Menuju konten utama

Panen Sejuta Penonton di 2016

Bioskop-bioskop Indonesia mulai semarak, tidak hanya oleh film Hollywod, tapi juga oleh film-film Indonesia. Animo masyarakat untuk menyaksikan film Indonesia tampak mulai tumbuh. Kita dapat menyaksikannya dari keberhasilan tujuh film Indonesia menembus angka sejuta penonton. Bagaimana hal ini harus disikapi?

Panen Sejuta Penonton di 2016
Indonesia film Box Office. [Foto kolase/TF Subarkah/Poster Film/www.movie.co.id]

tirto.id - Sebanyak tujuh film Indonesia mampu menembus angka sejuta penonton pada 2016. Ketujuh film itu adalah London Love Story (1.124.876 penonton), I Love You from 38.000 Feet (1.134.899 ), Koala Kumal (1.402.096 ), Rudy Habibie (1.631.407 ), Comic 8: Kasino Kings (1.835.644 ), dan My Stupid Boss (3.048.437 ). Film terlaris (sementara) di tahun ini diduduki oleh Ada Apa Dengan Cinta 2 dengan 3.665.509 penonton. Rekor tujuh film sejuta penonton ini tentu saja masih bisa dipertajam, mengingat 2016 masih berjalan separuhnya.

Berdasarkan catatan filmindonesia.or.id, fenomena tujuh film sejuta penonton ini baru pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebelumnya, rekor film Indonesia terbanyak dalam menembus sejuta penonton terjadi pada tahun 2009 lewat enam judul film. Bioskop Indonesia saat itu dihiasi oleh keberhasilan judul-judul seperti Air Terjun Pengantin (1.060.058 ), Get Married 2 ( 1.199.161 ), Garuda Di Dadaku (1.371.131 ), Ketika Cinta Bertasbih 2 (1.494.739 ), Sang Pemimpi (2.005.660), dan Ketika Cinta Bertasbih part 1 ( 2.105.192).

Kita patut mensyukuri keberhasilan tujuh film sejuta penonton ini. Di satu sisi, kita patut menepuk dada, karena film Indonesia disebut-sebut mampu menyaingi perolehan penonton film-film Hollywood. Selama ini, seretnya perolehan penonton Indonesia selalu dikaitkan dengan gempuran film Hollywood. Penonton Indonesia cenderung memilih menonton film Hollywood karena kualitas filmnya lebih baik daripada film Indonesia. Akhirnya, pasar penonton Indonesia terserap ke film-film Hollywood dan tidak mengacuhkan film negeri sendiri.

Asumsi di atas tentu saja masih harus dipertanyakan kembali. Data filmindonesia.or.id mencatat, pada 2011, stok film Hollywood yang masuk ke Indonesia sempat terhenti. Motion Pictures Association (MPA) – lembaga yang mengatur distribusi film Hollywood di Indonesia-- memilih untuk menghentikan distribusi film-filmnya. Hal ini disebabkan karena MPA dan pemerintah tidak menemui kesepakatan terkait besaran pajak film impor. Di saat yang sama, tiga importir film yang tergabung dalam MPA masih memiliki tunggakan pajak terbesar impor dan masih diproses di Pengadilan Pajak.

Data filmindonesia.or.id menunjukkan, saat film Hollywood absen dari layar bioskop kita, jumlah penonton film lokal tidak serta-merta meningkat. Ketiadaan pesaing bukan berarti film Indonesia meraja. Saat Hollywood berhenti menyetor film, film Indonesia tidak ada yang berhasil menembus sejuta penonton. Tahun 2011 bahkan tercatat sebagai tahun tanpa film sejuta penonton pertama dalam kurun waktu 2007-2016.

Film lokal terlaris pada 2011 adalah Surat Kecil Untuk Tuhan yang hanya membukukan 748.842 penonton dan Arwah Goyang Karawang (727.540 ). Sebagai perbandingan, setahun sebelumnya, film Sang Pencerah (dirilis September 2010) masih sanggup mencatatkan 1.206.000 penonton meskipun dikepung oleh film-film sekelas Harry Potter and The Deathly Hallows part 1 (rilis November 2010) dan Inception (rilis Juli 2010).

Sementara itu, pada 2012, Habibie & Ainun (rilis Desember 2012) bahkan berhasil membukukan 4.529.633 penonton meskipun ditempel oleh peluncuran James Bond: Skyfall (November 2012) dan The Hobbit (Desember 2012). Habibie & Ainun akhirnya menjadi film terlaris kedua sepanjang sejarah perfilman Indonesia dan hanya kalah dari Laskar Pelangi (4.631.481). Hal itu menunjukkan, absennya film Hollywood tidak serta merta berhasil membujuk penonton Indonesia untuk menonton film lokal. Film lokal juga tidak sepenuhnya kalah kuat dibandingkan film luar.

Lantas, resep apakah yang bisa menentukan laris tidaknya sebuah film?

Beberapa asumsi bisa saja diapungkan. Pertama, film yang cenderung sukses secara komersial rata-rata merupakan adaptasi dari buku yang sebelumnya sudah laku. Hal ini terlihat dari fakta bahwa dari sepuluh film terlaris Indonesia versi filmindonesia.or.id, delapan di antaranya merupakan adaptasi dari buku best-seller.

Kedelapan film tersebut antara lain: Laskar Pelangi (terlaris no.1), Habibie & Ainun (2), Ayat-Ayat Cinta (4), My Stupid Boss (5), Eiffel I'm In Love (7), 5 Cm (8), Ketika Cinta Bertasbih (9) dan Sang Pemimpi (10). Praktis hanya Ada Apa Dengan Cinta 1 (nomor 6) dan 2 (nomor 3) yang tidak bersumber dari karya adaptasi. Lima dari tujuh film terlaris 2016 juga merupakan adaptasi dari buku, yaitu London Love Story, I Love You From 38.000 Feet, Rudy Habibie, Koala Kumal, dan My Stupid Boss. Film-film yang berasal dari adaptasi buku cenderung menikmati popularitas akibat sebelumnya telah dikenal masyarakat. Faktor ini tentu saja sangat berperan sebagai modal promosi awal.

Kedua, faktor promosi juga menjadi kunci keberhasilan sebuah film. Ada Apa Dengan Cinta 1 dan 2 merupakan contoh yang paling gamblang dari strategi ini. Menjelang perilisannya pada 2002 lalu, tim AADC 1 melakukan promosi besar-besaran lewat iklan di televisi. Peluncuran AADC 1 juga disertai perilisan album “soundtrack” karya Melly Goeslaw. Album ini menurut muvila.com terjual sebanyak 700 ribu copy.

Sementara itu, sekuelnya, AADC 2 yang dirilis awal 2016, memperluas lingkup promosi mereka saat para pemeran utamanya membintangi berbagai iklan produk populer seperti Aqua dan aplikasi pesan online Line. Iklan Line versi AADC 2 bahkan terhitung sebagai strategi promosi yang unik karena berhasil “membangkitkan” kembali kenangan atas AADC 1 sekaligus memperluas promosi AADC kepada generasi milenial yang belum lahir saat AADC 1 dirilis. Iklan Line versi AADC berhasil diputar sebanyak 6.507.944 kali di Youtube.

Faktor ketiga adalah pemilihan momentum perilisan film. Beberapa film Indonesia yang berstatus terlaris ternyata dirilis tidak bertepatan dengan film-film box office Hollywood. Habibie & Ainun contohnya. Film ini dirilis pada akhir tahun (Desember 2012) kemungkinan untuk menghindari bentrok dengan jadwal tayang film-film seperti The Hunger Games (Maret 2012), Dark Knight Rises (Juli 2012) dan The Avengers (Mei 2012) yang harus baku bunuh memperebutkan penonton di pertengahan tahun.

Di sisi lain, ada juga film yang cukup pede untuk rilis di tengah gempuran film Hollywood. AADC 2 contohnya. Film ini dirilis pada akhir April 2016, hampir berbarengan dengan Captain America: Civil War (Mei 2016), Batman v Superman (Maret 2016), dan The Jungle Book (pertengahan April 2016). Meskipun dikepung jagoan Hollywood, AADC 2 berhasil menembus tiga juta penonton.

Perilisan film saat hari libur juga menjadi salah satu opsi. Strategi ini mengadopsi metode yang dilakukan oleh rumah produksi di Hollywood. Mereka mengenal beberapa waktu favorit untuk merilis film “box-office”. Beberapa momen yang lazim digunakan Hollywood untuk merilis film-film mereka antara lain saat musim panas (sekitar Mei-Agustus). Libur Natal (Desember), musim gugur (Maret atau April, menjelang Paskah), dan musim dingin (Februari/Maret).

Di Indonesia, momentum langganan untuk merilis film adalah saat libur Lebaran. Terbukti, tiga film sejuta penonton pada 2016 dirilis pada momentum libur Lebaran: Koala Kumal, I Love You From 38.000 Feet, dan Rudy Habibie. Dua film lain yang dirilis pada Ramadan juga berhasil meraup penonton dengan jumlah penonton relatif memuaskan: Sabtu Bersama Bapak (545.969) dan Jilbab Traveler (219.979).

Tahun 2016 baru berlangsung setengah jalan. Peluang untuk menambah daftar film sejuta penonton tentu saja masih terbuka lebar. Tapi tentu saja harus dengan film yang berkualitas dan strategi pemasaran yang jitu.

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Film
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti