tirto.id - Saya selalu kagum dengan Rio Tantomo.
Tentang kepenulisan, tentu. Dia adalah penulis musik yang sudah malang melintang nyaris selama 15 tahun. Namun bukan itu yang saya maksud kali ini. Yang bikin saya kagum adalah: sebagai seorang pria usia 37 tahun, staminanya terlalu prima ketika menghadiri festival musik.
Saya sering bersirobok dengan Tantomo —panggilan akrab untuk membedakannya dengan Rio yang lain— di festival dengan wajah girang. Wajah-wajah yang dihasilkan dari campuran terlalu banyak alkohol sejak sebelum petang, dengan musik yang selalu membuatnya bersemangat seperti anak SMP yang sedang jatuh cinta dengan rock.
Tak perlu waktu lama, biasanya akan ada saja orang yang memberi kabar.
“Tantomo semaput tuh di sana.”
Herannya, sejam kemudian, saya bisa melihatnya berada di depan panggung, dengan senyum lebar dan bernyanyi-nyanyi —atau berteriak, tergantung jumlah alkohol yang ia tenggak usai bangun dari pingsan. Kadang saya berpikir Tantomo punya doppelgänger, teori yang tak pernah terbukti sampai sekarang.
Saya melihat Tantomo sebagai perpaduan masyuk antara Sisifus dan Dionysus. Ia mengulangi hal-hal menyenangkan yang sebenarnya membuatnya susah (tak terhitung ia kena bogem mentah gara-gara hilang kontrol), tapi sekaligus merasa membuatnya punya tujuan hidup. Dan ia mengulanginya lagi, lagi, dan lagi. Seperti di Synchronize Festival yang diadakan pada 7-9 Oktober kemarin, misalnya.
“Tantomo ngomel-ngomel tuh, udah mabuk kayaknya,” kata seorang kawan geleng-geleng kepala.
Ini masih sore, baru lepas dari Maghrib. Sekitar tiga jam kemudian, teman lain laporan.
“Tantomo udah ambruk tuh, tidur di dekat panggung.”
Saya cekikikan.
Dan betapa kagetnya ketika tak lama kemudian saya melihatnya di depan panggung XYZ, ikut bernyanyi lagu-lagu The Sastro.
Tantomo tampak segar. Rambutnya setengah basah, mukanya terlihat seperti baru dibasuh air. Ia di depan panggung, berdiri dengan ajeg, tanpa goyang, dan tak ada sedikitpun tanda-tanda masuk angin. Saya memerhatikannya terus, selagi The Sastro menyanyikan “Rasuna”, sebuah kisah tentang orang linglung karena cinta yang kandas.
Saya mengamati gerak bibir Tantomo. Untuk orang yang baru bangun dari mabuk, ingatannya apik. Ia melantunkan “Rasuna” nyaris sempurna. Dengan tawa getir. Mungkin mengingatkan ia pada kisah-kisah patah hatinya di masa lampau. Atau memikirkan dari mana pasokan anggur usai panggung The Sastro ini.
Ku hanya berbicara sendiri
Bicara dan tak kembali
Menebar racun di hati
Masihkah tersesat dalam tawa
Ke mana angin menerpa?
Terhempas menjelang kau tiba
“Tantomo goblok!” maki saya usai “Rasuna” usai dibawakan.
Ia mendengar teriakan saya, dan mengacungkan jari tengah sambil terkekeh.
Tantomo, pria 37 tahun yang selalu punya spirit bersenang-senang ala remaja 20 tahunan itu, tak pernah mengeluh jompo dan merasa badan linu-linu ketika nonton konser dan festival musik. Padahal ia menghajar tubuh —juga lambung dan livernya— dengan penuh totalitas. Kemudian saya iseng berpikir: apa jangan-jangan alkohol membuat kita kuat menghadapi festival musik selama berhari-hari dan tak merasakan pegal di betis dan sekujur tubuh?
Namun pikiran itu saya tepis jauh-jauh.
Saya jelas bukan Tantomo yang sudah berpengalaman dalam menangani alkohol. Seluruh badannya sudah berjalan secara otomatis, tahu apa yang harus dilakukan ketika tetes pertama masuk lewat tenggorokan. Karena itu pula, tak butuh waktu lama baginya untuk bangkit ketika tubuhnya minta istirahat sejenak —sebelum dihajar alkohol lagi.
Dengan kata lain, Tantomo adalah anomali.
Yang umum terjadi adalah, banyak penonton festival musik yang berusia 30 ke atas, termasuk saya yang usianya hanya tiga tahun di bawah Tantomo, pasti merasakan pegal linu ketika/ dan setelah nonton festival. Dalam festival musik yang punya banyak panggung dan penampil, jalan kaki dan berdiri itu adalah hal yang paling sering dilakukan.
Dari panggung A, harus pindah ke panggung B untuk menonton musisi lain. Lalu cari makan. Kemudian ke toilet. Lantas pindah lagi cari panggung yang jaraknya agak jauh untuk menonton musisi obscure yang punya banyak penggemar fanatik. Begitu saja terus, dan itu dilakukan bisa sampai tiga hari berturut-turut.
Maka tak heran kalau selesai festival, para penonton usia 30-an ke atas ini merasakan hal-hal serupa: pegal linu, linglung, masuk angin, badan lungkrah, dan memaki-maki karena besok sudah Senin dan harus bekerja --yang gajinya akan dipakai untuk membeli tiket festival musik lagi.
Saya kemudian mengajak ngobrol beberapa orang kawan soal bagaimana menghindari efek post-festival dan bagaimana menonton festival musik dengan nyaman. Dari obrolan itu, saya menarik kesimpulan:
1. Tantomo bukan manusia kebanyakan.
2. Persiapan adalah segalanya.
Kenapa saya membuat tulisan ini? Alasan personal, saya adalah bagian dari demografi penonton festival yang berusia 30 tahun ke atas, beberapa kali merasakan efek post-festival, dan sempat kelelahan parah setelah menonton dua festival dalam rentang dua minggu.
Apalagi mengingat demografi penonton festival yang berusia di atas 30 tahun cukup besar. Dari data yang dirilis oleh Synchronize Festival, jumlah penonton terbesar mereka adalah mereka yang berusia 25-34 tahun. Jumlahnya lebih dari 45 persen. Data ini serupa dengan yang pernah dirilis oleh Eventbrite: rata-rata usia penonton festival adalah 32 tahun.
Sedangkan data dari YouGov malah lebih menarik: responden mereka yang berusia 30-44 tahun adalah yang paling reguler menonton festival.
Iya, Persiapan Adalah Kunci
Joseph Sudiro, pemain bass Vox dan seorang pekerja korporat, adalah salah satu orang yang rela pergi jauh untuk menonton festival musik. Dia beberapa kali pergi ke Fuji Rock di Jepang, hingga ke festival yang dianggap sebagai tujuan suci para festivalgoers: Glastonbury di Inggris.
Baginya, persiapan itu penting. Bukan hanya untuk menghindari efek post-festival berlebihan, tapi juga agar lebih nyaman ketika menonton. Ini sudah dimulai dari sejak sebelum berangkat ke sebuah festival. Misal: memeriksa ramalan cuaca.
Dalam sebuah obrolan di Jalan Madrasah tiga tahun lalu, Joseph bercerita soal pengalamannya menonton Fuji Rock. Sejak dari Indonesia, dia sudah riset soal cuaca, tempat untuk kemping, yang pada akhirnya akan menentukan apa yang akan dia bawa. Agar lebih nyaman kemping, dia membeli tenda kualitas wahid.
"Jadi sekalian beli yang bagus, bisa dipakai untuk festival lain yang pakai konsep serupa," ujar pria yang pernah punya band bernama Jelly ini.
Selain itu Joseph punya beberapa tips lain.
"Banyak minum. Lalu pakai sepatu, jangan pakai sandal."
Menurut Joseph, yang menasbihkan Glastonbury 2017 sebagai festival paling berkesan, masuk angin itu hal umum, apalagi di negara tropis. Hal itu bisa dihindari dengan minum suplemen masuk angin yang banyak tersedia di mana-mana.
"Dan minum alkohol juga," ujarnya tertawa.
Sedangkan Benji, seorang kolega yang juga doyan nonton konser dan festival, punya saran serupa. Untuk melawan pegel linu, koyo adalah kuncinya. Namun ia juga menekankan pentingnya latihan fisik ringan setiap hari, agar otot tak kaget ketika harus kerja keras di hari festival. Benji juga menekankan ke pentingnya selektif menonton penampil. Menurutnya, tahu siapa yang harus ditonton akan membantu kita menghemat tenaga.
"Jadi tentuin mau nonton siapa saja, gak usah nyesal kalau kelewatan penampilan si ini-itu," kata Benji.
Fifa Chazali, yang juga rutin menonton festival, turut punya tips. Menurutnya, pandemi selama dua tahun cukup berpengaruh dengan kondisi fisik.
"Jadi sebulan sebelum festival musik, aku senam-senam tipis. Juga latihan resistance dan jalan kaki. Ini ngaruh banget. Staminaku jadi lebih baik dan gak drop, bahkan setelah nonton tiga hari berturut-turut," ujar Fifa.
Fifa juga memberi banyak tips berguna, terutama untuk penonton perempuan. Misalkan memeriksa kalender menstruasi. Ini penting untuk persiapan apa yang harus dibawa. Lalu Fifa juga memakai tank top dan kamisol sebagai dalaman, dengan bahan yang adem dan menyerap keringat. Tak hanya itu, Fifa juga selalu membawa powerbank, bawa topi untuk menahan angin, minum air banyak-banyak, hingga tidak boleh menahan pipis.
"Selain itu juga pakai make up seringan mungkin. Yang penting sun screen, tinted moisturizer, bedak sedikit, dan setting spray yang banyak supaya muka gak kusem," tutur perempuan yang tinggal di Bandung ini.
Pada dasarnya, apa-apa yang mereka sebutkan ini adalah sebuah tips umum bagi para penonton festival. Saya juga sedikit banyak, sejak 2019, selalu membawa persediaan obat ketika pergi ke festival. Suplemen menolak angin, itu sudah tentu. Obat sakit kepala, obat maag, hingga obat penyetop diare, itu selalu ada dalam tas.
Persiapan pra festival, seperti apa yang dibilang Joseph dan Benji, itu juga vital. Riset cuaca, bagaimana kondisi lokasinya, dan tahu siapa yang akan kita tonton itu sebaiknya dilakukan sebelum berangkat.
Saya beberapa kali membaca berita tentang para penonton yang salah kostum ketika menonton sebuah festival alam bebas di Bandung. Dengan kondisi lokasi yang becek --apalagi festival diadakan di musim hujan-- alangkah tak bijak kalau tak membawa jas hujan, juga tidak memakai alas kaki yang proper.
Sedangkan selektif terhadap siapa yang mau kita tonton itu langkah penting untuk hemat tenaga. Apalagi mengingat hukum festival yang menghadirkan banyak penampil di banyak panggung, maka mau tak mau kita diharuskan memilih.
Beberapa kawan memilih bintang tamu yang jarang manggung dan tidak tahu lagi kapan akan manggung. Itu kenapa saya dan beberapa kawan di Synchronize Festival, misalnya, mewajibkan nonton Dara Puspita yang sudah 52 tahun tak pernah manggung bareng, dan kita semua tidak akan tahu kapan mereka akan manggung lagi dalam waktu dekat.
Sedangkan yang lain punya prefensi berbeda: ada yang suka dangdut, ada yang memilih bintang tamu yang menjanjikan penampilan menghebohkan, ada yang ingin bermesraan, ada juga yang penasaran dengan konsep reunian. Silakan memilih dan menyeleksi sesuai kata hati.
Ini masih bulan Oktober. Dalam catatan saya, masih akan ada banyak konser dan festival hingga akhir tahun. Maka betul belaka, sedikit mengubah sebuah dialog legendaris: persiapan adalah kunci bagi kita yang sudah di atas 30 tahun.
Sebab kita semua bukan Rio Tantomo.
Editor: Lilin Rosa Santi