tirto.id - Di toko buku, bermacam buku biografi, memoar atau autobiografi tokoh-tokoh bisa ditemukan. Judulnya pun bermacam-macam. Dalam buku-buku itu, seringkali para tokoh bicara masa-masa hebat dan masa sedih mereka. Sayangnya, narasi masa sedih mereka seringkali berlebihan. Tentu pembaca sering menemukan, seolah-olah si tokoh ini adalah orang yang paling menderita. Mereka mendadak menjadi Multatuli alias aku yang banyak menderita.
Dalam biografi, autobiografi atau memoar saja, juga media sosial, para tokoh ini sengaja memperlihatkan penderitaan dan kesusahannya di masa lalu. Tujuannya tak lain untuk mendobrak semangat orang lain yang hidupnya kurang beruntung, agar bangkit dan sukses seperti dirinya. Aneka ragam kisahnya, mulai dari yang mengaku sebagai anak desa, orang tuanya tak mengenyam pendidikan tinggi, hingga yang harus berjuang di negara orang karena terusir di tanah airnya.
Tidak ada masakan yang enak tanpa bumbu. Tidak ada sinetron yang laris tanpa derai airmata ataupun amarah dengan mata melotot. Demikian pula biografi, yang tidak akan terasa greget tanpa bumbu-bumbu yang bisa mengaduk emosi pembacanya. Sayangnya, bumbu yang berlebihan terkadang malah membuat eneg ataupun sakit perut.
Hero to Zero
Ayah, atau Bapak, atau Papa, apapun panggilannya jelas adalah orang-orang yang dibanggakan karena perjuangannya. Orang-orang yang dikenal publik, kadang suka memperlihatkan siapa dan bagaimana ayah mereka. Terutama para tokoh politik, atau selebritis. Cerita sukses bapak mereka, yang memulai usaha dari bawah lalu berhasil membangun usaha sukses adalah cerita heroik yang layak untuk dibagikan.
Melalui akun Twitternya, mantan Ketua Umum Golkar dan pengusaha nasional, Aburizal Bakrie alias Ical pernah berbagi soal ayahnya. “Ayah saya Achmad Bakrie cuma lulusan sekolah rakyat (sekarang SD) bisa sukses bangun Grup Bakrie.” Demikian cuitan Ical pada 23 November 2012. Benarkah lulusan SD memang dramatis? Mari kita telusuri lebih jauh.
Dalam biografi Achmad Bakrie: sebuah potret kerja keras, kejujuran, dan keberhasilan (1992), disebut Achmad Bakrie lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar elit pribumi berbahasa Belanda. Di buku lain juga disebut ayahnya pernah belajar di Handels- instituut Schoevers juga. Bermodal ijazah HIS, yang di masa itu dianggap mentereng di kalangan pribumi, Achmad Bakrie bisa bekerja di Perusahaan Swasta Belanda NV Van Gorkom. Tentu bukan sebagai kuli panggul.
Di masa Ahmad Bakrie, belajar di HIS, tidak semua orang Indonesia sekolah. Seperti terkutip dalam Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), sampai tahun 1945, sebanyak 90 persen lebih rakyat Indonesia masih buta huruf. Sekolah adalah barang mewah bagi pribumi Indonesia kala itu. Jangankan sekolah elit macam HIS, bisa sekolah di Volkschool yang hanya tiga tahun dan hanya diajarkan berhitung dan baca-tulis pun sudah merupakan keberuntungan tersendiri.
Jadi betapa beruntungnya mereka yang bisa baca tulis di masa itu. Dengan ilmu yang didapat, meski dari SD macam HIS sekalipun, mereka bisa selangkah lebih maju untuk membangun usaha ataupun menjadi pegawai pemerintah ketika itu. Tentu saja Achmad Bakrie bukan satu-satunya lulusan SD yang jadi orang besar, Buya Hamka, Adam Malik pun lulusan SD juga. Ada Hamka yang jadi sastrawan dan Adam Malik jadi politisi. Keduanya disegani di Indonesia.
Orang-orang yang butuh motivasi, hampir semuanya kenal Mario Teguh. Dia selalu ingat ucapan ayahnya yang mantan Kapten di TNI. “Mario, kamu memang hanya anak seorang Kapten, tapi kamu tidak boleh kalah sukses dari anak Jenderal.” Pesan itu diunggak Mario Teguh dalam akun Twitternya pada 17 April 2016. Anak Gozali Teguh itu mungkin hendak membius pendengar motivasinya, bahwa anak seorang pegawai rendahan tidak boleh kalah dengan anak pejabat.
Dalam kemiliteran, Kapten jelas bukan pangkat tertinggi. Tentu juga bukan pangkat terendah. Masih ada Sersan, Kopral dan Prajurit Dua di bawah Kapten. Jika bicara kesejahteraan, tentu tak akan ada habisnya. Jika Kapten saja dianggap tidak sejahtera, apa jadinya dengan mereka yang berpangkat Sersan kebawah.
Sebagai motivator, Mario bermaksud membakar semangat orang-orang yang butuh motivasi darinya. Di luar sana, orang-orang masih yakin, setiap orang harus lebih maju. Seseorang harus bergerak dari titik terendah ke yang lebih tinggi, Zero to Hero. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Begitulah kisah sukses sering dinarasikan.
Beberapa tahun silam, Chairul Tanjung Si Anak Singkong (2012), jadi buku terlaris. Isinya cerita sukses pengusaha nasional pemilik grup Trans bernama Chairul Tanjung. Dalam biografinya, Chairul Tanjung digambarkan sebagai “anak singkong” ketika masih bocah. Ia menceritakan kehidupannya yang sulit di masa kecil.
Di zaman itu, jumlah anak orang kaya tidak sebanyak sekarang. Tinggal di kampung-kampung berjalan becek dan tinggal di rumah yang ala kadarnya, juga dialami sebagian anak-anak di Indonesia yang sepantaran dengan Chairul. Ayahnya, seorang jurnalis di Medan, dianggap berseberangan dengan penguasa orde baru. Namun, hidupnya tidak sesial tahanan-tahanan politik orde baru yang dibuang ke Pulau Buru.
Hebatnya, si anak singkong bisa bersekolah di sekolah swasta. Biasanya, sekolah swasta lebih mahal daripada sekolah negeri. Selepas SMA, dia diterima Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Lalu pelan-pelan jadi pengusaha sukses.
Publik Indonesia juga tak akan lupa pada kisah sukses Merry Riana dalam buku Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (2011). Kisahnya, selain menjadi buku, juga menjadi film. Merry yang Tionghoa, terpaksa dilarikan ayahnya Singapura setelah kerusuhan 1998, yang membabi-buta terhadap orang-orang Tionghoa. Dengan segala upaya, Merry berjuang untuk bertahan hidup dan menyelesaikan kuliahnya di Singapura yang serba mahal. Di sinilah letak derita Merry. Sekitar tahun 1998, tentu saja Merry bukan satu-satunya remaja bernasib malang. Ribuan anak yang orangtuanya kena PHK sekitar Krisis Moneter 1998, juga tak kalah menderita. Kisah Merry Riana ditutup dengan kesuksesannya sebagai penulis dan motivator.
Soekarno pun Mengaku Miskin
Memberi pelajaran hidup menuju kesuksesan seringkali disisipi cerita sedih, yang terkadang berlebih. Tujuannya mungkin tak sekadar untuk pamer pada orang lain. Tapi juga memompa semangat perjuangan orang lain. Mungkin inilah tujuan ditulisnya buku dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Episode Soekarno tinggal di Mojokerto ketika masih kecil, mengikuti ayahnya yang pindah tugas, boleh dibilang berlebihan. Bisa jadi karena Soekarno sendiri, sebagai narasumber utama, berlebihan dan berapi-api dalam cerita, juga karena Cindy Adam yang tidak mengalami hidup di Jawa di awal abad XX yang serba tradisional.
“Aku dilahirkan ditengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Aku tidak memiliki sepatu. Aku tidak mandi dalam air yang mengucur dari keran. Aku tidak mengenal sendok garpu. Kemelaratan yang begitu sangat ini dapat menyebabkan hati kecil menjadi sangat sedih,” aku Soekarno seperti tulis Cindy Adam dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (2011). Soekarno memang lahir di antara kemiskinan orang-orang Indonesia. Ayah Soekarno, Raden Soekemi, seorang Mantri Guru alias Kepala Sekolah yang digaji pemerintah tidak miskin-miskin sekali. Guru mengaji boleh miskin di zaman itu, tapi guru sekolah pemerintah tentu aneh.
Bicara soal air keran, mungkin dari perusahaan air bersih, di zaman Soekarno kecil, hanya segelintir orang saja yang rumahnya dialiri pipa-pipa perusahaan air bersih yang dulu disebut waterleideng. Jika Soekarno tidak merasakannya, itu belum tentu sebuah kemiskinan atau kemelaratan.
Soal sepatu, di masa itu memang barang mewah. Anak pribumi tak jarang ke sekolah dengan nyeker tanpa alas kaki. Kecuali bagi mereka yang bersekolah di sekolah elit macam Europe Lager School (ELS) yang diperuntukkan anak Eropa, tetapi ada segelintir anak pribumi berpengaruh bisa bersekolah di situ. Rasa minder Soekarno tentu muncul ketika kawan-kawan Belanda-nya bersepatu.
“Lingkungan tempat kami tinggal kumuh dan keadaan para tetangga tidak berbeda dengan lingkungan itu sendiri, namun mereka selalu memiliki sedikit uang untuk membeli pepaya atau permen. Tapi aku tidak,” aku Soekarno dalam buku tulisan Cindy Adam itu. Pikiran anak-anak memang tak jauh dari jajanan. Jika pun orangtuanya tak memberinya uang jajan, harusnya Soekarno bisa makan lebih enak ketimbang tetangga-tetangganya yang miskin.
“Kami tak pernah makan besar dan memberi hadiah. Karena kami tidak punya uang,” jerit Soekarno lagi dalam buku yang sama. Tentu saja tak bisa dibandingkan dengan kehidupan sekarang. Makan besar dan memberi hadiah sebenarnya memang bukan kebiasaan orang Indonesia, apalagi di zaman kolonial.
Biografi Soekarno bukan satu-satunya yang punya narasi penguras air mata. Masih ada yang lain. Biografi Laksamana Muljadi (1989), yang disusun Purwono dan diterbitkan Direktorat Perawatan Personil TNI AL pun ada narasi sedihnya. Digambarkan bagaimana perpisahan kedua orang tua Muljadi, lalu ayahnya yang bekerja sebagai kepala sekolah itu kawin lagi dengan gadis yang lebih muda dari abangnya. Gadis yang jadi ibu tiri Muljadi itu, usianya hampir sepantaran dengannya.
Hanya soal perpisahan saja yang paling menyedihkan di sub bab berjudul Masa Prihatin dalam buku itu. Di bagian itu juga diceritakan bagaimana ayahnya membelikan sepeda bekas dengan uang tabungan, yang katanya sedikit. Punya sepeda bekas, di tahun 1930an, selama sepeda itu bisa digayuh dan berjalan, bukanlah hal menyedihkan di zaman itu. Sepeda termasuk barang mahal bagi orang-orang di masa itu. Jika kepala sekolah saja hanya bisa dapat sepeda bekas, bagaimana anak petani miskin di zaman itu?
Bumbu-bumbu penderitaan memang menjual. Sayangnya, semua terkadang berlebihan dan tak sesuai realita. Mungkin karena kenyataan memang tak layak dijual.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti