Menuju konten utama

Panggilan Kekuasaan pada Mereka yang Bermata Cacat

Gus Dur dan Truman—kedua pemimpin berbeda generasi—mengajarkan kita bahwa di tengah keterbatasan fisik, minim dukungan dari oligarki politik, mereka mampu membuat standar tinggi sebagai negarawan.

Avatar Dwi Cipta. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 2002, dalam satu seminar di auditorium Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Gus Dur menuturkan kisah kocak ketika bertemu presiden Bill Clinton dalam kunjungan kenegaraannya ke Amerika Serikat. Seminar ini menghadirkan pengarang Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, aktivis Mansour Fakih dan Gadis Arivia.

Dalam penuturan Gus Dur, kunjungan yang sedianya hanya 15 menit molor hingga dua jam karena Bill Clinton terus terpingkal mendengarkan cerita kocaknya. Di antara kisah itu adalah keisengannya menguji jelajah bacaan Clinton. Dengan percaya diri Gus Dur berkata betapa enaknya menjadi presiden AS karena dari ruang kerjanya bisa mengawasi para staf gedung putih bekerja. Clinton terkejut dan bertanya dari mana Gus Dur tahu itu.

“Dalam biografi Harry S. Truman disebutkan ada lubang yang bisa dipakai untuk mengintip para staf bekerja,” begitu kira-kira jawaban Gus Dur.

Peserta seminar tidak tahu apakah Clinton pernah membaca biografi Truman. Seandainya pun membaca, Clinton mungkin malu karena tidak memperhatikan klaim Gus Dur. Apalagi yang memberitahu detail kehidupan Truman adalah seorang presiden yang hampir buta.

Gus Dur tahu bahwa modal pengetahuan sekaligus humornya bisa menjadi instrumen diplomasi yang menguntungkan Indonesia. Dalam sejarah kenegaraan Indonesia, agaknya hanya Gus Gur dan Sukarno yang bisa dengan rileks membangun diplomasi antar negara dengan cara yang kocak sekaligus intelektual.

Kisah Gus Dur tentang Truman tak berhenti hanya menjadi humor politik. Menurut pengakuannya, ia memang mengagumi sosok presiden Amerika ke-33 yang mengendalikan negara adidaya itu menjelang usai Perang Dunia II hingga awal Perang Dingin.

Paradoks Mata Cacat dan Pembaca yang Tekun

Ada kesamaan yang bisa ditemukan antara Harry S. Truman (1884-1972) dan Abdurrahman Wahid (1940-2009). Pertama, Truman dilahirkan dengan kelainan atau cacat pada lensa matanya. Tak seperti kebanyakan orang, lensa mata Truman tidak cembung mengikuti bentuk bola mata, tetapi agak datar. Menurut diagnosis dokter, bila mengalami benturan atau guncangan keras, besar kemungkinan lensa matanya bakal lepas, dan ia berisiko buta.

Akibat cacat mata bawaan ini Truman kecil tak bebas bermain seperti anak-anak pada umumnya. Ia justru sibuk membaca, dan usia empat tahun ia sudah bisa membaca. Pada usia enam tahun ia menghabiskan banyak buku-buku sejarah, dan usia 10 tahun ibunya membelikan 4 jilid Great Men and Famous Women karangan Charles Francis Horne.

Ibunya, Martha Truman, selain menyediakan buku-buku sejarah, mengenalkan musik klasik lewat permainan piano sejak usia 10 tahun, lalu mengirim Truman untuk les privat. Ibu dan guru les musik menyaksikan bakat musikal Truman sehingga sempat berharap suatu hari nanti ia akan menjadi musisi klasik. Bertahun-tahun kemudian, dalam perjamuan malam antara Inggris, Uni Soviet dan AS, Truman memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan musikalnya sebagai instrumen diplomatik.

Hal ketiga yang sangat khas pada Truman adalah perbedaan pandangan agama antara keluarga ayah dan ibunya. Perbedaan ini semula tak menjadi persoalan ketika ayah dan ibunya menikah. Namun, saat mereka hendak menyekolahkan Truman, kedua keluarga ini berdebat tak kunjung henti akan dididik dalam pandangan agama apa si Truman kecil.

Karena tak ada kesepakatan, akhirnya Truman dididik dalam tradisi Kristen Prebisterian, dengan harapan saat besar nanti Truman bisa menjelaskan perbedaan paham keagamaan di antara kedua keluarganya karena menguasai tiga pandangan keagamaan dalam Kristen. Pendidikan agama yang diterapkan di keluarga inilah yang menjadikan Truman sebagai sosok pluralis dan bisa menerima perbedaan paham keagamaan di keluarga dan negerinya.

Menengok sosok Gus Dur, kita menemukan kesamaan Truman dalam dirinya. Sejak kecil Gus Dur memiliki kelainan penglihatan. Namun, kelainan ini tak menghalanginya menggilai buku bacaan sejak anak-anak.

Menurut pengakuan sang kiai yang menjadi presiden dan presiden yang juga kiai ini, ia bahkan menamatkan kitab Das Kapital sejak masih di sekolah menengah pertama. Itu belum menghitung kitab-kitab kuning yang telah akrab sejak kanak-kanak. Selain buku, ia juga menggilai musik klasik terutama karya Beethoven, komponis dari Jerman.

Pemahaman Gus Dur tentang latar belakang agama dan keyakinan yang berbeda-beda juga menjadi bagian integral dalam perjalanan hidup dan karier politiknya. Dididik dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, di masa SMP, ia dititipkan kepada seorang tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta, dititipkan kepada sahabat ayahnya yang berkebangsaan Belanda, lalu menjalin persahabatan dengan orang-orang dari pelbagai latar belakang agama dan keyakinan semasa di Mesir dan Irak.

Spirit Politik Wakil Kelas Bawah AS

Kekaguman Gus Dur pada sosok Harry S. Truman bukan hanya disebabkan beberapa kesamaan di antara keduanya. Gus Dur mengagumi sosok Truman, pertama-tama, karena ia menjadi satu di antara sangat sedikit presiden Amerika yang bukan berasal dari klan politik kuat dan kaya raya di AS.

Bila kita menelusuri sejarah kepemimpinan politik AS sejak era George Washington hingga Truman, sebagian besar di antara para presiden adalah keturunan tuan tanah, para ahli hukum, pemimpin politik atau pengusaha. Truman membobol catatan politik yang selalu didominasi kaum mapan tersebut. Ia hanya anak petani biasa dari Missouri, kawasan tengah AS. Latar belakang sosial inilah sering dijadikan olok-olokan oleh lawan politiknya dari para pewaris oligarki politik AS.

Kedua, kehidupan dan karier politik Truman tak ubahnya roller coaster. Sesudah menamatkan sekolah menengah dan bersiap kuliah, ayahnya bangkrut dalam usaha peternakan dan tak lama kemudian meninggal. Hilang kesempatan kuliah membuatnya memilih menjadi petani.

Dengan paduan kepolosan, kecemerlangan otak, dan nasib baik, Truman membangun karier politiknya secara pelan tapi pasti dari tingkat paling bawah. Itulah kenapa Alfred Steinberg, salah satu penulis biografinya, menyebut Truman sebagai satu di antara sangat sedikit pemimpin politik dalam sejarah AS yang memiliki catatan keberhasilan mengagumkan dalam menghadapi hujan bencana politik.

Kisah tentang karier politiknya bermula ketika ia sering berkumpul dengan para serdadu yang menjadi anak buahnya selama perang di Eropa. Lewat obrolan-obrolan kecil di toko pakaian yang ia dirikan, para mantan serdadu Perang Dunia I mendorong Truman terjun ke dunia politik mewakili daerahnya, Jackson County.

Ketika akan mendaftar sebagai hakim dari Jackson County itulah, pemimpin partai di wilayahnya memastikan tak memberi dukungan. Saingannya adalah pengusaha kaya raya yang disokong para petinggi Partai Demokrat di wilayah itu. Namun, ia tak mundur.

Berbekal loyalitas dari anak buahnya dan kedekatannya dengan rakyat biasa, ia berhasil mengandaskan saingan politiknya. Kisah tentang tiadanya dukungan dari para petinggi Partai Demokrat kembali ia alami saat empat tahun kemudian mencalonkan diri sebagai hakim di tingkat lebih tinggi, juga saat menjadi senator mewakili daerahnya.

Ketika presiden legendaris Franklin Delano Roosevelt tengah mencari wakil presiden dalam pemilu presiden, November 1944, lagi-lagi nama Truman tak masuk dalam daftar favorit meski popularitasnya melambung gara-gara keberhasilan Komite Truman.

Komite ini menyelidiki dugaan penyelewengan dan pemborosan anggaran negara ke industri perang sebesar 25 miliar dolar. Dengan jumlah anggaran yang sangat minim (100 ribu dolar), Truman dan Komite Kejujuran-nya berhasil menyelamatkan anggaran negara miliaran dolar.

Menggeser nama-nama politikus terkenal, Truman akhirnya dipilih untuk mendampingi Roosevelt (empat kali terpilih menjabat presiden). Perisiwa mengejutkan menyusul setelahnya. Roosevelt meninggal dan, sebagai akibatnya, Truman naik ke jabatan puncak politik sebagai presiden AS.

Peristiwa ini melahirkan olok-olok seru di beragam media bahwa petani sederhana dari Missouri menjadi presiden karena faktor kebetulan belaka. Bahkan, ketika ia akan maju sebagai calon presiden kembali pada 1948, salah satu petinggi Partai Demokrat mengatakan bahwa ia tak akan mungkin menduduki jabatan presiden untuk kali kedua.

Namun, kesulitan mendapat dukungan dari oligarki politik justru berbanding terbalik dengan relatif lebih mudahnya ia menerima simpati dari rakyat biasa. Truman melakukan perjalanan keliling dari stasiun ke stasiun, dan membangun komitmen untuk menjadi presiden bagi semua warga AS. Dari hanya puluhan orang yang menyambutnya, menjelang konvensi Partai Demokrat untuk menentukan calon presiden, hampir sekitar satu juta orang menunjukkan dukungan kepada Truman dengan cara menunggunya di stasiun terakhir.

Etika Politik Truman

Bila membaca biografi politik Harry S.Truman, ada tiga hal lain yang kentara menjadi etika politik Truman: Kesetiaan, kejujuran, dan keyakinannya menjadi presiden untuk semua orang.

Kisah tentang kesetiaan Truman bermula dari caranya memperlakukan para prajurit bawahannya di medan Perang Dunia I. Kesetiaan ini berlanjut selama ia terjun ke dunia politik.

Keyakinannya menjadi presiden bagi semua orang AS ditempa sewaktu menjabat hakim di Jackson County. Ia memastikan Jackson County sebagai salah satu pembayar pajak paling taat di Missouri. Ia bersikeras agar program-program pembangunan kota dan wilayah bisa dinikmati semua penduduk.

Saat menjadi senator, dengan mengetuai “Komite Truman”, ia membatasi potensi penyelewengan anggaran negara yang hanya menguntungkan segelintir elite politik, militer, dan para pengusaha besar.

Siasat Politik Gus Dur

Kita kembali pada cerita Gus Dur. Karier politik Gus Dur tak jauh beda dengan roller coaster. Ia membangun karier politiknya di bawah penindasan rezim Soeharto.

Sebagian dari retorika perjuangan politiknya ditulis dengan menyalin retorika Orde Baru tetapi substansinya merongrong kekuasaan rezim militer tersebut. Ia memainkan politik pluralisme, ideologi tunggal Pancasila, dekat dengan kalangan minoritas, dan membangun basis masyarakat sipil secara perlahan.

Sejak 1980-an hingga akhir hayatnya, Gus Dur mengalami penjegalan demi penjegalan. Sebut saja peristiwa Cipasung 1994, pecah-belah kekuatan sipil yang dibangun Gus Dur dan sejawatnya sebagai front perlawanan perkotaan terhadap rezim militer, pembunuhan sistematis para kiai di Jawa sesudah Soeharto mundur, dan sebagainya.

Bila ada peristiwa lain yang sebangun antara Gus Dur dan Truman, keduanya terus berseteru dengan legislatif. Gus Dur dengan DPR. Truman dengan Kongres. Gus Dur menyebut DPR seperti Taman Kanak-Kanak. Truman, karena kesal program kerjanya bagi kesejahteraan rakyat terus dijegal Kongres, menyebut Kongres sebagai “Kongres paling buruk” dalam sejarah politik Amerika.

Perbedaan mencolok: DPR berhasil menjungkalkan Gus Dur lewat main mata antara para pendukung Orde Baru, tentara, Amien Rais, dan Megawati; sementara Kongres berhasil dipaksa Truman dan rakyat yang memilihya untuk mengegolkan program-program kerakyatan Truman.

Terlepas dari perbedaan di palagan penutupan karier politik keduanya, kita bisa melihat bahwa baik Gus Dur dan Truman memiliki visi dan langkah konkret membereskan negara. Gus Dur, dengan keterbatasan fisiknya, melakukan lawatan ke puluhan negara untuk meyakinkan dunia internasional terhadap Indonesia yang dilanda kekerasan komunal pasca-Soeharto. Truman, dengan keterbatasan visual, disebut Alden Whitman di New York Times sebagai “presiden menentukan” dalam situasi politik dan ekonomi pasca-Perang Dunia II.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.