tirto.id - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menargetkan proses pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia oleh holding pertambangan melalui PT Inalum (Persero) bakal selesai pada Maret 2018.
Kendati demikian, pemerintah tidak bisa secara leluasa mengungkapkan perkembangan proses negosiasi tersebut mengingat adanya perjanjian yang harus dipatuhi, baik dengan PT Freeport Indonesia maupun Rio Tinto selaku pemegang 40 persen hak partisipasi (participating interest).
“Utamanya bukan hanya valuasi, tapi persetujuannya seperti apa. Valuasinya bagaimana, kontrolnya bagaimana, itu yang lama,” ujar Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno di kantornya, Jakarta pada Selasa (13/2/2018) malam.
Menurut Fajar, pembagian kerja untuk bagian operasional dan pengawasan pada PT Freeport Indonesia di lapangan sebetulnya tidak akan mengalami perubahan besar-besaran.
“Operasional sudah diserahkan bahwa yang mengoperasikan PT Freeport Indonesia. Inalum hanya memiliki sahamnya saja bersama pemerintah daerah. Sehingga yang mengoperasikan PT Freeport Indonesia. Bukan FCX [Freeport-McMorran], bukan juga Inalum. Normal saja,” jelas Fajar.
Setidaknya ada empat hal yang menjadi poin negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia. Keempat hal itu ialah perpanjangan kontrak, divestasi saham, pembangunan smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian), serta terkait fiskal atau penerimaan negara.
Adapun keempat hal itu merupakan kesepakatan yang dicapai setelah kedua belah pihak berunding sejak awal 2017 serta menyampaikannya kepada publik pada 29 Agustus 2017.
Selain menghitung valuasi dari harga saham PT Freeport Indonesia, Fajar juga mengaku bahwa penetapan jumlah dan susunan komisaris sedang diupayakan. “Mereka bertiga [Inalum, Freeport Indonesia, dan Rio Tinto] nanti akan bertemu dulu juga,” kata Fajar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya juga sudah menekankan ada hal-hal terkait negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia yang tidak bisa dirinci begitu saja kepada publik.
“Ada hal yang tidak bisa disampaikan karena perusahaan tadi adalah Tbk di level global. Sering kali kami harus dihadapkan pada komitmen, untuk membuka apa-apa saja yang tidak seharusnya dibuka,” ucap Sri Mulyani di Jakarta pada 12 Januari 2018.
Sri Mulyani pun lantas membantah anggapan bahwa pemerintah tidak transparan dalam proses negosiasi. Ia menegaskan sikap pemerintah yang irit bicara itu tak lain karena adanya tata kelola korporasi yang harus dihadapi.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari