Menuju konten utama

Obituari Aminah Cendrakasih: Jangan Bikin Lela Sakit Hati

Aminah Cendrakasih melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya lewat karakter Lela yang ia mainkan di Si Doel Anak Sekolahan.

Obituari Aminah Cendrakasih: Jangan Bikin Lela Sakit Hati
Aminah Cendrakasih pemeran Mak Nyak di sinetron "Si Doel Anak Sekolahan" meninggal dunia pada Rabu (21/12/2022) (ANTARA/Instagram @si.rano)

tirto.id - Tapi jangan bikin die sakit hati

Nih diberi sekali orang bisa mati

(“Si Doel Anak Sekolahan” ciptaaan: Syumantiasa)

Pagi itu sepertinya akan berjalan damai seperti biasa di rumah keluarga Sabeni. Sarapan tersedia di meja makan, kopi sudah diseduh di gelas kaleng, dan Moris Minor Traveller sudah dipanaskan untuk siap berangkat narik. Namun hari itu rupanya bukan hari biasa bagi Sabeni. Mulutnya asam, lambungnya kosong. Meja makan dan gelas kaleng sama-sama masih melompong.

Baru melangkah keluar rumah, jantung Sabeni nyaris copot. Moris Minor, si oplet biru sumber nafkah keluarga, tergantung di pohon jambu.

Saat Sabeni sibuk menginterogasi seisi rumah, sebuah teriakan membuat Sabeni kaget. Dengan mata nyalang, Lela maju dan menunjuk-nunjuk Sabeni hingga pucat pasi.

“Gue yang gembosin itu ban. Gue juga yang iket itu oplet ke poon jambu. Kenape?... Jangan sembarangan sama perempuan mentang-mentang aye diem disembarangin aje!"

Dari naskah bernas yang ditulis Id Farida dan Rano Karno serta kematangan akting dan chemistry yang terbangun antara sosok Aminah Cendrakasih sebagai pemeran Lela dan Benyamin Sueb yang berperan sebagai Sabeni, inilah momen yang sepertinya sulit untuk ditemukan kembali di layar kaca televisi Indonesia.

Oplet digantung adalah salah satu adegan monumental dari sekian banyak adegan di sinetron Si Doel Anak Sekolahan (SDAS). Sebut saja Atun terjepit tanjidor, Sabeni berteriak-teriak tukang insinyur seperti orang kesurupan, atau dialog putus cinta Mandra dan Munaroh yang belakangan sering di-remix oleh netizen. Inilah bukti lain jaminan mutu kematangan akting mendiang Aminah Cendrakasih yang berpulang pada Rabu, 21 Desember 2022 lalu.

SDAS menjadi ikon pertelevisian Indonesia, baik secara komersial maupun dari segi artistik. Dari arsip Kompas tanggal 25 April 1995, tujuh dari sepuluh penonton televisi di Jakarta hampir dipastikan setiap Jumat malam menunggu tayangan ini.

Berselang 25 tahun kemudian, per Juli 2021, SDAS masih bercokol di 10 besar rating televisi. Klarijn Loven dalam Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television in The 1990s (2003) menyebut SDAS adalah sinetron pertama di televisi komersial yang menggambarkan orang-orang biasa di kehidupannya yang biasa di tengah kecenderungan sinetron-sinetron lain yang menampilkan gaya hidup kelas atas kaum metropolis.

Saat berbagai judul sinetron mainstream melulu berkutat pada aktor/aktris yang sama, SDAS memiliki deretan pemeran yang merentang dengan karakter yang kuat dari berbagai latar belakang. Mulai dari aktor dan aktris televisi, model, seniman lenong dan lawak, DJ, sampai kuasa hukum rumah produksi.

Salah satu pemeran film kawakan yang ada di SDAS adalah Aminah. Aktris kelahiran 29 Januari 1938 ini sudah membintangi sekitar 100 judul film layar lebar sejak dekade 50-an hingga 80-an sebelum beralih ke ranah sinema elektronik lewat SDAS.

Di sinilah putri mendiang Wolly Sutinah alias Mak Wok ini mendapat pengakuan atas perannya sebagai Lela yang tayang hingga tujuh musim. Karakter Lela digambarkan sebagai sosok istri Sabeni, ibu Doel (Rano Karno) dan Atun (Suti Karno), kakak Mandra, serta pemilik kontrakan yang disewa Karyo (Basuki). Di karakter terakhir inilah awal mula sapaan Mak Nyak berasal, dari panggilan Karyo saban bertemu landlord sekaligus calon mertuanya itu.

Sepeninggal Sabeni, yang di sinetron digambarkan meninggal akibat kelainan jantung yang baru diketahui setelah kecelakaan sepulang dari Anyer, fokus cerita SDAS bergeser. Tidak melulu berkutat di keluarga Sabeni, tapi berkembang ke interaksi dengan karakter-karakter lain.

Lela menjadi pemimpin keluarga meski Doel sebagai anak laki-laki ditempatkan sebagai sosok pengganti Sabeni. Di momen ini posisi Lela sebetulnya lebih independen, tapi ia harus menghadapi stigma sebagai janda. Lyn Parker dan Helen Creese dalam The Stigmatisation of Widows and Divorcees (Janda) in Indonesian Society (2016) mengungkapkan pernikahan menjadi hal universal di Indonesia untuk melegitimasikan hubungan seks dan pengasuhan anak secara agama dan sosial. Berpisah dari pasangan, baik karena perceraian ataupun kematian, menjadi anomali masyarakat.

Masyarakat patriarkis, seperti halnya masyarakat Betawi, menempatkan janda sebagai sosok yang tetap bergantung alih-alih punya otoritas. Penelitian yang dilakukan Ruli Juniarso terhadap para janda Betawi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada tahun 1999 menunjukkan ketergantungan pada keluarga besar menjadi masalah yang dihadapi janda Betawi yang membuat mereka tidak memiliki otonomi dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri

Kondisi ini dihadapi Lela yang memilih untuk sendiri setelah Sabeni pergi meski mendapat tuntutan dari Muhammad Ali (H. Tile) yang bukan petinju. Ayah kandung Lela ini memaksa agar putrinya menikah lagi dengan Ishak, seorang duda yang masih saudara jauh Lela.

Anak-anak Lela juga tidak menghalangi niatan ibunya jika ingin menikah lagi. Meski diiming-imingi peningkatan taraf ekonomi keluarga dari usahanya di Arab Saudi juga janji membawa Atun yang putus sekolah sebagai pekerja migran, Lela dengan halus namun tegas menolak pinangan Ishak.

Bagi Lela, Sabeni adalah cinta yang dibawanya sampai mati dan tak akan terganti oleh materi.

Mak Nyak Melawan Stigma

SDAS musim empat mulai diproduksi di penghujung rezim Orde Baru. Situasi ini tergambar mulai di aspek produksi sampai narasi cerita. Krisis moneter membuat proposal produksi 32 episode dipangkas jadi separuhnya. Pun rencana syuting di Eropa untuk adegan Doel dikirim kantornya mengikuti pelatihan di Swiss dibuat lebih singkat dengan penyesuaian sana-sini. Termasuk take adegan Doel menelepon dari Paris dilakukan di sebuah lahan kosong dengan memakai semprotan butiran styrofoam untuk mengganti hujan salju.

Dari aspek naskah, Loven mencatat ada beberapa dialog yang lebih berani menyentil situasi. Seperti Mandra yang mempertanyakan nasib lahan makam Sabeni yang sewaktu-waktu bisa kena gusur. Juga Karyo dengan kesoktahuan khasnya membahas masalah penimbunan bahan pokok di warung Lela.

Bagaimana dengan isu stigma perempuan?

Meski SDAS menjadi pembeda dengan sinetron-sinetron mainstream, penggambaran karakter Betawi justru mendapat kritik. Skenario SDAS, jelas Loven, secara tegas membagi karakter perempuan dalam dua dikotomi peran. Pertama, peran perempuan di ranah domestik sebagai istri, ibu, maupun anak.

Ini terlihat dalam karakter perempuan-perempuan Betawi seperti Lela, Atun, Zaenab (Maudy Koesnaedy), Munaroh (Maryati), sampai Rodiah (Hj. Nacih). Kedua, perempuan independen yang punya posisi tawar di ruang publik seperti yang terlihat dalam karakter Sarah (Cornelia Agatha) yang kosmopolit. Penggambaran ini dikritik oleh Wahyudi Akmaliah dalam paper berjudul Stereotip Orang Betawi dalam Sinetron (2012). Sinetron-sinetron berlatar Betawi seperti SDAS, cetus Wahyudi, justru semakin menegaskan stereotip alih-alih ingin mengangkat pamor budaya Betawi.

Namun karakter Lela seperti antitesis dari stereotip perempuan Betawi. Dalam beberapa hal ia dengan sadar menjadi sub-ordinat Sabeni, termasuk dikata-katai tuyul dan mata duitan oleh suaminya sendiri. Namun ia bisa tampil bak singa betina yang bisa marah dan kecewa. Lela lewat akting memukau Aminah tidak perlu berteriak kelewat kencang atau melotot sampai bola matanya nyaris copot.

Ketika Lela menyebut dirinya “gue” alih-alih “aye” kepada Sabeni dalam adegan penggantungan oplet, sesungguhnya ia berusaha membela harga dirinya yang terinjak oleh pengkhianatan cinta Sabeni. Sekaligus memberi uppercut ke ulu hati Sabeni sebagai suami dan kepala keluarga yang secara konstruksi sosial dan budaya kedudukannya mau tak mau harus dihormati oleh Lela.

“Aye kurang sabar apa sih sama abang? Sejak kita kawin apa pernah aye berani ngelawan abang?”

Ada momen lain yang memperlihatkan bagaimana upaya karakter Lela melakukan counterpublic terhadap stigma perempuan terutama janda lewat teguran kepada Mandra.

Winarnita, Herriman, dan Mahy dalam artikel Living in The Shadows Of The Indonesian Mother: The Stigma, Shame and Opportunities as a Widow or Divorcee (2019) menyebutkan negara telah menumbuhkan gagasan ideal feminitas berdasarkan citra ibu: perempuan yang patuh pada sifat biologis sebagai istri dan ibu yang penuh kasih. Tidak ada wacana resmi tentang citra janda. Justru penggambaran dalam budaya populer membentuk stereotip tentang janda yang mempengaruhi identitas sosial.

Di SDAS musim empat, Mandra yang pertunangannya digagalkan oleh ayahnya sendiri di SDAS pertama bermaksud kembali meminang Munaroh. Putri Babe Daim (H. Nasir) ini baru saja bercerai dari Cecep, suaminya. Mendapat lampu hijau ayah dari Munaroh, Mandra merajuk Lela buat selekasnya mengatur lamarannya. Ia bergerak cepat. Sedari subuh dipakainya kemeja, rompi, dasi, dan jas milik Doel. Hari itu untuk kedua kalinya Mandra akan melamar Munaroh. Tapi Lela meminta Mandra untuk mematangkan dulu rencananya. Berbicara kepada para orang tua sebelum memboyong seserahan seperti yang sudah diatur dalam adat. Tapi Mandra yang sudah kebelet kawin malah mencibir Lela dan meledek status janda Munaroh.

“Ini urusan kecil sebenernya, gampang. Kecuali saya kawin sama perawan, timbang sama janda…”

Lela yang tadinya sedang sibuk membereskan kamar segera keluar. Kembali maju membela dirinya dan Munaroh yang sama-sama janda. Mirip seperti dulu ia membuat pucat Sabeni, kali ini Mandra dibuatnya ciut macam tikus tersiram air panas

“Apa lu bilang?! Mentang-mentang si Munaroh janda terus lu mau sembarangin dia iye?! Elu tau nih empok lu ini juga janda. Kalo disembarangin orang elu rela?”

Pada akhirnya Aminah Cendrakasih tidak hanya meninggalkan warisan nama Mak Nyak yang tak akan tergantikan. Namun juga melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya lewat Lela.

Baca juga artikel terkait AMINAH CENDRAKASIH atau tulisan lainnya dari Fakhri Zakaria

tirto.id - Film
Penulis: Fakhri Zakaria
Editor: Nuran Wibisono