Menuju konten utama

Monyet Selfie Sulawesi Terancam Punah

Monyet Hitam asal Sulawesi menjadi buah bibir berkat aksi selfie-nya yang menuai kontroversi. Namun, binatang khas Sulawesi ini sedang di ambang kepunahan.

Monyet Selfie Sulawesi Terancam Punah
Kawanan Monyet hitam Sulawesi (Macaca Tonkeana) berada di Kawasan Cagar Alam Pangi Binangga, Parigi Utara, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Selasa (24/1). kera hitam yang merupakan satwa endemik Sulawesi itu hidup secara berkelompok antara 10-30 ekor perkelompok. ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar.

tirto.id - Sekujur tubuhnya berambut hitam. Bagian kepalanya ada jambul mirip model rambut mohawk. Keberadaannya banyak ditemukan di Sulawesi Utara. Ia adalah Macaca nigra, warga lokal menyebutnya sebagai Monyet Hitam Sulawesi. Masyarakat Minahasa, menyebut monyet ini dengan sebutan Yaki.

Monyet Hitam Sulawesi sempat menjadi perbincangan dunia berkat aksi memotret dirinya sendiri atau selfie dari kamera yang dipasang oleh fotografer Inggris, David J. Slater. Dibutuhkan kerja keras selama tiga hari untuk mendapatkan gambar langka itu saat David berada di Sulawesi pada 2011 silam.

Foto selfie dari sentuhan tangan Monyet Hitam Sulawesi bernama Naruto ini tersebar luas di banyak saluran TV dan menjadi viral di media sosial. Namun, keunikan foto selfie ini berbuntut masalah hak cipta karena salinannya diterbitkan perusahaan Blurb Inc dalam wujud buku bertajuk Wildlife Personalities. Kelompok pelindung hewan mendorong adanya hak cipta untuk Monyet Hitam Sulawesi tapi sebuah pengadilan di AS menolak permintaan itu karena seekor monyet tidak bisa memiliki hak cipta karena bukanlah manusia.

Di luar persoalan itu, ada masalah yang lebih besar lagi dari sekadar mempersoalkan hak cipta sang monyet. Pelbagai aktivis pecinta satwa menyuarakan untuk melindungi hewan andemik ini. Yaki atau monyet wolai adalah satwa endemik Indonesia yang hanya terdapat di Sulawesi bagian utara dan sekitarnya. Yaki merupakan jenis monyet makaka terbesar yang ada di Sulawesi.

Yaki juga memiliki ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan spesies lainnya. Memiliki tinggi sekitar 44-60 sentimeter, dengan berat badan sekitar 7-15 kilogram, membuat Yaki cukup besar dibandingkan monyet Sulawesi lainnya.

Suara-suara untuk menjaga kelestarian satwa itu tak lepas dari populasinya yang terus berkurang dari tahun ke tahun. Duta Yaki Kota Bitung, Khouni Lomban Rawung mengungkapkan bahwa populasi yaki atau monyet hitam yang dilindungi di Hutan Margasatwa Tangkoko, Kota Bitung, diperkirakan hanya 5.000 ekor.

“Jumlah ini sudah sangat mengkhawatirkan dan dapat berakibat kepunahan monyet langka,” kata Khouni, seperti dikutip Antara.

Hasil penelitian dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyebutkan populasi monyet terus turun hingga 80 persen dalam kurun waktu sekitar 40 tahun terakhir. Monyet juga dikategorikan sebagai populasi hewan dilindungi yang masuk dalam fase terancam punah.

Infografik Macaca Nigra

Diburu dan Dikonsumsi

Berkurangnya populasi monyet hitam tak lepas dari keserakahan manusia. Yaki banyak diburu untuk dikonsumsi. Selain itu, banyak juga jerat yang dipasang oleh warga di hutan untuk menangkap monyet langka ini.

“Populasi turun oleh ulah manusia karena sering memakan Yaki, ada juga yang menangkap untuk dipelihara,” kata Field Project Manager program Selamatkan Yaki, Harry Hilser.

Selain untuk dikonsumsi, Yaki juga diburu untuk diperdagangkan di sejumlah pasar Minahasa dan Tomohon, Sulawesi Utara. Dalam laporan National Geographic, di Minahasa terdapat pasar yang menjual pelbagai jenis satwa liar yang berasal dari hutan Sulawesi. Masyarakat lokal di sana memang akrab dengan daging hewan liar termasuk Yaki.

Di sisi lain, ada Undang-undang yang melindungi keberadaan monyet atau hewan dilindungi lainnya. Dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, mengatur ancaman lima tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta bagi mereka yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi.

Sayangnya payung hukum yang ada masih lemah dalam penerapan di lapangan. Pengajar Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, Manado, Josh Tasirin, mengungkapkan perburuan monyet masih terus berlanjut karena tak ada tindakan hukum bagi para pemburu.

“Pernah ada kasus perburuan ditangani polisi, tetapi pelaku dilepas karena perburuan Yaki dianggap biasa,” kata Tasirin.

Perburuan terhadap Yaki tak hanya bicara soal perlindungan saja, tapi ada aspek lain terutama soal kesehatan. Pakar Primatologi Saroyo Sumarto mengungkapkan manusia memang memiliki kedekatan dengan spesies monyet termasuk Yaki. Namun dalam kadar tertentu, kontak fisik antara manusia dengan monyet dapat berisiko pada penularan pelbagai penyakit seperti polio hingga hepatitis.

“Terkadang virus yang ditularkan tidak langsung terasa. Tahun-tahun berikut, manusia bisa memulai merasakan penyakit yang ditularkan Yaki,” katanya.

Sosialisasi pun dilakukan dengan tujuan untuk mengajak masyarakat sekitar habitat bersama-sama melindungi Yaki dari kepunahan. Kegiatan sosialisasi pun melibatkan anak-anak, dengan harapan mereka tak hanya mengetahui monyet langka ini hanya dari buku sekolah saja karena Yaki sudah punah di masa depan.

Cerita Naruto sebagai salah satu Yaki atau Monyet Hitam yang mampu memotret dirinya sendiri jadi cerminan bagi manusia, bahwa memang Naruto tak mendapatkan hak untuk karya ciptanya. Namun, Naruto dan Yaki lainnya punya hak untuk tetap hidup dan lestari di hutan Sulawesi.

Baca juga artikel terkait PERBURUAN SATWA ILEGAL atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti