tirto.id - Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo menyatakan keterlibatan lembaga dari luar, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lainnya, penting untuk upaya memberantas korupsi di internal instansi militer Indonesia.
"Pihak kami berkomitmen untuk ikut membersihkan negara ini dari korupsi. Kerjasama bukan hanya dengan KPK, BPK, PPATK dan Kepolisian mengapa demikian? Karena korupsi ini makin canggih. Tidak bisa ditangani oleh TNI sendiri," kata Jenderal TNI bekerja sendiri," kata Gatot dalam konfrensi pers Pelatihan Bersama Aparat Penegak Hukum di Hotel Santika Premiere Bintaro, Banten, pada Senin (27/02/2017).
Gatot berpendapat kerja sama antar instansi penegak hukum akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi di berbagai bidang. Selama ini, kerja sama yang bisa dilakukan oleh TNI dalam upaya pemberantasan korupsi adalah koordinasi antara POM TNI dengan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK).
Kasus terbaru, kata dia, ialah kerja sama dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Gatot juga mengisyaratkan dalam waktu dekat ada satu kasus korupsi lagi di TNI yang akan dibongkar. Tapi, menurut dia, pengusutan TNI di kasus ini berlangsung dengan senyap.
"Kami sudah berkomitmen memantau pergerakan korupsi dengan KPK. Jadi operasi kami senyap. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ada yang tertangkap lagi," kata Gatot.
Di kasus suap pengadaan Bakamla, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Deputi Informasi, Hukum dan Kerjasama Bakamla, Eko Susilo Hadi sebagai pihak terduga penerima suap. Ada pula nama Direktur PT. Melati Technofo Indonesia (MTI), Fahmi Darmawansyah dan dua pegawai PT MTI, yakni Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus sebagai pihak pemberi suap.
Eko diduga menerima suap Rp2 miliar terkait pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla. Anggaran proyek senilai Rp 200 miliar itu berasal APBN Perubahan 2016. Ia dijerat dengan pelanggaran Pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU Nomor 31 tahub 1999 sebagaimana diubah dengan UU Tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Suap untuk Eko disinyalir baru komitmen fee saja dari Rp15 miliar, yang disepakati dengan penyuapnya, yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit Bakamla yang senilai Rp220 miliar.
Sedangkan Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Selagi kasus ini berjalan, KPK dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI menetapkan lagi tersangka baru. Tersangka tersebut adalah Direktur Data dan Informasi Bakamla, Laksama Pertama TNI Bambang Udoyo sebagai penerima suap.
Bambang Udoyo diduga menerima 80.000 dolar Singapura dan 15.000 dolar AS dari penggeledahan yang dilakukan di kediamannya pada 2016 lalu.
"Kasus kemarin adalah bukti bahwa kami komitmen TNI untuk memberantas korupsi (Bakamla). Kami sendiri melalui Puspom TNI juga mengusut kasus tersebut dengan penetapan Dirut Bakamla," kata Gatot.
Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua KPK, Agus Rahardjo mengapresiasi pernyataan Gatot. Ia menilai TNI selama ini kooperatif dalam penanganan korupsi di institusinya.
"Kami mengapresiasi. Apalagi komitmen kita hari ini bahwa tidak ada lagi instansi pemerintah manapun yang lolos dari upaya merugikan negara," kata Agus.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Addi M Idhom