaknya. Di antara yang terkenal adalah komikus John Lo yang menciptakan adisatria Putri Bintang dan Garuda Putih. Kedua tokoh ini unik, karena meski orang Indonesia, mereka bekerja dan beraksi di Amerika.
Setelah itu jagad adisatria Nusantara sempat redup beberapa warsa. Musababnya adalah menguatnya kritik para guru yang menganggap komik sebagai bacaan tak mendidik. Selain itu, menguatnya sentimen anti-Barat juga jadi masalah. Meski sudah dibuat membumi sekali pun, tak bisa dipungkiri bahwa komik adisatria tetaplah buah budaya Barat.
"Mereka menyadari bahwa sisa-sisa kebudayaan Amerika yang terdapat di dalam komik bisa menjadi musuh ideologi yang cukup berbahaya bagi pemerintah saat itu," terang Heru.
Maka untuk sementara waktu, produksi komik adisatria Indonesia mengalami masa surut. Popularitasnya lantas digantikan oleh komik wayang yang juga dipelopori oleh Kosasih.
Generasi Kedua Digempur Komik Jepang
Produksi komik adisatria bersemi kembali pada paruh akhir 1960-an, ketika jargon “politik sebagai panglima” telah rontok. Kali ini muncul komikus muda asal Yogyakarta bernama Harya Suraminata sebagai pembuka. Ia yang dikenal dengan nama pena Hasmi meramaikan lagi jagad adisatria dengan serial Maza pada 1968 dan Gundala Putra Petir pada 1969.
Gundala yang penjualannya meledak, mengawali generasi baru wirawan super Indonesia yang lebih semarak. Tentang ini laman Provoke menulis, “Sejak diperkenalkan, ketenaran Gundala tak terbendung. Anak muda menyukai konsep jagoan yang dibuat olehnya. Sejak 1969 hingga 1982, ia menerbitkan 23 judul komik Gundala.”
Setelah itu lahir pula karakter-karakter kuat macam Godam karya Wid NS, Labah-labah Merah karya Kus Bram, Rado karya Ricky NS, hingga Kapten Halilintar dan Virgo karya Jan Mintaraga.
Di antara mereka, Hasmi yang paling produktif. Setelah Maza dan Gundala, Hasmi mencipta lagi karakter Pangeran Mlaar, Merpati, dan Sembrani. Ia juga membuat karakter penjahat ikonik seperti Ghazul, Pengkor, dan Ki Wilawuk. Tak heran jika kemudian Hasmi dijuluki “Stan Lee-nya Indonesia”, mengacu kepada tokoh legendaris pendiri Marvel Comics.
Tak berbeda dari generasi Sri Asih, generasi Gundala juga masih kena pengaruh komik Amerika. Salah satu tengara yang khas dari generasi ini adalah berkumpulnya para adisatria itu dalam sebuah grup. Sebagaimana Marvel punya The Avengers dan DC dengan Justice League, komikus Indonesia juga membuat grup adisatria dengan yang bernama Patriot.
Selain Gundala dan Maza, ada juga karakter Aquanus dan Godam ciptaan Wid NS yang mengisi barisan awal Patriot. Wid NS juga menciptakan karakter musuh ikonik bagi Patriot yang bernama Bocah Atlantis. Oleh karena itu, kedua komikus yang juga konco kenthel ini adalah dwitunggal kreator dalam genre adisatria di generasi ini.
“Kesamaan lain [Wid NS] dengan Hasmi adalah kegemarannya akan fiksi ilmiah. Tokoh Godam yang diciptakannya membuatnya dianggap sebagai pakar utama di bidang yang jarang dikomikkan itu,” tulis Marcel Bonneff, peneliti komik Indonesia dalam Komik Indonesia (1998, hlm. 205).
Meskipun pengaruh superhero Amerika pada komik-komik itu tetap ada, tapi adisatria Indonesia tetap punya ciri khas. Salah satu yang diamati Paul Heru Wibowo adalah banyak referensi cerita rakyat dan mitologi lokal dalam narasinya. Karenanya, seperti juga disebut Arswendo, musuh adisatria Indonesia tak hanya berasal dari teknologi yang kasat mata tapi juga kekuatan adikodrati.
Salah satu contoh yang bisa diajukan untuk kasus ini adalah kisah Gundala dalam episode Dr. Jaka dan Ki Wilawuk. Dalam karya ini Hasmi mencoba menggabungkan unsur cerita dari film The Thing That Couldn’t Die (1958) dan novel Dr. Jekyl and Mr. Hyde karya R.L. Stevenson dengan kisah mistik Jawa.
Seri ini berkisah tentang Dr. Jaka yang berusaha menghidupkan bromocorah dari masa Kerajaan Mataram bernama Ki Wilawuk. Dr. Jaka yang seorang dokter bedah dikisahkan membunuh dan mengisap darah korbannya untuk ritual. Sementara Ki Wilawuk adalah penjahat sakti yang menguasai ilmu pancasona.
Saat Ki Wilawuk berhasil dihidupkan kembali, ia justru membunuh Dr. Jaka. Dan puncaknya Gundala bertarung dengan Ki Wilawuk untuk menghentikan kejahatannya.
Penulis Anton Kurnia menyebut seri ini sangat menarik karena perpaduan kisah detektif dan dongeng horor. Kepiawaian Hasmi menciptakan plot komik yang filmis juga terlihat di sini.
Jika dibedah, banyak referensi yang dimanfaat Hasmi untuk meracik saga ini. Nama Dr. Jaka tentu bisa langsung diasosiasikan dengan Dr. Jekyl. Dalam novel asli karya Stevenson, Jekyl adalah sosok ilmuwan yang bisa malih rupa jadi monster.
Dalam Buah Terlarang & Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017, hlm. 175), Anton membedah betapa kayanya referensi Hasmi. Komikus yang akrab disapa Nemo oleh sejawatnya itu, juga mengambil inspirasi kisah Dracula dari Rumania dan kasus pembunuhan berantai Jack the Ripper yang misterius dari Inggris. Hal itu ia padukan dengan anasir lokal seperti sejarah Mataram dan ajian pancasona yang dipinjam dari dunia pewayangan.
“Seperti sekilas terbaca dari Dr. Jaka dan Ki Wilawuk, komik kita ternyata bisa cerdas, intelek, imajinatif, dan oleh karenanya memperkaya para pembacanya. [...] Ia membuktikan bahwa tuduhan sebagian orang bahwa komik kita cenderung dangkal, abai terhadap riset dan referensi, tidak mendidik dan membodohkan, ternyata tak sepenuhnya benar,” tulis Anton (hlm. 176).
Perbedaan lain yang tampak adalah dari segi detil gambar. Wid NS, misalnya, tak pernah lupa bahwa karakter ciptaannya adalah orang Asia. Ia selalu mempertahankan postur Asia daripada mengikuti gambaran postur adisatria Amerika. Wid NS selalu memakai perbandingan postur kepala dan tinggi badan 1:7, alih-alih perbandingan 1:8 ala Amerika.
"Itulah perbandingan khas Asia," kata Hasmi sebagaimana dikutip majalah Gatra.
Adisatria generasi kedua ini mengalami dua dekade masa kejayaan. Namun memasuki paruh kedua 1980-an, para adisatria ini lagi-lagi mengalami masa surut saat komik-komik produksi Jepang mulai menyerbu sejumlah toko buku di Indonesia.
Editor: Irfan Teguh Pribadi