tirto.id - Lima tahun lalu, Joey Alexander dibawa orangtuanya ke Redwhite Jazz Lounge, Kemang, Jakarta Selatan, sebuah klab jazz yang dikelola oleh musisi jazz papan atas Indra Lesmana. Orang tua Joey ingin anaknya tampil bersama Indra dalam acara Jazz for Kids. Tidak hanya itu, Indra juga diminta untuk mengajari Joey.
Selang tiga tahun kemudian, Joey bersama keluarganya hijrah ke Amerika Serikat. Mendengar hal tersebut, Indra pun merekomendasikan Joey kepada seorang temannya yang mengelola program jazz di Lincoln Centre, Manhattan, New York.
Gayung bersambut, Joey mendapat mentor yang pas. Pada 2014, Joey tampil di ajang bergengsi tingkat dunia di Lincoln Center di Rose Hall, Jazz Foundation of America, Kota New York dan Arthur Ashe Learning Center di Gotham Hall.
Setahun setelah itu tepatnya pada 12 Mei 2015, Joey merilis album “My Favorite Things”, yang bernaung di bawah label musik langganan peraih Oscar, Motema Music. Ia diproduseri oleh peraih Grammy, Jason Olaine.
Hijrah dan merilis album musik di Amerika, membuat nama Joey semakin berkibar. Musisi cilik kelahiran Denpasar 25 Juni 2003 itu dinominasikan ke dalam dua kategori Grammy Award ke-58 yakni, Best Jazz Instrumental Album untuk albumnya “My Favorite Things”. Karyanya bersaing dengan musisi jazz senior, John Scofield. Joey juga dinominasikan sebagai Best Improvised Jazz Solo untuk lagunya “Giant Steps”.
Dalam ajang Grammy, Joey tampil dua kali dan mendapat sambutan hangat. Yang pertama dalam Premiere Grammy Award Ceremony 2016 di Microsoft Theater, Los Angeles, California, Amerika Serikat. Sedangkan yang kedua pada acara Grammy Awards 2016 di Staples Center, Los Angeles.
Seusai tampil di Staples Center, ia pun mendapat standing ovation dari para tamu. Taylor Swift, Selena Gomez dan Chris Stapleton pun ikut memberikan tepuk tangan meriah kepadanya. Tentu hal tersebut menjadi kebanggaan untuk Indonesia.
Joey belum berhasil mendapatkan penghargaan di ajang bergengsi tersebut. Namun, bocah berkacamata itu tetap banjir pujian baik dari musisi dalam maupun luar negeri.
"Saya bangga terhadap pencapaian tersebut, saya tahu persis bahwa tidak mudah untuk bisa menembus nominasi Grammy," kata Purwacaraka seperti dilansir dari Antara.
"Masuk nominasi Grammy itu jelas sesuatu yang hebat, sebab musisi Amerika Serikat saja, yang karyanya memiliki akses dekat dengan pasar yang jadi runutan utama panitia tidak sembarangan orang bisa masuk," tambahnya.
Musisi Cilik
Joey buka satu-satunya musisi cilik yang berhasil menembus kancah internasional. Selain Joey, ada Canho Pasirua, pianis cilik asal Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga ramai diperbincangkan. Pianis kelahiran 2 November 2004 itu dikabarkan mengikuti Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan atau “World Championship Perfoming Arts” (WCOPA) 2016” di Long Beach, California, Amerika Serikat pada 7-19 Juli 2016.
Canho juga pernah menggelar konser tunggal yang diselenggarakan oleh VDS Entertaiment & Event Organizer (VDS E&EO) berkerja sama dengan Artha Graha Peduli dan Kafe Musro, Hotel Borobudur, Jakarta. Konser tersebut disertai dengan penggalangan dana yang akan digunakan untuk memberangkatkan Canho ke California.
Jauh sebelum membicarakan kedua musisi cilik ini. Indra Lesmana juga pernah menorehkan prestasi musik yang gemilang. Saat masih berumur 12 tahun ia bersama ayahnya, Jack Lesmana, penah berkesempatan tampil di Australia dalam pekan budaya ASEAN Trade Fair.
Indra pun mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah di New South Wales Conservatory School of Music di Sydney. Kementerian luar negeri Australia bahkan memberikan izin tinggal untuk Indra dan keluarganya.
Selain itu, Indra juga bertemu dengan musisi jazz tingkat dunia, seperti Chick Corea, Dizzy Gillespie, Mark Murphy, David Baker, dan Terumasa Hino.
Kepiawaian Indra tercium oleh industri jazz Amerika. Zebra Records, perusahaan rekaman cabang dari MCA Records, berniat untuk merilis album "No Standing" sebagai album solonya. Album tersebut dirilis di Amerika Serikat. Indra pun hijrah ke negeri Paman Sam dan merekam album "For Earth and Heaven" di Mad Hatter Studio bersama Vinnie Colaiuta, Michael Landau, Jimmy Haslip, Airto Moreira, Charlie Hadden, Bobby Shew, dan Tooty Heath.
Album tersebut menjadi debut internasionalnya yang kedua bersama Zebra Records. Kedua singlenya, "No Standing" dan "Stephanie" berhasil menduduki Billboard Charts untuk Jazz dan berhasil menduduki nomor satu di charts radio di Amerika Serikat.
Genealogi Musik
Membicarakan kecerdasan bermusik Indra Lesmana, Joey Alexander, dan Canho Pasirua tentu tidak bisa terlepas dari latar belakang orang tuanya. Faktor genetika, lingkungan keluarga, didikan dan dorongan orang tua berperan besar dalam kesuksesan mereka.
Indra Lesmana adalah anak dari seorang gitaris jazz papan atas Indonesia, Jack Lesmana. Sementara orang tua Joey Alexander juga dikabarkan sangat menggemari musik jazz, khususnya karya Louis Armstrong. Joey juga banyak belajar dari album jazz koleksi ayahnya. Sedangkan ayah Canho adalah alumni ISI Yogyakarta jurusan musik klasik. Canho mengaku sudah mendengarkan musik saat umur 3 tahun.
Seperti dikutip dari buku Djohan berjudul “Psikologi Musik”, beberapa peneliti (Rowley, 1998; Shuter-Dyson dan Gabriel, 1981) mengatakan kajian genealogis mengenai latar belakang keluarga seorang musisi menunjukkan bahwa makin tinggi perilaku musikal yang ditunjukkan orang tuanya, makin besar pula musikalitas si anak.
Hal tersebut juga dikatakan oleh tiga psikolog musik asal inggris yakni Richard Howe dari Exeter University, Jane Davidson dari Sheffield University dan John Sloboda dari Keele University. Mereka menyatakan, rata-rata mereka yang sukses di bidang musik mulai bernyanyi pada usia sangat dini. Hal tersebut dipengaruhi oleh orangtuanya yang suka bernyanyi.
Selain itu, dukungan orangtua dalam bidang musik akan membuat anak semakin termotivasi untuk menekuni dan giat untuk berlatih. Pada akhirnya, si anak mampu mencapai kompetensi musik yang tinggi. Perhatian orang tua terhadap kemampuan musikal anak yang terpendam juga memberikan kesempatan tambahan kepada anak untuk bisa meningkatkan kemampuan musikalnya.
Para peneliti itu juga menyimpulkan bahwa “bakat” sama sekali tidak ada hubungannya dengan prestasi cemerlang dalam musik. Mereka berpendapat bahwa perbedaan kemampuan bermusik hanya disebabkan oleh latihan.
Tentu latar belakang orang tua bukanlah satu-satunya faktor pendukung kecerdasan anak, ketekunan dan kedisplinan latihan bermusik juga sangat mempengaruhi. Hal tersebut diamini oleh Anders Ericson dan teman-temannya di University of Florida yang pernah melakukan penelitian tentang hubungan antara jumlah jam latihan dan tingkat kesempurnaan permainan dari siswa biola di usia 20-an. Penelitian tersebut menunjukkan, seorang musisi membutuhkan waktu kurang lebih 10.000 ribu jam latihan untuk bisa menjadi profesional di bidang musik.
Terkait dengan kesuksesannya menapaki jalur musik internasional, Joey juga mengakui bahwa ia berlatih hampir 24 jam sehari. "Saya berlatih banyak lagu, kadang lagu baru. Saya juga kadang suka compose [menggubah] lagu," ungkap Joey, seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, ibu dari Joey Alexander, Farah Urbach mengatakan, apa yang diraih Joey bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi karena kerja keras dan kualitas musiknya.
"Joey tidak ada faktor luck (keberuntungan), semua itu karena musiknya yang membawa dia sampai sekarang ini," ujar Farah.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti