Menuju konten utama

Pangeran Saud al-Faisal: Wajah Saudi di Hadapan Dunia

Berkarir sebagai menteri luar negeri Arab Saudi selama 40 tahun, Pangeran Saud al-Faisal menjadi salah satu aktor kunci dalam politik luar negeri Arab Saudi.

Pangeran Saud al-Faisal: Wajah Saudi di Hadapan Dunia
Saud al Faisal. Foto/Brendan Smialowski.

tirto.id - Cerdas, berwawasan luas, pekerja keras dan memiliki pengalaman yang luas. Begitulah pujian mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry kepada Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal. Saat sang pangeran mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri luar negeri, setelah menjabat selama 40 tahun. Bagi Kerry, Pangeran al-Faisal tidak hanya menteri luar negeri terlama di dunia tetapi juga yang paling bijaksana.

“Saya pribadi sangat mengaguminya, menghargai persahabatan dan menghargai nasihat [Pangeran Saud al-Faisal] yang bijaksana. Warisannya sebagai seorang negarawan dan diplomatik tidak akan dilupakan,” kata Kerry, seperti dikutip The Independent.

Pangeran Saud al-Faisal di angkat menjadi menteri luar negeri Arab Saudi pada Maret 1975. Ia mengundurkan diri pada 29 April 2015 karena alasan kesehatan. Posisinya kemudian diganti oleh Adel al-Jubeir, mantan duta besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat.

Selama menjabat sebagai menteri luar negeri, hampir semua kebijakan politik Arab Saudi tak lepas dari campur tangannya. Ia menjadi pemain penting dalam pemerintahan empat raja Arab Saudi, Raja Khalid, Raja Fahd, Raja Abdullah dan Raja Salman.

Bersama empat raja tersebut, ia berusaha mempertahankan pengaruh Arab Saudi di dunia dan membentuk respon terhadap krisis yang mencengkeram Timur Tengah. Selama menjalankan tugasnya sebagai menteri luar negeri, ia juga menjadi teman bicara dari tujuh presiden Amerika Serikat.

Kebijakan Sang Pangeran

Masa jabatan Pangeran al-Faisal dipenuhi berbagai konflik dan krisis. Salah satu peran penting Pangeran Saud al-Faisal adalah menambal hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat yang tegang terkait Serangan 9/11 yang menewaskan ribuan orang di Amerika Serikat.

Ketegangan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat terjadi karena 15 dari 19 pembajak kapal dalam serangan 9/11 berasal dari Arab Saudi. Peter L. Hahn dalam bukunya berjudul Historical Dictionary of United States-Middle East Relations mengungkapkan bahwa Pangeran al-Faisal harus bekerja keras untuk menekan terorisme dan memperbaiki citra Arab Saudi.

Serangan 9/11 memperburuk citra negara Islam tersebut di mata internasional. Dalam pidato publiknya tahun 2004 di Pusat Kebijakan Eropa di Brussels, Pangeran al-Faisal menekankan bahwa Islam bukanlah musuh.

“Anda tak bisa mengabaikan budaya dan peradaban 1.400 tahun hanya dengan stigma [Islam] sebagai tempat menetasnya terorisme.” tegasnya, seperti dikutip The Telegraph.

Pangeran al-Faisal juga berperan dalam upaya Arab Saudi untuk mengurangi pengaruh Iran di tingkat regional, termasuk konflik yang terus berlanjut di Suriah. Arab Saudi berperan dalam mendukung beberapa kelompok pemberontak dan mempersenjatai lawan presiden Bashar al-Assad pada 2012.

Pangeran Saud al-Faisal juga pernah terlibat dalam perang Irak-Iran pada 1980-an. Ia cukup berhati-hati dalam mendukung Saddam Hussein dalam upaya untuk melawan Iran. Di saat yang sama, al-Faisal menegaskan bahwa negaranya berada di belakang AS dan Inggris dalam upaya mengalahkan Uni Soviet di Afghanistan.

Sang pangeran juga terlibat ikut terlibat ketika Saddam Hussein menginvasi Kuwait tahun 1990. Pangeran Saud al-Faisal berdiri paling depan menentang tindakan Saddam Hussein tersebut, meski pada perang Irak-Iran ia berada di kubu Saddam Hussein. Namun, ketika negara Saddan Hussein diinvasi Amerika tahun 2003, Pangeran al-Faisal memperingati terkait ketidakstabilan kawasan akibat invasi tersebut.

“Jika perubahan rezim dilakukan dengan menghancurkan Irak, maka Anda memecahkan satu masalah dan menciptakan lima masalah lagi,” kata Pangeran Saud al-Faisal dalam sebuah wawancara dengan televisi Inggris.

Infografik Mengenal Arab Saudi

Gagal di Palestina

Pada 2002, Pangeran al-Faisal meluncurkan inisiatif kebijakan luar negeri terbesar di masa Raja Abdullah, yakni rencana Arab Saudi untuk mendamaikan Israel dan Palestina. Sang pangeran menawarkan pengakuan Arab terhadap Israel dengan imbalan pembentukan negara Palestina di wilayah yang diduduki Israel sejak 1967. Namun, tawaran yang disampaikan oleh sang pangeran tak digubris oleh Israel.

Hingga 2010, dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle, kedua negara menyerukan agar Israel dan Palestina untuk kembali ke meja perundingan. Pangeran Al Faisal dan Westerwelle juga mendesak Israel untuk menghentikan pembangunan permukiman Yahudi. Namun, Israel tetap bergeming.

Hingga berhenti menjadi menteri luar negeri, konflik Palestina-Israel belum terselesaikan. Kegagalan Pangeran Saud al-Faisal dalam mendamaikan Israel dan Palestina dinilai sebagai kegagalan terbesar dalam karirnya.

Kepada The New York Times, Pangeran meluapkan kekecewaannya. Ia mengatakan bahwa warisan hasil kerjanya lebih merupakan kekecewaan daripada keberhasilan, sebab masa kepemimpinannya gagal menghasilkan sebuah negara Palestina.

Selama kariernya, ia telah menjadi suara dari Timur Tengah dalam forum internasional terkait isu-isu global dan kawasan. Raja Saud al-Faisal menggunakan diplomasi belakang layar serta kekayaan minyaknya untuk menyebar pengaruh. Namun, kedekatan Arab Saudi dan Amerika Serikat dinilai menjadi salah satu penghalang upaya Arab Saudi dalam menciptakan perdamaian Palestina-Israel.

“Ketika mengevaluasi 35 tahun sebagai menteri luar negeri, dari hari pertama sampai hari ini, apa yang telah dicapai untuk perjuangan Palestina? Tidak ada,” kata pakar Hubungan Internasional di Ahram Center for Politics and Strategic Studies Cairo, Emad Gad, kepada The New York Times tahun 2009.

Tetap Dikenang Dunia

Pangeran Saud al-Faisal meninggal dunia pada 9 Juli 2015, di Los Angeles, Amerika Serikat dalam usia 75 tahun. Amman dan Bahrain menetapkan hari berkabung selama 40 hari, sedangkan Mesir menetapkan tujuh hari berkabung. Qatar, UAE, Oman, Aljazair, Libya, Tunisia dan negara Islam lainnya menetapkan tiga hari berkabung.

''Arab dan Dunia Arab kehilangan seorang pemimpin besar dan sejarah kepemimpinan yang mana tanpa ragu-ragu mengabdikan diri pada negaranya sampai akhir hayatnya,'' kata Raja Hamad bin Essa al-Khalifa dari Bahrain, seperti dikutip Al Jazeera.

Ketua Liga Arab Nabil al-Arabi mengungkapkan duka citanya dengan menyebut Pangeran Saud, "negarawan terpandang", sedangkan Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius melukiskannya sebagai diplomat utama yang bekerja tanpa lelah untuk perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.

Penulis Saudi Arabia and the Politics of Dissent, Mamoun Fandy mengungkapkan bahwa sejarah kebijakan luar negeri Arab Saudi adalah al-Faisal. “Ini bagaimana dunia mengetahui Arab Saudi melalui al-Faisal,” kata Fandy.

Baca juga artikel terkait PANGERAN ARAB SAUDI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Humaniora
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani