tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PAN Sarifuddin Suding mengatakan kebijakan Menkumham Yasonna Laoly membebaskan napi dengan alasan mencegah pandemi Covid-19 di lapas dan rutan memang tidak dikaji matang. Kebijakan ini "lebih cenderung transaksional," katanya.
Lewat keterangan tertulis, Senin (27/4/2020) pagi, ia juga mengatakan kebijakan ini hanya mempertimbangkan rekomendasi PBB "tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang akan ditimbulkan di saat situasi ekonomi dan lapangan pekerjaan yang sangat sulit seperti saat ini."
Dampak sosial yang dimaksud adalah beberapa napi yang dibebaskan kembali bertindak kriminal. Salah satunya seorang napi asimilasi Lapas Kelas IIA Pontianak berinisial GR berusia 23 tahun. Ia kedapatan mencuri ponsel.
Lalu ada pula kasus pembobolan mini market di Duren Sawit, Jakarta Timur yang dilakukan empat tersangka, salah satunya merupakan eks napi yang mengikuti program asimilasi. Residivis berinisial AR (42) tersebut tewas ditembak polisi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, empat hari setelah membobol mini market.
Mabes Polri mencatat total ada 39 napi yang dibebaskan kembali berulah. Karena jumlahnya sangat sedikit dibanding 38 ribu lebih yang dibebaskan, polisi meminta kasus-kasus para residivis tak perlu dibesar-besarkan.
Tapi Sarifuddin punya pendapat lain. Menurutnya bagaimanapun kebijakan ini "menimbulkan keresahan" di masyarakat dan pembuatnya patut dipermasalahkan. Karena itulah Sarifuddin mendukung gugatan LSM terhadap Yasonna.
"Gugatan tersebut patut dihargai dan dihormati," katanya menegaskan.
Yasonna digugat ke Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, oleh LSM bernama Yayasan Mega Bintang, Masyarakat Anti Ketidak-adilan Independen (MAKI), dan Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum (LP3H).
Gugatan ini konteksnya lokal, bukan nasional. Para penggugat beralasan Yasonna bersalah karena lewat Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020, ia membuat tingkat kejahatan di daerah itu meningkat, sebab para napi keluar dan tak diawasi.
Kepala Rutan Solo juga digugat karena telah melepaskan napi yang diduga tidak memenuhi syarat program asimilasi. Karutan Solo juga dianggap tidak melakukan pengawasan kepada seluruh napi sehingga kembali berbuat jahat.
LSM-LSM ini menilai kebijakan Yasonna membuat masyarakat menghadapi dua masalah sekaligus: pandemi COVID-19 dan kriminalitas.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino