tirto.id - “Palestina dihilangkan dari Google Maps!”
“#PalestineIsHere”
Kalimat seru dan tagar itu ramai di Twitter dan Facebook. Postingan tentang hilangnya Palestina viral, berawal dari seruan Forum of Palestinian Journalists yang pada 3 Agustus lalu memprotes tak adanya Palestina di Google Maps.
Mereka menyebut penghilangan label Palestina sebagai kejahatan. Google dituntut untuk mengembalikan label Palestina dan meminta maaf pada rakyatnya. Petisi dari seseorang bernama Zak Martin yang diajukan sejak Maret—isinya menuntut Google menandai Palestina dalam Maps—kembali dibagi-bagikan. Penandatangan petisi “GOOGLE: Put Palestine On Your Maps!” itu sekarang mencapai 312 ribu.
Media-media mainstream pun ikut memberitakannya, termasuk lini multimedia Aljazeera, AJ+, sampai kemudian media ini meralatnya pada 10 Agustus:
“Internet, termasuk AJ+, keliru menangkap cerita ini: Google tak menghilangkan Palestina dari Maps. Palestina memang tak pernah ada di sana.”
Palestina memang tak ada pada Google Maps di 25 Juli, tanggal yang disebut forum jurnalis Palestina sebagai titimangsa penghilangan label Palestina. Tapi, lima bulan, setahun, bahkan dua tahun sebelumnya pun ia memang tak ada.
“Tidak pernah ada label 'Palestina' pada Google Maps, tetapi kami memang mendapati ada bug yang menghilangkan label 'Tepi Barat' dan 'Jalur Gaza'. Kami bekerja dengan segera agar label-label ini kembali ke area itu,” demikian keterangan Google pada AJ+.
Anda bisa mencoba mengetik daerah di bawah kekuasaan Palestina, misalnya kota Ramallah atau Nablus, dan Anda akan mendapati bahwa daerah-daerah di Tepi Barat itu—juga Jalur Gaza—diberi informasi sebagai wilayah “Palestinian.” Selama ini, Google memberi garis putus-putus di sekeliling wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai pertanda kota-kota di dalamnya merupakan daerah sengketa.
Di sisi lain, meski kemarahan netizen berlebihan sekaligus keliru, kasus ini memunculkan pertanyaan menarik soal kuasa teknologi peta digital. Kritikus budaya digital Caitlin Dewey mengemukakan itu dalam artikelnya "Google Maps did not ‘delete’ Palestine — but it does impact how you see it," di Washingtonpost.com.
“Dalam upaya mereka untuk mendokumentasikan dunia fisik tanpa tujuan tertentu, perusahaan teknologi ujung-ujungnya membentuk pemahaman dunia fisik juga,” tulis Dewey. “Ini bukan hal yang selalu kita sadari, tapi hal ini menjadi jelas ketika suatu peta berubah/dikatakan berubah, atau ketika kita membandingkan peta-peta yang ada satu sama lain.”
Dewey memberi contoh sebagian orang Palestina yang memutuskan mengganti aplikasi peta yang dipakainya menjadi Bing Maps dari Microsoft, sebab peta ini memasukkan label Palestina. Sementara itu, Apple Maps malah lebih parah dari Google Maps. Ia tak membedakan teritori Palestina dengan negara Israel, sehingga Tepi Barat dan Jalur Gaza pun masuk wilayah Israel.
Naomi Dann, juru bicara organisasi Jewish Voice for Peace, juga berpendapat senada. “Peta-peta selalu bersifat politis, dan bagaimana perbatasan-perbatasan diberi tanda demarkasi selalu bersifat politis,” katanya pada nytimes.com.
Status Palestina
Selain memperlihatkan bagaimana teknologi bisa membentuk cara pandang kita, tak adanya label Palestina pada Google Maps menunjukkan ringkihnya posisi negara ini. Sampai sekarang, Palestina bukanlah negara anggota penuh pada Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Statusnya di PBB adalah negara pengamat non-anggota (non-member observer state). Itupun sudah lebih maju dibanding status sebelumnya. Sejak 1974, status negeri pimpinan Mahmoud Abbas ini hanyalah “entitas pengamat non-anggota.” Tak diakui sebagai negara dan genusnya sama dengan organisasi semacam OPEC.
Pada 29 November 2012, Palestina diakui sebagai negara pengamat non-anggota oleh Majelis Umum PBB, setelah didukung 138 negara saat voting. Sembilan negara menolak mengakui Palestina sebagai negara, sementara 41 negara lain menyatakan abstain. Sejak mendapat status itu, Palestina punya hak yang sama dengan Vatikan: diakui sebagai negara, tetapi tak punya hak suara dalam voting. Hak dan batasan yang sama juga dimiliki Swiss sebelum menjadi anggota penuh PBB pada 2002.
Nah, jika Swiss akhirnya bisa menjadi anggota penuh PBB pada 2002, bisakah Palestina mendapat status yang sama?
Tentu bisa, tapi jalan menuju ke sana tak akan lempang. Palestina memerlukan persetujuan Dewan Keamanan PBB untuk bisa diakui sebagai negara anggota secara penuh. Dan, hingga saat ini Palestina belum berhasil meraih dukungan setidaknya 9 dari 15 suara negara anggota Dewan Keamanan.
Dewan Keamanan PBB terdiri dari 5 anggota tetap yang memiliki hak veto, yakni Cina, Perancis, Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat, serta 10 anggota tak tetap yang dipilih tiap dua tahun. Meski PBB selama ini mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras terhadap Israel untuk menaati hak-hak dasar warga Palestina dan menghentikan pendudukan, kenyataannya posisi Israel masih sangat kuat.
Dengan diplomasi yang lihai plus tekanan dari negara-negara karib, bisa saja Palestina memengaruhi sembilan negara anggota Dewan Keamanan untuk mengakui keanggotaannya secara penuh. Tapi, selalu ada hak veto yang membayangi gerak diplomatik Palestina, terutama dari negara sohib Israel: Amerika Serikat.
Sikap Amerika Serikat selama ini mempersulit posisi Palestina di PBB. Contohnya pada voting 2012, saat Palestina diajukan menjadi negara pengamat non-anggota. Kala itu, tiga negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yakni Cina, Perancis, dan Rusia, mendukung Palestina untuk naik status dari 'entitas' menjadi 'negara.' Adapun Inggris Raya, pemilik hak veto lain, memilih abstain. Ganjalan salah satunya didapat dari Paman Sam yang bersama Israel dan 7 negara lain menolak mengakui Palestina sebagai negara.
Sikap itu tentu bisa menjadi gambaran sikap politik luar negeri Amerika Serikat dalam konflik Israel-Palestina. Berapapun suara yang bisa didapat Palestina dalam Dewan Keamanan, akan selalu dibayangi kemungkinan Amerika Serikat menganulirnya karena negara ini memiliki hak veto.
Jika mendukung Palestina menjadi negara pengamat non-anggota saja Amerika Serikat tak sudi, bisa dibayangkan terjalnya jalan Palestina untuk bisa diakui sebagai negara anggota PBB secara penuh.
________________
Baca juga laporan terkait berikut ini:
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti