tirto.id - Selama hampir dua abad beroperasi di Hindia Timur, VOC mempunyai sejumlah wewenang istimewa. Persekutuan dagang ini berhak melakukan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, memiliki mata uang sendiri, dan mempunyai tentara.
Mereka memonopoli sejumlah komoditas yang didapat dari Nusantara, sehingga mampu mengontrol harga beli. Selain itu, setelah menaklukkan beberapa kerajaan dan akhirnya menjadi penguasa di Nusantara, penghasilan mereka juga bersumber dari pajak.
Di daerah yang kini masuk wilayah Indonesia timur yang kaya rempah-rempah, barang itulah yang dijadikan pajak dari rakyat kepada raja untuk VOC.
“Pajak yang harus dipenuhi rakyat diserahkan dalam bentuk persembahan rempah-rempah kepada raja. Salah satunya cengkeh. Pegawai-pegawai yang bertugas untuk mengumpulkan cengkeh ini mendapat sebagian dari hasil. Di sini raja lokal dan kolega terdekatnya menjadi elemen penting bagi VOC," tulis Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia-Volume 3 (1984:171).
Sementara di Jawa yang kaya akan beras, imbuh Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam Sejarah Nasional Indonesia-Volume 4 (1984:94), barang ini pula yang dijadikan sebagai pajak.
Dalam praktik pungutan wajib, VOC memberdayakan para kepala desa. Mereka memberikan kebebasan penuh untuk menetapkan jumlah yang harus dibayar oleh masing-masing petani. Kebebasan ini melahirkan kesewenang-wenangan para kepala desa yang merugikan rakyat.
Tionghoa Menarik dan Membayar Pajak
Salah satu golongan yang terkenal sebagai penarik pajak di zaman VOC adalah orang-orang Tionghoa. Menurut Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007:52), orang-orang Tionghoa menjadi pemegang lisensi untuk berbagai pungutan pajak dari VOC.
“Boleh jadi ini karena di satu pihak berkaitan dengan keuletan dan kecerdikan mereka dalam membuka aktivitas baru yang bisa mendatangkan pendapatan pajak,” tulisnya.
Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterzoon Coen, seperti dikutip Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta (1998) dan Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008:93), menyebut orang-orang Tionghoa sebagai “Bangsa yang ulet, rajin, dan suka bekerja... Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain daripada orang Tionghoa.”
Setelah VOC bubar pada 1799, orang-orang Tionghoa masih dipercaya sebagai penjaga dan pemungut pajak gerbang tol dari para pedagang yang melintas. Sebelum Perang Jawa (1825-1830) meletus, seperti dicatat Peter Carey dalam Asal Usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh (2004:24), pernah terjadi pemberontakan di Bagelen terhadap orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa yang menjadi penjaga gerbang tol.
VOC dan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memercayakan penarikan pajak kepada orang-orang Tionghoa, menjadi salah satu pemicu menguatnya sentimen anti-Tionghoa di Hindia Belanda.
“Mereka (orang-orang Tionghoa) telah menjadi pengumpul pajak dari rumah gadai, penjualan madat, dan rumah judi,” tulis Leo Suryadinata dalam Negara dan Etnis Tionghoa (2002:79). Leo juga menyebut pajak yang dikumpulkan melalui orang Tionghoa bertambah pada akhir abad ke-19.
Tak hanya dijadikan sebagai pemungut pajak, menurut Mona Lohanda, VOC juga memajaki orang-orang Tionghoa. Terdapat pungutan yang disebut sebagai pajak kepala yang harus dibayarkan orang-orang Tionghoa yang bermukim di Batavia. Pajak ini dikenakan kepada mereka yang sudah berusia melewati 16 tahun.
“Pajak kepala ini disebut surat konde karena orang-orang Tionghoa ketika itu rambutnya panjang, kemudian digelung menjadi konde. Pajak kepala tersebut besarnya f 0,25 setiap bulan tetapi kalau dibayar setahun menjadi f 2,50,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003:103).
Selain disebut surat konde, pajak kepala disebut juga sebagai uang konde.
“Uang konde atau pajak per kepala begitu tinggi, sehingga sebagian besar pajak Jakarta dibayar oleh orang Tionghoa,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (1997:174).
Keberadaan orang Tionghoa di Batavia pada zaman VOC memang sangat banyak. Maka itu, sejak awal abad ke-17, imigran asal Tiongkok sudah dihalang-halangi masuk ke Batavia. Bahkan pada tahun 1740 terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia yang dikenal sebagai Geger Pecinan. Meski demikian, VOC tak pernah benar-benar bisa meninggalkan orang-orang Tionghoa, baik sebagai mitra maupun sebagai objek pajak.
Editor: Irfan Teguh