Menuju konten utama

Ombudsman Temukan 4 Maladministrasi Penanganan Aksi 21-23 Mei

Ombudsman menemukan maladministrasi penanganan aksi di Bawaslu, mulai dari penyimpangan prosedur hingga proses hukum terhadap tersangka dan barang bukti.

Ombudsman Temukan 4 Maladministrasi Penanganan Aksi 21-23 Mei
Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Ninik Rahayu. ANTARA SUMBAR/Fandi Y

tirto.id - Ombudsman RI merampungkan proses rapid assesment terkait penanganan aksi unjuk rasa di dekat kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, 21-23 Mei 2019 lalu.

Hasilnya, Ombudsman menemukan empat maladministrasi yang dilakukan Korps Bhayangkara itu dalam penanganan aksi.

Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu mengungkapkan, 4 temuan itu antara lain penyalahgunaan wewenang; penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan plotting pasukan; cara bertindak Polri; serta proses hukum terhadap tersangka dan barang bukti.

"Perbaikan secara sistemik di internal Polri antara lain revisi kebijakan, profesional anggota, transparansi kinerja, itu yang kami tuju dalam laporan ini," kata di kantornya pada Kamis (10/10/2019).

Niniek merincikan, polisi tidak memiliki laporan yang efektif terkait penggunaan senjata dan alat-alat kepolisian lainnya. Padahal seperti diketahui polisi menggunakan peluru karet, gas air mata, dan senjata lainnya untuk menghadapi massa 21-23 Mei.

"Penggunaan alat-alat kepolisian yang seharusnya oleh aparat itu selalu dilaporkan setiap harinya, dalam temuan kami laporan sebagai bagian dari upaya melakukan evaluasi dan pengawasan tidak dilakukan secara efektif sehingga ada penyimpangan prosedur," terangnya.

Selain itu, Ninik juga menyoroti penanganan perkara yang melibatkan anak-anak yang, menurutnya, mestinya diproses oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) sebagaimana amanat undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Namun nyatanya anak-anak yang ditangkap dalam aksi 21-23 Mei banyak yang ditangani di unit Resmob.

Dalam proses pemeriksaan, Ninik menambahkan, polisi berdalih bahwa di Unit Resmob juga ada penyidik yang bersertifikat penyidik anak.

"Tapi kita harus kembali kepada SOP dan aturannya. Memang bukan Resmob yang ditunjuk [dalam UU SPPA]. Bukan soal sertifikasi personal tapi unit khusus yang memang ditunjuk dalam rangka penanganan perempuan dan anak," kata Niniek.

Jika memang unit PPA sudah penuh dan harus ditangani di unit Resmob semestinya ada surat penunjukkan terlebih dahulu. Nyatanya surat itu pun tidak ada.

Karenanya Ninik meminta polisi melakukan evaluasi agar jatuhnya korban jiwa dalam unjuk rasa tidak terulang lagi. Pengawas internal Polri juga diminta segera bertindak dan menjatuhkan sanksi jika memang personel Polri terbukti melanggara SOP.

Ninik juga meminta polisi yang diduga melakukan tindak pidana diproses hukum sebagaimana mestinya.

Baca juga artikel terkait AKSI 22 MEI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Hendra Friana