tirto.id - Meski terancam kehilangan pendapatan dan hukuman kurungan dari otoritas Belanda di Australia, namun pada Oktober 1945, bersama ratusan koleganya, Kopral Lim Bin Sun (25 tahun) dan Prajurit Liong A Fat (26 tahun) mundur dari KNIL. Dua nama serdadu keturunan Tionghoa itu tercatat dalam Arsip Muhammad Bondan 427 (koleksi ANRI).
Menurut RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003), jumlah prajurit KNIL keturunan Tionghoa sangat sedikit. Hingga kiwari, mereka lebih dikenal sebagai para pedagang.
Dalam kemiliteran di Indonesia, orang-orang Tionghoa justru kerap diidentikkan dengan Pao An Tui--milisi penjaga kampung yang dipersenjatai militer Belanda. Milisi ini lahir seiring amuk revolusi yang penuh kekerasan dan banyak memakan korban orang-orang Tionghoa.
Didi Kwartanada dalam pengantarnya untuk buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia (2013: xxv-xxvi) menyebut, hingga abad ke-20, terdapat stereotip bahwa golongan Tionghoa dianggap pengecut dan tidak berani memegang senjata dan maju berperang.
Saat Ruslan Abdulgani masih kecil, seperti ditulis Didi Kwartanada, dia pernah mendengar lagu Jawa dengan lirik yang mengejek orang-orang Tionghoa, "es gandul ditaleni merang, Cina gundul ora wani perang". Meski demikian, seperti disebutkan sebelumnya, sebetulnya orang-orang Tionghoa ada juga yang mau jadi tentara kolonial.
Tak Hanya Perwira Kesehatan
Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD (1989:4), beberapa nama orang Tionghoa dalam KNIL bukan sebagai perwira tempur yang memimpin pasukan, melainkan perwira bagian kesehatan. Salah satunya adalah Oei Tiam Goan. Sejak 1927, dia sudah menjadi perwira kesehatan kelas dua. Pangkatnya naik lagi pada 1935, menjadi perwira kesehatan kelas satu. Kemudian pada tahun 1941, pangkatnya sudah kapten.
Selain Oei Tiam Goan, ada juga Letnan Satu The Bing Tjiauw yang sejak 1934 sudah berpangkat letnan satu, selaku perwira kesehatan kelas dua. Juga Laij Moek Fo, yang menjadi perwira kesehatan kelas dua dengan pangkat letnan satu pada 1934. Dia bertugas sebagai perwira kesehatan bagian penerbangan KNIL.
Sementara Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit (1995) menyebut nama Samuel Willem Arthur Tjon Akien dan Walther Herman Tjon Pian Gie sebagai dokter tentara di KNIL. Tjon Pian Gie baru jadi dokter tentara sejak 1945. Dan Tjon Akien mati muda karena Flu Spanyol pada 1918.
Bouman menambahkan, beberapa orang Tionghoa ada juga yang berdinas selain sebagai perwira kesehatan, yakni sebagai perwira artileri, penerbangan, dan infanteri KNIL, salah satunya adalah Eduard Philip Yap Tjong yang berkarier sejak 1911. Dia berpangkat mayor infanteri dan pernah ditempatkan di Korps Marsose (pasukan khusus anti gerilya) serta Barisan Madura (pasukan bantuan di Jawa Timur).
Jika Yap Tjong di infanteri, maka Yoe Po Sioe berdinas di bagian artileri dengan pangkat kapten dan berkarier sejak 1931 di KNIL. Dia pernah ditempatkan di beberapa satuan artileri gunung. Waktu Jepang mendarat di Jawa, Yoe Po Sioe sedang betugas di bagian teknik di Bandung. Dia lalu menjadi tawanan Jepang hingga terbawa ke Manchuria, dan baru bebas setelah Agustus 1945. Setelah bebas, dia kembali berdinas di KNIL hingga mencapai pangkat mayor. Setelah KNIL bubar, dia masuk Angkatan Darat Belanda (Koninklijk Landmacht).
Di bagian penerbangan, ada sersan milisi Liem Yoe Hien dan sersan milisi Lie Kok Hian. Keduanya sempat dilatih di sekolah navigasi dan penerbangan di Australia. Namun mereka tak dijadikan pilot pesawat tempur, melainkan sebagai penembak udara. Liem Yoe Hien tewas dalam sebuah kecelakaan di Darwin. Sementara Lie Kok Hian hilang bersama pesawatnya pada 24 Agustus 1944 di dekat Kepulauan Tanimbar.
Serdadu KNIL keturunan Tionghoa lainnya adalah Lie Tjie Whie alias Willy. Dia pernah ikut pelatihan perwira cadangan, namun KNIL keburu dihancuran Jepang pada 1942. Dia hanya sampai pangkat kopral milisi. Lie Tjie Whie jadi tawanan Jepang dari 1942 hingga 1944. Pada 4 September 1945, dia melaporkan diri kepada militer Belanda di Jakarta dan ditugaskan di bagian administrasi militer. Tahun 1946, pangkatnya menjadi sersan milisi dan setelah pertengahan 1947 naik menjadi letnan muda. Setelah KNIL dibubarkan, dia memilih pergi ke Belanda.
Di Batalion Infanteri KNIL ke-5 Andjing NICA yang terkenal ganas, ada juga orang Tionghoa, salah satunya Liem Tjiok Swie. Dalambuku Het Andjing NICA Bataljon (KNIL) in Nederlands-Indie (1988:102) disebutkan, dia adalah prajurit kelas dua KNIL.
Selain dirinya, ada pula Henry Oscar King In Liem yang berpangkat letnan muda. Sebelum ditempatkan di Batalion Andjing NICA, Henry pernah jadi tawanan perang di Miyata dan sempat juga menjadi perwira KNIL di Balikpapan. Setelah bertugas di Andjing NICA, Henry pernah menjadi ajudan Sultan Hamid II dari Pontianak. Dan sesudah KNIL dibubarkan, dia menjadi pengusaha.
Editor: Irfan Teguh