tirto.id - Mereka yang tidak suka Presiden Rodrigo Duterte semestinya bisa merasa tenang. Berdasarkan konstitusi Filipina 1987, presiden hanya boleh sekali menjabat selama enam tahun. Artinya, Duterte tidak akan lagi mencalonkan diri untuk pemilu presiden Filipina tahun 2022. Meskipun begitu, bukan berarti Duterte akan menyingkir dari kekuasaan begitu saja.
Jika melihat rekam jejak Duterte, perlawanannya untuk bisa tetap memegang kendali negara sebenarnya bisa terprediksi.
Pada tahun 2015, Duterte yang namanya mulai muncul di publik sebagai kandidat presiden menyatakan diri tidak akan maju untuk pemilu presiden.
“Negara tidak membutuhkanku. Aku merasa tidak perlu (untuk jadi calon presiden,” kata Duterte yang saat itu menjabat Wali Kota Davao.
Setidaknya sampai medio Oktober, Duterte meyakinkan pendukungnya untuk tak menaruh harapan di saat-saat terakhir pendaftaran calon presiden. Duterte memastikan dia “tidak ada rencana untuk melakukan kejutan” mengubah keputusannya untuk mencalonkan diri.
Namun sebulan kemudian, Duterte resmi maju sebagai kandidat setelah kandidat presiden dari Partido Demokratiko Pilipino-Lakas ng Bayan (PDP-Laban) mengundurkan diri. Sejak awal pendaftaran, Duterte sudah mengusung narasi populis kanan yang rasis. Dia menyatakan bahwa sebabnya berubah pikiran karena ada kandidat presiden Senator Grace Poe yang pernah menjadi warga negara Amerika.
“Aku tidak punya dendam apapun dengan Grace. Tapi coba beri aku suku Ifugao, Badjao. Beri aku tukang ledeng, tukang kayu, atau akuntan, selama mereka orang Filipina asli. Jangan beri aku seseorang yang bukan orang Filipina,” kata Duterte.
Merunut batas waktu pendaftaran sebagai kandidat presiden, Duterte seharusnya sudah tidak bisa mencalonkan diri. Namun dia masih bisa menggantikan kandidat yang sudah mendaftar sebelumnya. Dia yang menyediakan jalan bagi Duterte adalah Martin Diño, pejabat partai yang sama dengan Duterte.
Namun pergantian ini sebenarnya sudah sedikit diprediksi oleh Commisson on Election (Comelec) atau serupa KPU di Filipina. Comelec mencatat Diño adalah “nuisance candidate”. Artinya, Diño dianggap Comelec hanya mengolok-olok pemilihan umum dan berusaha membuat bingung masyarakat tanpa adanya keinginan atau upaya nyata menjadi presiden. Salah satu sebabnya, Diño tidak punya harta kekayaan yang cukup untuk membiayai kampanye.
Benar saja, dengan alasan kesal dengan Comelec, toh Diño akhirnya benar-benar tidak jadi maju sebagai presiden dan kursinya diberikan kepada Duterte. Meski melewati pelbagai aturan dan kerumitan yang tidak biasa, Duterte tetap saja berhasil mencari jalan menuju kekuasaan.
Sekarang, kejadian serupa kemungkinan berulang.
Duterte Menolak Takluk pada Politik Dinasti
Tahun pemerintahan Duterte dibuka dengan omong kosong tentang kesehatannya. Presiden tertua dalam sejarah Filipina itu merasa dia “tidak akan bertahan” sampai akhir masa jabatannya.
“Aku tidak membutuhkannya di umurku sekarang,” ucap Duterte.
Sehari sebelumnya dia sudah mengeluhkan kondisi badan yang renta: sakit punggung, migraine, dan sebagainya. Duterte juga memberitahu kepada orang-orang bahwa ini adalah kali terakhir dia terlibat dalam politik karena masalah umur.
Namun Duterte yang hidupnya hampir seumur Indonesia masih ada berbagai cara untuk memegang kuasa. Sebelumnya dia hampir bisa jadi presiden selama dua periode jika saja ratifikasi konstitusi 1987 menjadi kenyataan. Salah satu tafsiran aturan di dalamnya memungkinkan Duterte menjabat sampai 8 tahun. Namun aturan ini belum ditetapkan sampai menjelang kemunduran Duterte di pemilu presiden 2022.
Duterte adalah presiden yang cukup fenomenal dalam sejarah Filipina. Kendati banyak protes berdatangan dari mancanegara karena kebijakan tembak mati pengedar narkotika, tapi tingkat kepuasan publik terhadap sang diktator malah baik.
Rappler menyajikan data bahwa presiden Filipina terbiasa dihajar warga jelang habis masa jabatan. Publik terbiasa melihat berbagai kegagalan pemerintah sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terus saja menurun.
Namun itu tidak berlaku pada Duterte. Tingkat kepuasan masyarakat pada pemerintah Duterte tetap bertahan di atas 70%. Sebagai perbandingan, kepuasan masyarakat Filipina terhadap presiden sebelum Duterte, Benigno “Noynoy” Aquino III ada di angka 49%, sedang Duterte sebesar 72% setelah masing-masing menjabat 3 tahun.
Kepiawaian Duterte menjaga popularitasnya memang sudah terlihat menjelang pemilu presiden tahun 2015. Pada 2014, nama Duterte bahkan tidak diperhitungkan menjadi presiden. Pada 2015, dia selalu berada di peringkat terbawah polling presiden pilihan rakyat. Namun pada April 2016 hingga hari pencoblosan 9 Mei, Duterte paling banyak dipilih warga Filipina.
Jurnalis senior John Nery dan Luis Teodoro memperkirakan, salah satu alasan mengapa Duterte bisa mempertahankan popularitasnya tidak lepas dari “faktor rasa takut.” Di tengah pemerintahan Duterte, memberikan kritik atau penilaian buruk memerlukan keberanian.
Foreign Affairs mencatat popularitas Duterte masih di angka 87% pada pengujung tahun 2019. Aktivis dan oposisi Duterte boleh saja berharap Dutertismo (salah satu sebutan untuk pemerintahan otoriter Duterte) akan lenyap pada tahun 2022. Namun “jangan berharap Duterte akan meninggalkan jabatannya begitu saja seperti pendahulunya.”
Bagaimanapun, Duterte memilih secara langsung siapa yang dianggap bisa jadi penerusnya sebagai presiden. Jika penunjukan oleh Duterte sukses maka siapapun presidennya bisa jadi hanya simbolik belaka. Kekuasaan tetap berada di tangan Duterte.
Ada dua cara Duterte melanggengkan kekuasaannya. Pertama, dia menjadi wakil presiden – karena yang dilarang hanyalah mencalonkan sebagai presiden lagi. Keinginan ini sudah disampaikan Duterte dengan alasan ingin melanjutkan drug war yang belum tuntas dan melawan kebangkitan komunis.
Duterte sendiri sudah menyampaikan jika dia terpilih maka perannya adalah membangun opini publik. Dengan popularitasnya masih tinggi, besar kemungkinan opininya tentu akan didengarkan warga dan pemerintah.
“Aku mungkin tidak punya kemampuan untuk memberi arahan atau petunjuk, tapi aku selalu bisa menyampaikan pandanganku ke warga,” kata Duterte seperti dilansir New York Times.
Nama yang didukung Duterte untuk menjadi kandidat presidennya adalah Senator Christopher Lawrence “Bong” Go, salah satu orang kepercayaannya. Ada beberapa nama yang sempat diungkap Bloomberg untuk mendapatkan dukungan dari Duterte seperti Sara Duterte, Wali Kota Manila Isko Moreno, mantan Senator Ferdinand Marcos, dan Senator sekaligus mantan petinju Manny Pacquiao.
Kemungkinan yang paling terprediksi tetap Sara dan Bong. Pacquiao, sekitar sebulan setelah perkiraan Bloomberg, justru terlibat perebutan kursi ketua PDP-Laban dengan Duterte.
Sara bukan hanya kali ini saja dimanfaatkan untuk melanjutkan kepemimpinan ayahnya. Pada tahun 2007, Sara dijadikan wakil Wali Kota Davao yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Selepas Duterte menanjak jadi presiden, Davao tetap jadi wilayah kekuasaan keluarga Duterte. Sarah menjadi Wali Kota Davao menggantikan ayahnya.
Tidak berhenti sampai di situ, Sara juga menggunakan Paolo Duterte dan Sebastian Duterte sebagai wakil Wali Kota dalam periode berbeda. Paolo dan Sebastian adalah putra nomor 1 dan dua Presiden Duterte. Selepas Duterte hengkang, keluarganya tetap akan bercokol di politik.
Berdasar jajak pendapat sementara yang keluar pada April 2021, Sara dipilih oleh 27% responden yang ada untuk menjadi presiden. Dia adalah yang paling unggul dibanding calon lainnya. Karakternya yang dianggap merakyat, berani, mengendarai motor gede berhasil menarik perhatian masyarakat Filipina.
Sejauh ini, Sara mengaku tidak mendapat restu ayahnya. Duterte menyatakan bahwa “pemilu presiden bukanlah untuk perempuan.” Sara pun masih memutuskan tidak akan ikut dalam pemilu presiden 2022.
Tapi tentu saja, omongan ini belum tentu bisa dipercaya mengingat rekam jejak Duterte yang tiba-tiba mencalonkan diri di akhir pemilihan. Tidak ada yang bisa menjamin anaknya tidak menempuh jalan yang sama demi mempertahankan kekuasaan keluarga Duterte.
Duterte dengan jelas mengatakan, jika Sara ikut dalam kontestasi presiden, maka dia tidak akan ambil pusing jadi calon wakil presiden, apalagi berpasangan dengan Bong Go. Yang penting ada “Duterte” lain mengamankan posisi kepala negara.
Lari dari Pidana
Ada alasan mengapa Duterte tetap ingin memegang kuasa. Di bawah pimpinannya, pembunuhan di luar hukum merebak. Dalam perang melawan narkoba yang dikumandangkan Duterte, ada setidaknya ribuan orang meninggal. Sebagian tergeletak begitu saja di jalanan bersimbah darah.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berada di Den Haag, Belanda, sudah memegang bukti yang cukup untuk menyebut tindakan Duterte sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagian pengamat politik menduga Duterte tetap ingin ada dalam pemerintahan agar bisa menghindari proses pengadilan.
Neri Colmenares, mantan anggota kongres dan aktivis HAM memandang usaha Duterte sekarang tidak lebih dari sekadar ketakutan masuk ke dalam penjara.
Foreign Affairs menilai risiko Duterte setelah jabatannya selesai sangatlah tinggi. Dia butuh penerus yang bukan hanya melanjutkan warisannya, tapi juga melindungi dia dan kroninya lepas dari ancaman pidana di Filipina maupun internasional.
Memang belum tentu Duterte akan dipenjara setelah turun dari takhta, sama seperti Soeharto yang tidak dipenjara meski melanggar HAM, tapi peluang terbaik menghukum Duterte adalah mengusirnya dari kekuasaan. Oposisi Duterte pada Maret 2021 sudah merasa sang diktator tak akan turun begitu saja dari jabatannya.
Oleh sebab itu, oposisi membentuk poros bernama 1Sambayan atau satu bangsa. Tujuannya jelas, yaitu menumbangkan Duterte atau siapapun yang dibekingnya pada tahun 2022 mendatang.
Editor: Windu Jusuf