Menuju konten utama

Pakar: Pemerintah Tidak Perlu Blokir Google dan Youtube

Pratama Dahlian Persadha selaku Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC mengatakan pemerintah tidak perlu memblokir Google dan Youtube, tetapi cukup menyaring konten-konten negatif yang bertentangan dengan norma-norma di Indonesia.

Pakar: Pemerintah Tidak Perlu Blokir Google dan Youtube
Ilustrasi Google. Foto/Shutterstock

tirto.id - Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Centre), Pratama Dahlian Persadha mengatakan, pemerintah tidak perlu memblokir Google dan Youtube, tetapi cukup memfilter konten-konten negatif yang bertentangan dengan norma dan budaya di Indonesia.

"Hal itu bisa menimbulkan kekacauan karena banyak sekali pengguna kedua layanan itu," kata Pratama melalui surat elektroniknya di Semarang, Rabu (8/6/2016) petang.

Pratama menilai, Google dan Youtube relatif banyak memiliki manfaat positif karena juga bisa sebagai media pembelajaran dan pendidikan, khususnya bagi generasi muda. Selain itu, Google dan Youtube juga bermanfaat sebagai media jual beli yang dapat mendongkrak ekonomi masyarakat.

"Memang tidak bisa dimungkiri jika ada content negatif di sana. Namun, hal itu kembali lagi kepada bagaimana kebijakan pengguna itu sendiri ketika mengakses internet apakah untuk hal-hal yang bermanfaat atau tidak," katanya.

Ia menambahkan, konten negatif pada dua layanan tersebut tidak hanya kekerasan dan pornografi, tetapi lebih dari itu. Misalnya, ujaran kebencian (hate speech), radikalisme; suku, agama ras, dan antargolongan (sara); dan perjudian.

Untuk mengimbangi hal tersebut, kata dia, pemerintah perlu mendorong munculnya konten positif, seperti video edukasi dan pembelajaran. "Inilah yang perlu ditingkatkan," ujarnya lagi.

Pratama menegaskan, bahwa Google dan Youtube bukanlah media penyedia konten, sehingga sulit bagi mereka untuk mengawasi seluruh konten yang ada di dalamnya.

Oleh sebab itu, Pratama memandang, perlunya peran masyarakat untuk ikut membantu pemerintah dengan cara melaporkan situs-situs yang menyediakan konten-konten negatif.

"Dari laporan-laporan yang masuk kemudian akan diproses dan ditindaklanjuti sehingga konten dan situs itu akan terhapus dan terblokir," kata Pratama.

Selain itu, Pratama mengatakan, pengawasan penggunaan internet bisa dimulai dari lingkungan keluarga.

"Orang tua bisa memberikan edukasi penggunaan internet yang sehat kepada anak-anaknya dan tentang bahaya mengakses situs-situs yang ber-content negatif. Penggunaan fitur dan aplikasi parental control bisa menjadi salah satu solusi," katanya

Pratama juga berharap agar pemerintah mulai memperhatikan serta memberi dukungan kepada aplikasi-aplikasi buatan dalam negeri, seperti yang sudah dilakukan oleh Cina yang membuat Baidu, Weibo, dan QQ.

Sebelumnya, Sejumlah aktivis di Kabupaten Lebak, Banten, mendesak pemerintah untuk memblokir Google dan Youtube karena menyediakan konten situs pornografi dan kekerasan yang dapat menimbulkan kemorosotan moral bangsa.

"Sebagian besar dari 11 kasus kejahatan seksual yang menimpa anak-anak dilakukannya setelah terinspirasi dari situs pornografi Google dan Youtube itu," kata Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lebak Mintarsih di Lebak, Rabu.

Menurut dia, pemerintah harus tegas untuk menutup konten berbau pornografi dan kekerasan karena dapat merusak moral generasi bangsa.

Mintarsih mengatakan saat ini masyarakat begitu mudah untuk melihat konten pornografi dan kekerasan melalui Google dan Youtube.

Bahkan, lanjutnya, banyak juga anak-anak mengakses situs pornografi, diantaranya "Bokep Tube.Com" melalui mesin pencari Google dan Youtube.

Semestinya, kata dia, Google dan Youtube memiliki tanggung jawab untuk menghapus situs-situs pornografi yang bisa diakses jutaan orang itu.

"Kami berharap pemerintah dapat menyelamatkan anak-anak bangsa yang bisa menimbulkan kemorosotan moral itu," kata Mintarsih.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Antara
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto